Catatan Hitam Prancis; Dari Dalam hingga Luar Negeri
Meneliti situasi sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama Prancis dan hubungan negara ini dengan banyak negara di dunia menunjukkan pelanggaran yang jelas terhadap standar manusia dan hak asasi manusia di negara ini dan dalam hubungan Prancis dengan negara lain dan sifat kolonialnya.
Di sisi lain, pemerintah Prancis selalu mengklaim menjaga hak asasi manusia, menerapkan keadilan, menjaga kebebasan pribadi dan politik di dunia.
Prancis, khususnya selama beberapa tahun terakhir menghadapi beragam tantangan ekonomi dan sosial. Turunnya laju ekonomi, meningkatnya kemiskinan dan pengangguran, menurunnya fasilitas kesejahteraan dan jaminan sosial, serta meningkatnya biaya hidup dan inflasi, secara praktis mendorong warga tidak puas dengan kinerja pemerintah.
Ketidakpuasan ini akhirnya membentuk gerakan protes yang kemudian dikenal dengan gerakan rompi kuning. Anggota gerakan ini yang pada awalnya memprotes kondisi ekonomi dan keputusan pemerintah menaikkan pajak serta usia pensiun, secara bertahap merembet pada tuntutan politik. Bahkan eksistensi gerakan ini masih terus berlanjut dan menjadi gerakan protes terbesar di negara ini.
Meski hak kebebasan sosial dan demo di demokrasi Barat termasuk Prancis adalah hak yang diklaim diakui, tapi dalam prakteknya pemerintah Prancis menyikapi gerakan rompi kuning dan aksi demo damai mereka sejak tahun 2018 hingga kini dengan kekerasan. Demonstran menghadapi serangan polisi dan di banyak kasus terjadi penangkapan, korban luka dan juga ada kasus korban terbunuh. Bahkan Komite Eropa untuk Pencegahan Penyiksaan telah menyatakan keprihatinan tentang peningkatan jumlah tahanan dan kondisi penahanan tahanan di Prancis.
Ben Norton, seorang jurnalis terkait hal ini mengatakan, ada banyak video yang menunjukkan polisi Prancis menembaki para demonstran, memukuli mereka dan bahkan menabrak demonstran dengan mobil.
Pembunuhan dan sikap rasis polisi Prancis merupakan isu lain dari kinerja anti-kemanusiaan aparat keamanan negara ini. Faktanya, ketidakadilan dan diskriminasi di sistem kehakiman Prancis merupakan salah satu sisi sistem ini yang selama bertahun-tahun warga kulit hitam, kaum minoritas etnis dan imigran menjadi korban. Sistem diskriminatif ini berubah menjadi mekanisme mengubah korban menjadi penjahat di Prancis.
Dengan mendekriminalisasi kekerasan polisi terhadap etnis, ras, dan agama minoritas, sistem ini menyebabkan kehidupan orang-orang ini menghadapi risiko serius dan hak-hak mereka dilanggar secara luas. Dalam hal ini, warga Prancis telah berulang kali mengadakan demonstrasi untuk memprotes kebrutalan polisi dan berlanjutnya diskriminasi rasial terhadap orang kulit hitam dan minoritas agama, dan demonstrasi ini juga berubah menjadi kekerasan.
Meski terungkapnya kekerasan polisi Prancis telah mendorong kritik HAM terhadap negara ini, polisi Prancis juga semakin berani melakukan kekerasan terbuka, sehingga polisi Prancis kini saat menghadapi setiap kerusuhan, huru-hara, protes, pertemuan apakah damai atau tidak, merka langsung menggunakan gas air mata dan meriam air, contohnya diidentifikasi dalam protes baru-baru ini terhadap penembakan di dekat pusat budaya Kurdi di Paris dan selama Piala Dunia di Qatar.
