Imigran dan Komitmen HAM Eropa (5)
Data resmi Uni Eropa menyebutkan bahwa lebih dari dari 10 ribu pengungsi anak telah hilang di negara-negara Eropa. Mereka dinyatakan hilang tanpa jejak di Eropa.
Pengungsi anak tanpa pendamping telah menjadi sasaran empuk sindikat mafia dan geng kriminal. Anak-anak tersebut akan diseret ke lembah hitam prostitusi dan perdagangan anak. Mereka sama sekali tidak mengantongi identitas diri dan dinas-dinas keamanan Eropa juga tidak serius melacak keberadaan mereka atau membantu anak-anak pengungsi tanpa pendamping itu.
Pada awal munculnya gelombang pengungsi di Eropa, pemerintah negara-negara Eropa berusaha menampilkan wajah bersahabat dan mengulurkan tangan kepada orang-orang yang berlindung dari perang. Namun setelah melihat arus pengungsi yang tak kunjung surut ke Benua Biru itu, pandangan para pemimpin Eropa sudah condong ke arah partai-partai ekstrim kanan dan kelompok anti-imigran.
Pemerintah-pemerintah sayap kanan Eropa seperti Hungaria, mengadopsi kebijakan anti-imigran untuk mencegah masuknya pengungsi ke negeri mereka. Kebijakan itu diambil tanpa mempertimbangkan situasi khusus dan melanggar komitmen-komitmen mereka dalam konvensi internasional. Kebijakan negara-negara Eropa secara praktis telah memperkuat posisi kubu sayap kanan dan kelompok anti-imigran.
Pada dasarnya, partai-partai kiri dan kanan moderat yang berkuasa di Eropa mengambil pendekatan anti-imigran dengan memperketat keamanan demi mencegah masuknya pengungsi ke Eropa. Kebijakan ini semata-mata untuk mempertahankan posisi mereka di tengah masyarakat Eropa. Implikasi dari kebijakan tersebut adalah mendorong penguatan posisi partai-partai anti-imigran dan meningkatnya tindakan berbau rasis.
Data menunjukkan bahwa serangan terhadap pengungsi dan pencari suaka serta kamp-kamp penampungan mereka naik beberapa kali lipat. Pemerintah negara-negara Eropa juga tidak memiliki tekad serius untuk menindak para pelaku serangan rasial dan kelompok anti-imigran. Para pemimpin Eropa tampaknya tidak cemas terhadap serangan rasial itu dan menganggap aksi tersebut sebagai jalan untuk menekan pengungsi agar meninggalkan Eropa. Iklim yang tidak kondusif itu akan mencegah minat para pengungsi untuk masuk ke Eropa.
Pendekatan pemerintahan Eropa merupakan bentuk pelanggaran terhadap semua nilai-nilai humanisme dan konvensi internasional di bidang hak-hak pengungsi dan pencari suaka. Akan tetapi, pendekatan tersebut telah menciptakan sebuah krisis untuk integrasi Eropa.
Salah satu dari prinsip proyek integrasi Eropa adalah menghapus tapal batas budaya, agama, dan etnis. Sementara kebijakan anti-imigran justru akan memperkokoh pendekatan nasionalis dan rasis. Saat ini negara-negara besar anggota Uni Eropa menghadapi fakta berkuasanya partai-partai ekstrim kanan. Di Austria, partai ekstrim kanan dan anti-imigran (Partai Kebebasan) hanya tinggal satu langkah lagi untuk memenangi pemilu presiden di negara itu.
Di Denmark, Belanda, Swedia, Jerman, dan Perancis, partai-partai ekstrim kanan dan anti-imigran mendapat posisi yang menjanjikan dalam pemilu lokal, parlemen, dan negara bagian. Tahun 2017 akan menjadi tahun yang menentukan bagi Eropa. Jerman, Perancis, Belanda, dan Austria akan menyelenggarakan pemilu parlemen dan presiden. Di semua negara tersebut, kubu ekstrim kanan dan anti-imigran punya peluang besar untuk menguasai kursi di parlemen atau menduduki tempat kedua atau ketiga.
