Larangan Pembangunan Masjid di Eropa
https://parstoday.ir/id/radio/world-i24457-larangan_pembangunan_masjid_di_eropa
Ratusan Muslim Italia pada 21 Oktober memprotes penutupan masjid dan pusat-pusat peribadatan di ibukota, di depan bangunan bersejarah Colloseum, Roma, dengan menunaikan shalat Jumat di lokasi tersebut. Mereka mengangkat plakat dan banner bertuliskan "perdamaian" dan "buka masjid-masjid". Warga Muslim Roma menuntut para pejabat Roma untuk membela dan mendukung hak sah mereka untuk memiliki tempat peribadatan. 
(last modified 2025-07-30T06:25:16+00:00 )
Okt 30, 2016 12:10 Asia/Jakarta

Ratusan Muslim Italia pada 21 Oktober memprotes penutupan masjid dan pusat-pusat peribadatan di ibukota, di depan bangunan bersejarah Colloseum, Roma, dengan menunaikan shalat Jumat di lokasi tersebut. Mereka mengangkat plakat dan banner bertuliskan "perdamaian" dan "buka masjid-masjid". Warga Muslim Roma menuntut para pejabat Roma untuk membela dan mendukung hak sah mereka untuk memiliki tempat peribadatan. 

Italia mencatat populasi Muslim sekitar 1,6 juta orang. Islam adalah agama terbesar kedua setelah Kristen di Italia. Meski demikian, Islam belum diakui sebagai agama di negara itu, sementara agama-agama lainnya seperti Buddhism, Hiduism dan Yahudism adalah agama yang telah tercatat resmi di negara itu.

 

Francesco Tieri, koordinator kelompok-kelompok Islam di Italia pada acara konsentrasi hari Jumat itu mengatakan, "Kami umat Muslim merasa terancam diskriminasi dan prejudice. Tidak ada tekad politik untuk mengakui warga Muslim di Italia dan memahami poin ini bahwa kami adalah masyarakat yang cinta damai." Ditambahkannya, "Kami tidak punya tempat untuk beribadah dan kami terpaksa menyewa tempat-tempat untuk hal ini. Bagi warga Muslim, masjid sama seperti nafas mereka di mana mereka akan mati tanpanya."

 

Berdasarkan data terbaru, Muslim Italia adalah  34 persen dari total populasi imigran negara itu.  Pada 29 September 2016, wilayah Liguria, Italia, mengeluarkan larangan pembangunan masjid. Dewan daerah Liguria ini meloloskan sebuah ketetapan yang disebut media lokal dengan nama, "hukum anti-masjid". Teks RUU tersebut memang tidak menyebut agama tertentu, tetapi para penentangnya mengklaim ketetapan baru itu secara khusus menargetkan Muslim di wilayah tersebut.

 

Peraturan baru ini memberikan wewenang kepada para pejabat setempat untuk memutuskan lokasi dan bahkan penampilan tempat ibadah. Proposal pembangunan harus memenuhi sarat "harmoni arsitektur dan dimensi dengan karakteristik umum dan khusus sesuai lanskap Liguria".

 

Islam merupakan satu-satunya agama besar yang belum menerima status resmi di Italia. Partai Liga Utara, partai yang memperjuangkan kemerdekaan wilayah utara Italia, awalnya mengajukan RUU itu hanya untuk menarget agama tidak diakui secara resmi oleh negara. RUU itu digagalkan pengadilan karena melanggar kebebasan beragama.

 

Adapun Barbara Saltamartini, politisi anti-imigran Partai Liga Utara menyebut demonstrasi para hari Jumat itu sebagai bentuk "provokasi yang tidak dapat diterima" yang seharusnya tidak pernah diizinkan di Roma.

 

RUU serupa juga diusulkan di sejumlah wilayah Italia lainnya namun segera dihadang Mahkamah Konstitusi. Dengan total warga Muslim mencapai 1.6 juta, warga Muslim Italia hanya memiliki empat masjid resmi. Muslim di negara itu biasanya berkumpul di apartemen dan rumah pribadi untuk beribadah.

 

Langkah yang sama dengan Italia sebelumnya diambil oleh Perancis dan Swiss. Pemerintah Perancis menutup 20 masjid dan ruang doa mereka ditemukan memberitakan ideologi Islam radikal sejak Desember (2015), Menteri Dalam Negeri Prancis Bernard Cazeneuve, pada Agustus lalu. 

 

Alasan yang digunakan para pejabat Perancis adalah bahwa dari 2.500 masjid dan tempat ibadah untuk umat Islam, sekitar 120 di antaranya dicurigai oleh otoritas Perancis menyebarkan paham radikal Salafisme dan fundamentalis. Sekitar 20 masjid telah ditutup, dan menurut pejabat akan ada masjid lain yang bernasib sama.

