Transformasi Mesir di Era Jenderal al-Sisi (1)
(last modified Sat, 05 Mar 2016 03:17:05 GMT )
Mar 05, 2016 10:17 Asia/Jakarta
  • Transformasi Mesir di Era Jenderal al-Sisi (1)

Mesir telah melewati salah satu fase yang paling menggemparkan dalam sejarahnya sepanjang tahun 2011-2015. Setelah gelombang Kebangkitan Islam menyapu wilayah Asia Barat dan Afrika Utara, pemerintahan 30 tahun Hosni Mubarak menyaksikan protes rakyat sejak tanggal 25 Januari 2011. Mubarak hanya mampu bertahan 17 hari menghadapi protes itu dan ia memilih meletakkan jabatannya pada 11 Februari 2011.

Ia memimpin kekuasaan selama 17 bulan dan kemudian Muhammad Mursi terpilih sebagai presiden pertama Mesir pasca Mubarak. Akan tetapi, Mursi juga hanya berkuasa selama satu tahun dan ia digulingkan oleh militer dalam sebuah kudeta. Kemudian Ketua Mahkamah Konstitusi Mesir, Adly Mansour diambil sumpahnya sebagai presiden sementara setelah Mursi digulingkan dan ia juga hanya berkuasa selama satu tahun.

 

Pada 8 Juni 2014, Jenderal Abdel Fattah al-Sisi menduduki puncak kekuasaan di Mesir dan revolusi tahun 2011 secara resmi meredup. Kekuasaan al-Sisi menandai era baru di Mesir yang menyebabkan terulangnya sejarah bagi Negeri Seribu Menara itu dan kembali ke sistem sebelum tahun 2011. Al-Sisi mengambil sikap pragmatis di semua bidang termasuk kebijakan nasional dan internasional serta kebijakan ekonomi, tapi dalam urusan politik ia mengadopsi kebijakan represif dan menumpas semua penentangnya.

 

Jenderal Abdel Fattah al-Sisi mengukuhkan diri sebagai Presiden Mesir setelah bersumpah di Mahkamah Konstitusi Agung pada 8 Juni 2014. Setelah satu tahun memimpin, para analis mengatakan bahwa karakteristik utama kekuasaan satu tahun al-Sisi di Mesir adalah peningkatan aspek keamanan dan penyanderaan demokrasi di bawah sepatu militer.

 

Kinerja pemerintahan al-Sisi selama satu tahun (Juni 2014 sampai Juni 2015) menunjukkan bahwa rezim hasil kudeta menjadikan pemulihan ekonomi dan situasi keamanan Mesir sebagai dua prioritas utama kebijakan nasionalnya bahkan dengan cara menumpas oposisi. Al-Sisi dan pendukungnya memberi nilai baik untuk rapor ekonomi pemerintah dan mereka yakin bahwa sang jenderal telah mewarisi pemerintah dengan kondisi defisit anggaran, inflasi yang tinggi, angka pengangguran yang fantastis, 50 persen warga Mesir hidup di bawah kemiskinan, serta utang luar negeri dan nasional yang menumpuk.

 

Pemerintah al-Sisi percaya bahwa Mesir mencatat indeks ekonomi yang lebih baik selama satu tahun kekuasaannya dan menuju ke arah pertumbuhan. Secara umum, program ekonomi pemerintah al-Sisi dapat ditelusuri dalam bidang-bidang seperti, pemangkasan subsidi dan penaikan harga bahan bakar serta upaya untuk menarik investasi asing dan pembukaan Terusan Suez Baru.

 

Program subsidi merupakan salah satu masalah utama di sektor ekonomi bagi pemerintah Mesir. Berdasarkan catatan Dana Moneter Internasional (IMF), program subsidi yang diterapkan sejak era Gamal Abdel Nasser sampai tahun 2013, telah menelan 23 persen dari anggaran pemerintah atau setara 11-12 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Mesir. Subsidi energi yang mencakup listrik, gas, dan bensin telah membebani anggaran pemerintah.

 

Salah satu terobosan pemerintah al-Sisi di sektor ekonomi pada tahun pertama kekuasaannya adalah memangkas subsidi bahan bakar. Pemerintah juga menaikkan harga bahan bakar hingga 78 persen dengan tujuan memotong beban subsidi anggaran yang kian membengkak. Pemangkasan subsidi telah membuat anggaran fiskal Mesir mampu berhemat 40 miliar dolar.

 

Kebijakan ekonomi al-Sisi juga fokus menarik investasi asing dan bantuan luar negeri. Dalam konferensi investasi internasional yang digelar di Kairo pada Maret 2015, al-Sisi mengatakan bahwa Mesir membutuhkan dana 200-300 miliar dolar untuk pembangunan dan ia ingin negaranya keluar dari keterpurukan ekonomi. Pemerintah Kairo berharap dapat mengatasi kekurangan pasokan listrik lewat investasi baru dan menyiapkan ruang untuk penenaman modal di sektor-sektor lain.

