Pilpres dan Kekerasan di AS
https://parstoday.ir/id/radio/world-i24958-pilpres_dan_kekerasan_di_as
Suasana pemilu Presiden Amerika Serikat tahun ini berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, di mana pemilu kali ini memperlihatkan wajah kekerasan dalam proses peralihan kekuasaan di Negeri Paman Sam ini. Sebagai contohnya, Kantor Pusat Partai Republik di Hillsborough, North Carolina, dilempari bom molotov pada Sabtu malam, 15 Oktober 2016.
(last modified 2025-07-30T06:25:16+00:00 )
Nov 05, 2016 11:58 Asia/Jakarta

Suasana pemilu Presiden Amerika Serikat tahun ini berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, di mana pemilu kali ini memperlihatkan wajah kekerasan dalam proses peralihan kekuasaan di Negeri Paman Sam ini. Sebagai contohnya, Kantor Pusat Partai Republik di Hillsborough, North Carolina, dilempari bom molotov pada Sabtu malam, 15 Oktober 2016.

Pelaku juga menuliskan pesan bernada ancaman di dinding gedung di sebelah kantor pusat tersebut. Simbol-simbol kampanye milik Donald Trump, calon presiden dari Partai Republik, dibakar. North Carolina dikenal sebagai daerah "merah" alias salah satu basis suara terbesar Partai Republik.

 

Di sisi lain, Bintang milik Donald Trump di kawasan Hollywood Walk of Fame, Los Angeles dirusak pada Kamis, 27 Oktober 2016. Huruf yang membentuk nama Trump dan lambang televisi yang ada di dalam bintang itu juga dicungkil. Menurut kepolisian setempat, pelaku menggunakan palu berukuran besar dan juga pick axe, semacam kapak batu, untuk merusak bintang Walk of Fame milik Trump itu.  Di beberapa lokasi kampanye, terjadi bentrokan berdarah antara pendukung dua partai utama; Republik dan Demokrat, bahkan dalam pemilu di internal partai saja, para pendukung antaradua kandidat saling berseteru dan saling caci maki.

 

Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Amerika termasuk para politisi, aktivis politik dan sosial marah dan melampiaskan kemarahan mereka melalui perang verbal dan tindakan merusak. Sebenarnya, kemarahan ini disebabkan interaksi dan transformasi politik dan ekonomi Amerika dalam beberapa dekade terakhir dan mereka meluapkannya dalam pemilu tahun ini.

 

Hasil studi sosiolog menunjukkan bahwa masyarakat AS hingga akhir abad lalu hidup dalam kepuasan relatif atas kondisi dan situasi di negara mereka. Pada periode tersebut, "American Dream" masih hidup dan masyarakat memiliki harapan tentang masa depan mereka meskipun menghadapi kesulitan dan kesengsaraan. Ekonomi AS pada masa itu berkembang dan pertumbuhan ekonomi pun dapat diterima. Pajak yang harus dibayar masyarakat juga masih rendah dan terdapat banyak lapangan kerja. Di masa itu, Amerika tampaknya telah melewati masa-masa pahit dari ketegangan rasial dan sampai kepada kompromi ras dan budaya.

 

Berakhirnya Perang Dingin dianggap sebagai kemenangan politik dan moral dan rakyat Amerika membayangkan diri mereka di atas bangsa-bangsa lain. Dengan kata lain, sebelum dimulainya abad baru, kesejahteraan ekonomi, stabilitas sosial dan kebanggaan nasional menyelimuti masyarakat AS. Bagi kebanyakan masyarakat Amerika –kecuali para pendukung fanatik partai– tidak jauh berbeda apakah Partai Republik atau Demokrat yang berkuasa di Gedung Putih atau di Kongres, bahkan ketika terjadi perseteruan hukum  pada pemilu presiden tahun 2000, tidak terjadi ketegangan politik di kalangan masyarakat Amerika.

