Genosida Muslim Myanmar di Tengah Kebisuan Dunia
(last modified Wed, 02 Aug 2017 02:35:56 GMT )
Aug 02, 2017 09:35 Asia/Jakarta

Hari ini banyak Muslimin di seluruh penjuru dunia yang merasakan berbagai bentuk kekerasan berbau rasisme etnis dan agama. Di sejumlah negara, Islam digambarkan sebagai agama yang berperan menyebarkan kekerasan dan ekstremisme. Pada realitasnya, masyarakat Muslim di Eropa, di banyak negara dilanda krisis di Afrika, Amerika dan Asia Timur, justru menjadi korban kekerasan dan ekstremisme. Maka dapat dikatakan bahwa Muslimin merupakan salah satu pengikut agama Tuhan yang paling tertindas.

Dari satu sisi, karena penafsiran keliru dan sekehendak hati yang dilakukan gerakan-gerakan seperti Wahabi terhadap Islam, maka para penyebar ajaran kemanusiaan dan akhlak, menjadi target pembunuhan massal kelompok-kelompok teroris Takfiri seperti Daesh di Suriah, Irak, Lebanon dan beberapa negara lain.

Di sisi lain, Muslimin di sejumlah banyak negara Eropa dan Amerika menjadi sasaran penyiksaan bahkan pembunuhan hanya karena memeluk Islam. Padahal minoritas Muslim di seluruh negara non-Muslim, merupakan kelompok masyarakat yang paling anti-kekerasan dan cinta kedamaian, terutama dalam menerima aturan berlaku di wilayah yang ditinggalinya.

Minoritas Muslim berusaha menjaga identitas keislaman mereka dengan memainkan peran positif dalam menyebarkan dan mengembangkan budaya negara tempat mereka tinggal. Tapi kenyataannya sekarang, Muslimin Myanmar tidak hanya sebagai minoritas Muslim, tapi sebagai minoritas keagamaan paling tertindas di muka bumi.

Konsentrasi Muslimin Myanmar atau yang lebih dikenal dengan sebutan Muslim Rohingya, ada di wilayah Utara Negara Bagian Rakhine. Keberadaan mereka tidak diakui secara resmi oleh pemerintah Myanmar. Otoritas negara itu menyebut Muslim Rohingya sebagai imigran gelap. Padahal PBB menganggap minoritas Muslim Rohingya sebagai salah satu minoritas terbesar yang sangat tertindas di dunia ini.

Seorang pemuda Muslim Rohingya, 19 tahun yang terpaksa mengungsi dari Myanmar terkait kehidupannya yang mengenaskan berkata, saya lahir di Myanmar, tapi pemerintah mengatakan kepada saya, kamu bukan orang Myanmar. Saya besar di Bangladesh, tapi pemerintah Bangladesh mengatakan, saya tidak bisa tinggal di sana. Sebagai warga Rohingya, saya membayangkan diri saya terperangkap di mulut buaya atau gigitan ular.

Foto-foto dan film mengerikan terkait serangan terhadap Muslimin Rohingya, adalah bukti tak terbantahkan tentang penderitaan di luar batas yang dirasakan minoritas ini di abad 21.  Pemerintah Myanmar, baik di masa junta militer, maupun di masa sekarang, bekerjasama dengan kelompok Buddha ekstrem menumpas minoritas Muslim Rohingya.

Aung San Suu Kyi, tokoh terkemuka Myanmar yang mendapat hadiah Nobel perdamaian, hingga kini lebih memilih diam menyaksikan pembantaian, diskriminasi dan kekerasan terhadap Muslimin Rohingya, walaupun dirinya punya pengaruh besar dalam pemerintahan negara itu.

Satu-satunya kebaikan yang diberikan Suu Kyi terhadap Muslim di Negara Bagian Rakhine, adalah mengizinkan masuknya segelintir wartawan ke wilayah Muslimin yang sudah ditetapkan sebagai zona tertutup. Muslimin Rohingya dalam kesempatan terbatas bertemu dengan wartawan, berusaha menceritakan semua penderitaan dan penindasan yang dialaminya.

Seorang perempuan Muslim bercerita tentang anaknya yang ditangkap, ia berkata, anak laki-laki saya bukan teroris, ia ditangkap ketika tengah bekerja di ladang atas tuduhan palsu. PBB dalam laporan terbarunya mengumumkan, sedikitnya 75.000 anggota minoritas etnis dan agama Myanmar mengungsi ke Bangladesh. Muslimin Rohingya saat ini banyak yang menderita kelaparan karena kebijakan diskriminatif dan rasis kelompok Buddha ekstrem didukung militer dan pemerintah Myanmar.

Program Pangan Dunia, WFP dalam laporan terbarunya mengatakan, lebih dari 80.000 anak Muslim Myanmar yang membutuhkan pengobatan karena menderita gizi buruk berada di wilayah Barat Myanmar, lokasi target serangan kelompok ekstrem Buddha. Kejahatan kelompok Budhha ekstrem di Myanmar tidak lebih kecil dari kejahatan yang dilakukan kelompok teroris Takfiri di Suriah dan Irak.