 

Meski demikian, regulasi investasi asing di Mesir sangat berbelit-belit dan menyulitkan para pemilik modal. Sistem birokrasi untuk menarik modal asing masih sangat rumit ditambah lagi dengan tarif pajak penghasilan yang tinggi dan sistem pertukaran valas. Menurut keterangan Menteri Investasi Mesir Ashraf Salman, investor asing harus mengantongi izin dari 78 instansi pemerintah untuk memulai sebuah investasi di Mesir, sebuah proses yang bisa memakan waktu sampai lima tahun. Ashraf Salman mengatakan, pemerintah ingin mereformasi sistem birokrasi investasi asing dan memangkas perizinan.

 

Kendala lain investasi di Mesir berhubungan dengan tarif pajak penghasilan yang tinggi. Pemerintah al-Sisi berjanji akan memangkas pagu pajak penghasilan menjadi 22,5 persen untuk individu dan perusahaan, dari tingkat saat ini 30 persen untuk merangsang investasi.

 

Sistem pertukaran valuta asing di Mesir juga menjadi kendala terbesar bagi investasi asing. Sejak revolusi tahun 2011, mata uang dolar sulit ditemukan di pasar akibat lesunya industri pariwisata dan penurunan investasi asing di Mesir. Oleh karena itu, ketika nilai mata uang pound Mesir naik pada tahun 2014, para mafia pasar gelap valuta asing mulai melepas cadangan dolar mereka dengan nilai tinggi. Untuk mengatasi traksaksi ilegal itu, pemerintah Kairo menurunkan harga pound dan memberlakukan pembatasan untuk bank-bank dalam penjualan dolar.

 

Pemerintah Mesir pada 6 Agustus 2015 membuka Terusan Suez Baru untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Terusan Suez merupakan sumber kedua pendapatan pemerintah Mesir setelah sektor pariwisata. Para pejabat Kairo mengatakan terusan baru itu ditargetkan bisa meningkatkan pendapatan dari lalu lintas kapal tahunan Terusan Suez dari 5,3 miliar dolar pada 2015 menjadi 13,4 miliar dolar pada 2023 serta menarik investasi asing besar yang bisa menciptakan ribuan lapangan kerja.

 

Menteri Perencanaan Mesir, Ashraf al-Araby menuturkan bahwa pertumbuhan ekonomi Mesir pada tahun 2014 sekitar empat persen dan pertumbuhan pada tahun fiskal 2013-2014 hanya 2,2 persen.

 

Dalam sebuah pembelaan atas kinerja pemerintah al-Sisi, Bank Sentral Mesir menerbitkan laporan yang memperlihatkan bahwa utang luar negeri Mesir dari 45,1 miliar dolar atau setara 15,8 persen PDB turun menjadi 39,58 miliar dolar atau setara 12,5 persen PDB. Bank Sentral Mesir juga mengumumkan bahwa angka inflasi di negara itu dari 8,76 persen pada Juni 2014 turun menjadi 7,19 persen pada April 2015. Statistik pemerintah juga menunjukkan penurunan angka pengangguran dari 13,4 persen pada kuartal pertama tahun 2014 menjadi 12,8 persen pada kuartal pertama tahun 2015.

 

Meski demikian, kubu oposisi dan kritikus pemerintah Abdel Fattah al-Sisi percaya bahwa kemajuan tidak terlihat dalam perekonomian Mesir selama satu tahun terakhir, karena pemerintah hanya mengandalkan bantuan asing dan pinjaman luar negeri dari negara-negara Arab di Teluk Persia. Menurut mereka, statistik dan angka-angkah yang diumumkan pemerintah bukan indikasi dari pertumbuhan ekonomi dan dampak dari kebijakan ekonomi al-Sisi.

 

Pengakuan al-Sisi pada Maret 2015 bahwa Mesir membutuhkan dana 200-300 miliar dolar untuk pembangunan, merupakan sebuah indikasi dari ketergantungan pemerintahannya pada bantuan asing. Dalam pandangan para kritikus, program reformasi subsidi pemerintah menghemat anggaran 40 miliar dolar, namun langkah itu telah menciptakan masalah baru bagi rakyat Mesir. Mereka juga mengkritik program satu juta rumah al-Sisi yang sampai sekarang tidak terealisasi.

 

Para kritikus juga menyoroti peran militer dalam perekonomian Mesir yang terus meningkat selama satu tahun lalu. Selama masa kampanye pemilu presiden pada tahun 2015, al-Sisi dalam wawancaranya dengan Reuters, mengatakan bahwa banyak rumor yang menyebut militer mengendalikan 40 persen perekonomian Mesir, tapi data itu tidak valid dan mereka hanya mengontrol tidak lebih dari dua persen.

 

Akan tetapi, para kritikus percaya bahwa militer Mesir telah menguasai proyek-proyek ekonomi Mesir dalam satu tahun terakhir, terutama proyek Terusan Suez. Menurut mereka, penghasilan dari proyek itu mengalir ke kantong-kantong para pejabat militer Mesir. (RM)