 

Masa keemasan masyarakat Amerika di abad ke-20 berakhir di tahun pertama awal abad ke-21. Tanggal 11 September 2001, AS menjadi sasaran serangan teror. Menyusul runtuhnya menara kembar World Trade Center (WTC) di New York, runtuh pula rasa keamanan dan ketenteraman rakyat Amerika. Kegembiraan  mereka tergantikan oleh rasa takut. Mereka menyadari bahwa para negarawan AS tidak mampu menjamin keamanan warga di Washington dan New York meskipun ratusan miliar dolar anggaran militer dan pertahanan telah dibelanjakan.

 

Pemerintah AS mengadopsi praktik-praktik polisi untuk menanggapi ketaktuan publik atas terulangnya peristiwa terorisme. Di dalam negeri, masyarakat selalu di awasi dan dipantau oleh dinas-dinas intelijen. Telepon mereka disadap dan setiap perilaku mencurigakan akan dianggap sebagai berkolaborasi dengan gerakan teroris. Sementara di luar negeri, AS menggelar dua perang yang memakan biaya besar dan korban banyak di Afghanistan dan Irak. Lebih dari 1.000 miliar dolar yang diperoleh dari para pembayar pajak AS –yang seharusnya dialokasikan ke sektor kesehatan, pendidikan dan proyek-proyek infrastruktur– dihabiskan untuk membiayai perang sia-sia di Afghanistan dan Irak. Hasil dari dua agresi ini tidak membawa keamanan yang lebih besar bagi warga AS.

 

Bersamaan dengan krisis keamanan pasca peristiwa 11 September 2001, perekonomian Amerika mulai terguncang dan sejak tahun 2007 ekonomi Negara Adidaya ini menuju ke arah keruntuhan ekonomi. Satu demi satu bank-bank Amerika bangkrut. Selain bank-bank dan berbagai lembaga kredit bangkrut dan miliaran dolar simpanan AS terkuras, warga negara ini juga tidak mampu untuk membayar cicilan rumah, sehingga mereka harus menjadi tunawisma.

 

Pada akhirnya, krisis finansial Amerika merambah ke sektor manufaktur. Banyak perusahaan dan pabrik terpaksa memberhentikan para pegawai dan buruhnya sehinga tingkat pengangguran mencapai di atas 10 persen. Untuk mengatasi krisis, pemerintah AS menyuntikkan likuiditas senilai ratusan miliar dolar ke sektor ekonomi, di mana hal ini menyebabkan utang pemerintah meningkat dua kali lipat.

 

Setelah kas negara kosong, diambil kebijakan restriktif, di mana langkah pertama adalah penyesuaian program kesejahteraan. Jutaan warga miskin dan  berpenghasilan rendah berada di bawah naungan program tersebut. Memudarnya program-program kesejahteraan menyebabkan jutaan warga Amerika jatuh di bawah garis kemiskinan. Akhirnya tidak ada kabarnya lagi tentang "American Dream." Untuk pertama kalinya dalam sejarah Amerika para orang tua di negara ini menyimpulkan bahwa kehidupan anak-anak mereka tidak akan lebih baik dibandingkan kondisi kehidupan mereka saat ini.

 

ekacauan politik, keamanan dan ekonomi di Amerika menyebabkan persoalan rasisme mengemuka kembali.  Di masa kemakmuran dan kesejahteraan sosial, warga kulit putih Amerika masih memiliki toleransi atas kehadiran etnis dan ras lain di negara mereka. Keberadaan kaum kulit berwarna dianggap sebagai hal yang baik untuk kemakmuran ekonomi dan pemenuhan kebutuan bisnis, namun ketika Amerika dilanda ketidakamanan dan krisis ekonomi, sebagian warga kulit putih menyalahkan keberadaan kaum minoritas dan para imigran ilegal.

 

Dalam kondisi tersebut, para imigran ilegal dianggap telah merampas lapangan kerja warga kulit putih dan sejumlah kelompok agama seperti orang-orang Muslim dituduh bekerjasama dengan teroris. Pasca beberapa dekade sikap toleransi terhadap perbedaan etnis, Amerika kembali masuk ke periode ketegangan dan kekerasan etnis. Rasisme yang terjadi di kepolisian dan pengadilan memicu kontroversi baru.