Buddha ekstrem membantai Muslim Rohingya, memutilasi mereka atau membakarnya hidup-hidup. Dalam sebuah video yang tersebar di media, kelompok Buddha ekstrem tampak menyiksa seorang anak Rohingya berusia tiga tahun dengan alat kejut listrik. Sebuah pemandangan menyedihkan dan mengerikan yang menggetarkan hati setiap orang.

Namun kejadian mengerikan itu tidak berpengaruh apapun bagi orang-orang yang mengaku pembela hak asasi manusia baik di negara-negara Barat, maupun di Naypyidaw, ibukota Myanmar. Aung San Suu Kyi, si pemenang hadiah Nobel perdamaian asal Myanmar itu pun hanya bisa diam layaknya pemerintahan junta militer, saat menyaksikan diskriminasi dan tindakan rasis terhadap Muslimin Rohingya.

Ketika tokoh perdamaian sekelas Suu Kyi menjadikan liberalisme Barat sebagai patokan dan standar hak asasi manusia, maka ia tidak bisa terlalu diharapkan. Dalam sistem liberal Barat, HAM adalah alat untuk meraih tujuan-tujuan politik.

Oleh karena itu, negara-negara Barat menggunakan HAM untuk menekan pemerintahan junta militer Myanmar dan menjadikan Suu Kyi sebagai simbol kebebasan dan perdamaian. Kenyataannya, Suu Kyi yang dikenal sebagai pejuang kebebasan dan perdamaian itu bersedia melakukan apapun untuk mempertahankan posisi politiknya, sekalipun harus menutup mata atas pembantaian dan genosida ribuan Muslim Rohingya.

Sekitar empat tahun lalu, Suu Kyi dalam pertemuan dengan Jose Manuel Barroso, mantan Presiden Komisi Eropa, ketika ditanya soal kekhawatiran mendalam Barroso terkait kekerasan terhadap Muslimin Rohingya mengatakan, saya tidak bisa berbicara soal dukungan atas Muslimin Rohingya.

Aung San Suu Kyi mengaku tidak bisa mengambil sikap terkait genosida Muslimin Rohingya, padahal dua minggu sebelumnya, lebih dari 100.000 Muslim Rohingya dipaksa mengungsi dan seluruh desa dan empat kota berpenduduk Muslim di Rakhine, habis dilahap api dan rata dengan tanah.

Aksi-aksi kekerasan yang dilakukan kelompok Buddha ekstrem didukung militer dan pemerintah Myanmar terhadap Muslimin, jelas bertolak belakang dengan ajaran-ajaran damai Buddha sendiri. Kelompok Buddha ekstrem Myanmar justru merusak citra agamanya dan para pengikutnya di mata masyarakat internasional, dengan membantai Muslimin Rohingya.

Buddha adalah seorang pangeran kerajaan di India yang meninggalkan kehidupan mewahnya sebagai pangeran di istana ayahnya dan lebih memilih pencarian hakikat, sekalipun harus mengalami penderitaan dan kehidupan yang sulit. Pada akhirnya ia mendirikan sebuah aliran yang mengusung ajaran utama "jalan tengah" yaitu selalu mengedepankan sikap moderat di seluruh sendi kehidupan.

Buddha kemudian menyusun aturan dan hukum untuk para pengikutnya berdasarkan ajaran utamanya itu. Salah satu aturan paling prinsip yang harus ditaati setiap pemeluk agama Buddha adalah "Prinsip Lima Kemoralan". Hukum ini juga dikenal sebagai lima dasar pedoman hidup Pancasila Buddha. Kata Pancasila diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti Lima Kemoralan.

Berikut ini adalah arti dari ke-5 Pancasila Buddha tersebut :

  1. Aku bertekad melatih diri untuk menghindari pembunuhan
  2. Aku bertekad melatih diri untuk tidak mengambil barang yang tidak diberikan
  3. Aku bertekad melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan asusila
  4. Aku bertekad untuk melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar /berbohong, berdusta, fitnah dan omongkosong.
  5. Aku bertekad untuk melatih diri menghindari segala minuman dan makanan yang dapat menyebabkan lemahnya kewaspadaan

Sementara foto-foto dan video yang menayangkan aksi brutal dan tidak berperikemanusiaan kelompok Buddha ekstrem Myanmar atas Muslimin sepenuhnya bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Buddha yang sebenarnya.

Laporan-laporan tentang kejahatan bengis kelompok Buddha ekstrem terhadap Muslimin Rohingya membuktikan bahwa ketika ekstremisme sudah mencemari agama, maka para pengikutnya pun akan melanggar prinsip-prinsip utama ajaran agama tersebut. Para biksu Buddha di Myanmar bukan saja menyetujui pembunuhan, perampokan dan pembakaran rumah Muslimin, mereka bahkan memprovokasi warga Buddha untuk melakukan kejahatan-kejahatan itu.

Tags