Pelanggaran hak minoritas agama, khususnya Muslim, dianggap sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia lainnya di Prancis. Terlepas dari kenyataan bahwa Prancis dengan sekitar 6 juta Muslim adalah salah satu negara Eropa yang memiliki jumlah Muslim terbesar dan Muslim merupakan sekitar 10% dari total populasi negara ini, tetapi pemerintah Paris dengan dalih mempertahankan nilai-nilai sekularisme, umat Islam di negara ini kehilangan kebebasan pribadi dan sosial. Penutupan masjid, pelarangan penggunaan cadar dan hijab adalah beberapa pembatasan di Prancis.
Marine Le Pen, politikus sayap kanan ekstrim Prancis mengatakan, menteri dalam negeri menutup masjid di sini dan di sana, ia harus menutup seluruh masjid yang ada di wilayah kita.
Kasus penting lain pelanggaran HAM di Prancis adalah bagaimana pemerintah negara ini menangani para pencari suaka. Meningkatnya ketidakamanan dan perang di berbagai wilayah di dunia, terutama di negara-negara Asia Barat, Afrika, dan situasi di Ukraina, menyebabkan gelombang baru pengungsi pergi ke Eropa. Ini sementara negara-negara Eropa telah menutup perbatasan mereka dan ratusan pengungsi menghadapi kondisi yang menyedihkan di perbatasan dan kamp. Prancis adalah salah satu negara Eropa yang tidak menerima pencari suaka.
Dalam hal ini, terlepas dari kenyataan bahwa pemerintah Prancis menganggap dirinya sebagai pembawa hak asasi manusia dan selalu menyerukan untuk memperhatikan pertimbangan kemanusiaan, dalam praktiknya, sejak pembentukan dan kemudian puncak krisis pengungsi di Eropa, telah terjadi, Paris selalu berusaha mengabaikan para pengungsi dan juga, perlakuan kekerasan dan tidak manusiawi terhadap mereka akan menghancurkan motivasi para pencari suaka untuk masuk dan tinggal di Prancis. Perilaku otoritas Prancis terhadap para pengungsi sedemikian rupa sehingga Perserikatan Bangsa-Bangsa baru-baru ini menyatakan keprihatinan tentang perilaku Prancis terhadap para pengungsi.
Prancis juga memiliki catatan panjang dan hitam dalam menjajah berbagai negara dunia, khususnya negara-negara Afrika. Sejatinya negara ini selama lima dekade lalu, yakni antara tahun 1524 melalui pendekatan kolonialismenya sedikitnya menduduki 20 negara di Benua Afrika di wilayah utara dan khususnya barat benua ini.
Berlawanan dengan sikap kemanusiaan para pemimpin Elysée, sejarah tidak menghapus tragedi pembantaian rakyat Aljazair oleh Prancis. Selama bertahun-tahun, Prancis melakukan kejahatan terburuk terhadap Aljazair dengan menjajah negara ini sambil menjarah sumber daya negara. Belum lama ini, Presiden Republik Aljazair mengumumkan bahwa kolonialisme Prancis telah membunuh separuh penduduk negara itu selama 123 tahun, yaitu sebelum kemerdekaan Aljazair, selama kejahatan yang tidak akan tercakup oleh berlalunya waktu.
Pembunuhan sistematis rakyat Aljazair oleh tentara Prancis dimulai dari pembantaian massal Setif dan Guelma berlanjut hingga kemerdekaan Aljazair tahun 1962. Selain itu, selama masa perjuangan kemerdekaan Aljazair, hampir satu juta orang terbunuh, di mana Prancis bertanggung jawab secara langsung atas kasus pembunuhan ini.
Kejahatan lain Prancis di Aljazair adalah uji coba nuklir di wilayah-wilayah negara ini dan terhadap warga Aljazair. Oleh karena itu, petinggi Aljazair berulang kali menuntut permintaan maaf resmi dari pejabat Paris. Tapi pejabat Paris bukan saja menolak meminta maaf, bahkan Presiden negara ini, Emmanuel Macron berusaha mendistorsi peristiwa bersejarah ini.