 

Perilaku rasis polisi Amerika telah menyebabkan beberapa kota di negara ini berubah menjadi ajang protes berdarah dan kekerasan. Kaum rasis menuntut kebijakan tangan besi terhadap warga kulit hitam yang marah, namun kebijakan ini dilawan dengan senjata. Seruan untuk mengusir para imigran ilegal juga menuai protes keras dari warga imigran kelahiran Amerika.

 

Saat ini masyarakat Amerika terlibat dalam tiga gearkan protes. Sekelompok dari mereka menuding pemerintah Barack Obama, Presiden AS berusaha membangun sistem ekonomi dan sosial semi sosialisme. Mereka meyakini nilai ekonomi pasar bebas melalui undang-undang seperti asuransi kesehatan murah yang disebut dengan "Obamacare" sedang mengalami kehancuran. Kelompok ini membentuk gerakan protes dengan nama "Gerakan Tea Party"  untuk merespon beberapa undang-undang federal: UU Stabilitas Ekonomi Darurat 2008, Undang-Undang Pemulihan dan Reinvestasi Amerika 2009, serta rangkaian rancangan undang-undang pelayanan kesehatan.

 

Setelah gerakan tersebut, muncul juga gerakan lain di Amerika yang bertujuan untuk memerangi kesenjangan ekonomi dan keserakahan orang-orang kaya yang dikenal dengan "Gerakan Occupy Wall Street." Gerakan yang memprotes ketidaksetaraan ekonomi dan sosial, pengangguran tinggi, kerakusan, korupsi dan pengaruh perusahaan di sektor jasa keuangan ini membuat posisi kaum oligarki terancam. Di samping dua gerakan yang bersifat politis dan ekonomi ini, ada pula gerakan sosial bernama "The Black Lives Matter" yang melawan tindakan rasisme.

 

Black Lives Matter bermula pada tahun 2013 setelah Alicia Garza mem-posting sebuah kalimat di Facebook "Orang-orang kulit hitam. Aku mencintaimu" dan "Nyawa kita berarti" sebagai ungkapan kemarahannya. Ia murka terhadap George Zimmerman yang dibebaskan dari tuduhan pembunuhan seorang remaja kulit hitam bernama Trayvon Martin. George sendiri bukan merupakan seorang polisi, tetapi saat itu, ia bertugas sebagai seorang relawan untuk skema pengawasan lingkungan penduduk setempat.

 

Tulisan Garza diunggah ulang oleh Patrisse Cullors. Nama terakhir mengakhiri unggahan itu dengan tagar #BlackLivesMatter. Layaknya api, unggahan Garza dan Patrisse dengan cepat menyebar dan disertai oleh tagar #BlackLivesMatter. Tagar itu selalu digunakan ketika ada kasus rasisme atau ketidakadilan terhadap warga kulit hitam. Garza, Patrisse dan seorang wanita kulit hitam lainnya, Opal Tometi, kemudian memprakarsai pembentukan Black Lives Matter (BLM), sebuah pergerakan yang fokus pada rasisme anti Afrika-Amerika di AS.

 

Pemilu tahun ini diselenggarakan bersamaan dengan meningkatnya ketidakpuasan masyarakat Amerika. Donald Trump, capres dari Partai Republik memanfaatkan gelombang ketidakpuasan masyarakat untuk memenangkan pemilu. Dengan slogan "Make America Great Again," Trump berusaha menarik dukungan luas dari masyarakat yang tidak puas dengan kondisi ekonomi Amerika. Ia diharapkan akan mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi AS saat ini. Trump menegaskan bahwa pemilu November 2016 adalah peluang terakhir utnuk menyelamatkan Amerika.

 

Sementara itu, Hillary Clinton, capres dari Demokrat mengatakan bahwa pemilu 2016 merupakan kesempatan terakhir untuk menyelamatkan demokrasi di Amerika. Para pendukung Clinton –untuk memperjuangkan apa yang disebut mereka sebagai penyelamatan demokrasi– akan melakukan segala langkah termasuk penggunaan kekerasan terhadap pesaing mereka. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemilu tahun ini di Amerika akan berubah menjadi salah satu pemilu yang belum pernah terjadi sebelumnya dari sisi kekerasan verbal dan fisik.