Di Austria, kursi presiden diperebutkan antara Partai Hijau dan kubu ekstrim kanan, Partai Kebebasan. Di Perancis, ketua partai Front Nasional Perancis, Marine Le Pen memiliki peluang besar untuk lolos pada putaran kedua pemilu presiden. Le Pen sangat dikenal anti-imigran dan kerap menyuarakan pesan-pesan anti-Islam. Para kandidat dari kubu sayap kanan dan kiri moderat Perancis juga mulai memperketat aturan hukum dan keamanan untuk melawan arus imigrasi sehingga mereka tidak kehilangan tempat di tengah publik Perancis.
Di Jerman, partai sayap kanan, Alternatif untuk Jerman (AFD) mampu meraih kesuksesan signifikan dalam pemilu lokal di negara itu. Kelompok ini sekarang fokus melakukan propaganda terhadap pengungsi dan aksi mereka juga mendapat dukungan dari orang-orang yang sepaham di negara lain Eropa. Jerman akan menggelar pemilu parlemen pada Agustus 2017. AFD memiliki peluang besar untuk menjelma menjadi kekuatan ketiga dan bahkan kedua di parlemen Jerman.
Aksi protes yang dilakukan oleh kelompok anti-Islamisasi PEGIDA di beberapa negara Eropa seperti, Belgia, Inggris, dan Swiss mengindikasikan adanya gerakan pemikiran anti-imigran dan anti-Islam di negara-negara Eropa. Kelompok ekstrim kanan sekarang mendesak pelarangan masuknya imigran dan pengusiran para pengungsi dari benua Eropa.
Di Belanda, Partai Kebebasan (PVV) pimpinan Geert Wilders – yang terkenal anti-Islam dan anti-imigran – merupakan partai politik terbesar keempat di negara itu. Ada kemungkinan partai Geert Wilders akan menang dalam pemilu parlemen Belanda dan kemudian ditugaskan untuk membentuk pemerintah. Partai-partai ekstrim kanan dan ultra-nasionalis Eropa menentang imigrasi dan pengaruh sistem nilai Timur Tengah di negara-negara mereka. Mereka juga menolak integrasi Eropa yang menurut mereka telah melemahkan potensi dalam negeri.
Perkembangan politik dan sosial Eropa menunjukkan bahwa tidak ada prospek yang cerah bagi pengungsi dan pencari suaka. Berkuasanya partai-partai ekstrim kanan di Eropa telah meramaikan diskusi tentang masalah keamanan dan identitas. Penguatan aspek ini akan menggeser diskusi tentang hak asasi manusia dalam berurusan dengan pengungsi.
Kanselir Jerman Angela Merkel selama dua tahun lalu melakukan banyak upaya untuk mendorong kebijakan imigrasi kolektif antara negara-negara Eropa. Salah satu kebijakan itu adalah distribusi pengungsi secara merata di negara-negara anggota Uni Eropa. Namun, skema untuk mendistribusikan pengungsi di antara 28 negara anggota sampai sekarang mendapat banyak penentangan dari dalam.
Ada penentangan serius di Jerman sendiri tentang bagaimana berurusan dengan arus pengungsi. Penentangan ini bahkan membuat Merkel meninjau ulang kebijakannya yang menerima pengungsi. Sebuah jajak pendapat di Jerman menunjukkan bahwa sekitar 40 persen warga negara itu meminta Merkel membatalkan kebijakannya setelah Jerman dibanjiri pengungsi. Dari 2.047 warga Jerman yang dimintai pendapat, 45,2 persen mengatakan mereka tidak percaya terhadap kebijaksanaan Merkel soal pengungsi.
Merkel tidak menutup mata terhadap mereka yang tidak setuju dengan kebijakannya. Dia berjanji mengurangi jumlah pengungsi dan pencari suaka yang tiba di Jerman pada tahun ini dengan berbagai tindakan yang diperlukan. Merkel bahkan telah mengumumkan rencana untuk mendeportasi 100.000 imigran yang tiba di negara itu tahun lalu. Merkel, yang terus diserang atas keputusannya membuka pintu lebar-lebar bagi para imigran, mengatakan pemerintah akan secara signifikan meningkatkan deportasi imigran.
Sikap Kanselir Jerman itu berubah drastis setelah popularitasnya terus merosot dan dukungan terhadap kelompok kanan-jauh, yang menentang kebijakan pintu terbuka Merkel atas imigran. Kebijakan yang bertujuan mencegah imigran masuk ke Eropa dan berlanjutnya arus pengungsian, maka masyarakat internasional harus siap menyaksikan tragedi kemanusiaan lain dari perjalanan berbahaya para pengungsi ke Eropa.