Front Pembebasan Nasional Aljazair seraya mengkritik keras kolonialisme Prancis di negara ini menekankan, Prancis harus meminta maaf kepada Aljazair karena kejahatannya.
Kasus Rwanda dan kejahatan orang Prancis di negara ini adalah halaman lain dalam catatan hitam Prancis. Prancis terlibat langsung dalam salah satu pembantaian terbesar abad ke-20, yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994. Dalam pembantaian ini, lebih dari 800 ribu warga Tunisia dibunuh oleh milisi Hutu. Dalam proses genosida ini, alih-alih mencegah kejahatan tersebut, pemerintah Prancis memberikan banyak senjata dan peralatan kepada pemerintah Rwanda dan Hutu saat itu. "Francois Graner", seorang peneliti Prancis, menulis dalam hal ini,"Semua arsip mengonfirmasi dukungan Prancis untuk Hutu." Otoritas Prancis diberi tahu bahwa mereka sedang mempersiapkan genosida. Prancis mendukung Hutu tidak hanya selama genosida, tetapi juga sebelum dan sesudah genosida.
Pengungkapan dokumen-dokumen ini menyebabkan Macron meminta maaf atas genosida ini sambil mengakuinya, namun sejarah tidak akan pernah melupakan kejahatan tersebut. Kejahatan yang menewaskan lebih dari 800.000 orang, dan dalam statistik tidak resmi, jumlahnya mencapai 2 juta orang.
Dalam beberapa tahun terakhir, Prancis aktif hadir di berbagai negara Afrika dalam bentuk neo-kolonialisme. Dengan dalih memerangi terorisme, militer Prancis telah menjadikan Mali sebagai basis mereka dan secara aktif hadir di negara-negara di wilayah Pantai Afrika. Namun kehadiran pasukan Prancis dan kinerja mereka di kawasan itu tidak menjamin keamanan di Mali dan negara-negara tetangga. Karena alasan ini dan setelah kejahatan tentara Prancis di Mali, pemerintah negara ini memutuskan hubungan dengan Paris dan mengusir tentara Prancis dari negara ini. Menyusul tindakan pemerintah Mali, otoritas Burkina Faso baru-baru ini mengusir pasukan Prancis dari negara tersebut.
Tentu saja, catatan hitam Prancis belum berakhir. Negara yang selalu mengklaim membela kemanusiaan ini telah melakukan kejahatan bahkan di bidang pengobatan dan medis. Misalnya, mengirimkan darah terkontaminasi dari Prancis ke 10 negara di dunia, termasuk Iran, adalah kejahatan tak termaafkan yang terus memakan korban. 40 tahun lalu, pemerintah Prancis mengeluarkan izin untuk mengekspor darah terkontaminasi ke 10 negara di dunia, termasuk Iran. Darah ini dikeluarkan oleh Institut Merio, yang terinfeksi virus AIDS atau HIV, dan setelah penyuntikan darah yang terkontaminasi ini, ribuan orang terinfeksi berbagai penyakit. Otoritas Prancis tidak mencegah ekspornya ke negara lain bahkan setelah mereka mengetahui tentang kontaminasi darah ini dan sementara mereka melarang konsumsi domestiknya.
Selama beberapa waktu lalu, seiring dengan pandemi COVID-19, perilaku tak manusiawi Prancis juga semakin terkuak. Mereka bukan saja tidak memberikan vaksin dan peralatan medis ke negara-negara lain, bahkan negara-negara Eropa yang lebih lemah pun tak terkecualikan. Tak hanya itu, selama proses vaksinasi pun, Paris memberlakukan praktek diskriminasi di antara warganya.
Prancis masih melanjutkan kejahatannya baik secara terang-terangan atau tersembunyi. Mereka ketika mengklaim sebagai pembela HAM, kejahatan mereka tidak pernah terlupakan dalam sejarah, dan kini petinggi Prancis juga memainkan peran penting di perang Ukraina, dan terus melanjutkan perannya tersebut.