 

Penutupan itu dilakukan beberapa hari setelah Perdana Menteri Perancis Manuel Valls menyerukan larangan sementara masuknya dana asing untuk masjid-masjid di Perancis. Sebuah laporan komite Senat tentang Islam di Perancis yang diterbitkan pada bulan Juli menunjukkan bahwa meski masjid di negara itu dibiayai dengan sumbangan individu, namun sebagian besar dana mereka juga berasal dari luar negeri khususnya dari Maroko, Aljazair, dan Arab Saudi

 

Di Swiss, kebebasan beragama juga dikekang dengan pasca larangan pembangunan menara masjid di masjid didukung oleh mayoritas suara dalam referendum. Larangan kontroversif itu diberlakukan di saat Swiss hanya memiliki empat masjid. Alasannya juga sama seperti yang banyak digembar-gemborkan media massa Barat, demi mencegah perluasan radikalisme, ekstrimisme dan terorisme. Sebuah justifikasi pincang yang bertentangan dengan prinsip dan klaim negara-negara Eropa.

 

Di sekolah-sekolah Jerman, para pelajar Muslimah dipaksa untuk berenang yang bercampur dengan pelajar putra karena jika tidak itu dinilai bertentangan dnegan kebebasan sipil. Tidak hanya itu, Jerman mengusulkan RUU melarang pejabat negara mengenakan cadar, karena cadar dinilai akan menganggu "komunikasi".

 

RUU yang disampaikan oleh Kementerian Dalam Negeri Jerman itu mengklaim bahwa menyembunyikan wajah membatasi "kemungkinan untuk mengenal dan mengevaluasi kepribadian seseorang." RUU lanjut menetapkan bahwa semua wanita, yang memakai penutup wajah, harus menghapus penutup selama kontrol paspor, keputusan pengadilan dan di TPS.

 

Para pengklaim kebebasan dan HAM tidak hanya menekan serta menetapkan berbagai macam batasan bagi umat Islam dalam ibadah, kehidupan dan keyakinan saja. Di satu lain, dengan alasan melawan ekstimisme, mereka menginjak-injak prinsip utama liberalisme. Namun di sisi lain, mereka mengijinkan penistaan terhadap kesucian Islam dengan alasan kebebasan berpendapat.

 

Pemerintah Barat memanfaatkan ekstrimisme sekelompok Islam untuk menciptakan batasan dan larangan bagi umat Muslim untuk beribadah dan melaksanakan kewajiban agama mereka. Namun di satu sisi, Barat tidak bermasalah dengan ekstrimisme dan rasisme yang menarget warga Muslim dan tempat-tempat islami. Padahal Islam adalah negara penyeru perdamaian dan kebebasan.

 

Para penentang Islam di Barat terfokus pada aktivitas kelompok-kelompok Takfiri di mana pemikiran dan perilaku mereka tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam, namun Barat memanfaatkannya untuk mengesankan Islam sebagai agama penyebar kekerasan dan terorisme. Insiden di Dresden, Jerman, pada 2009 tidak dapat dilupakan. Seorang Muslimah berjilbab keturunan Mesir dihina dan diperlakukan tidak sopan oleh seorang oknum. Namun pada pengadilan yang ditetapkan untuk menindaklanjuti masalah tersebut, di anak dan suaminya, Muslimah itu ditikam sebanyak 18 kali oleh oknum.

 

Pemberitaan media massa Jerman soal peristiwa sangat mengerikan ini sangat lemah. Koran The Guardian dalam hal ini menulis, "Media Massa Jerman pada awalnya mempublikasikan berita ini di halaman belakang dan setelah protes hebat ribuan warga Mesir di Kairo soal kebungkaman pemerintah federal Jerman atas peristiwa tersebut selama sepakan, akhirnya media massa Jerman merilis pernyataan maaf."

 

Suami korban dalam wawancara mengatakan bahwa jika suatu hari peristiwa ini terjadi untuk orang asli Eropa, maka pemerintah Jerman dan negara-negara Eropa akan menggulirkan kontroversi besar di seluruh penjuru dunia, akan tetapi pemerintah Berlin bungkam di hadapan aksi teror ini mengingat korbannya adalah seorang Muslimah.

 

Abdul Aziz Hamid, pemred koran Al-Shuruq dalam hal ini menulis, "Jika korban peristiwa terbaru di Jerman itu adalah seorang Yahudi, maka akan terjadi kegemparan di dunia." Sementara penutupan masjid-masjid dan pembatasan dalam pembangunan masjid di Italia, adalah lanjutan dari gelombang Islamphobia di Eropa.