Sikap Miris Cina dan India Soal Muslim Rohingya
(last modified Sun, 08 Oct 2017 04:00:57 GMT )
Okt 08, 2017 11:00 Asia/Jakarta

Di antara negara-negara di wilayah Asia dan bahkan dunia, Cina memiliki hubungan yang istimewa dengan pemerintah Myanmar, dan selama junta militer di Myanmar disanksi oleh Barat, Cina dan India justru memberikan dukungan penuh dan memperluas pengaruhnya di negara tersebut. Myanmar memiliki letak strategis di Asia Tenggara, karena punya akses ke perairan internasional Malaka serta menyimpan cadangan minyak dan gas.

Oleh karena itu, Cina bukan hanya mitra bisnis dan ekonomi terpenting Myanmar selama periode sanksi dan pengucilan internasional terhadap junta militernya, tapi juga menjadi andalan utama pemerintah Myanmar untuk melawan tekanan internasional karena kasus genosida Muslim Rohingya.

Cina dan Rusia – sebagai dua anggota tetap Dewan Keamanan PBB – merupakan sekutu pemerintah Myanmar. Kedua negara ini terus mencegah keluarnya statemen anti-Myanmar di Dewan Keamanan terkait pembantaian Muslim Rohingya. Cina juga mendukung apa yang disebut sebagai upaya pemerintah Myanmar untuk menjaga stabilitas di dalam negeri.

Penasihat Keamanan Nasional Myanmar, Thaung Tun mengatakan, "Myanmar mengandalkan Cina dan Rusia – sebagai dua anggota tetap Dewan Keamanan PBB – untuk mencegah perilisan resolusi Dewan Keamanan, karena Beijing adalah sahabat Naypyidaw yang sangat baik."

Tujuan utama Cina dalam mendukung Myanmar adalah untuk menjamin pasokan bahan bakar ke negaranya, memastikan kebebasan navigasi di jalur strategis Malaka, mencegah dominasi Amerika Serikat di kawasan, dan menghalangi menguatnya pengaruh Washington di Myanmar. Cina telah menginvestasikan lebih dari 14 miliar dolar di Myanmar, di mana menunjukkan bahwa tujuan utama Cina di Myanmar tidak hanya ekonomi, tapi juga mengejar posisi strategis negara tersebut.

Berdasarkan sebuah kontrak yang ditandatangani antara Beijing dan Naypyidaw pada tahun 2009, dua jaringan pipa besar akan dibangun untuk pengiriman minyak dan gas dari Myanmar ke Cina. Pada dasarnya, Cina ingin memastikan keamanan pasokan energinya melalui jaringan pipa tersebut dan mengurangi ketergantungan pada pasokan dari Timur Tengah, yang berpotensi mendapat hambatan dari AS. Untuk itu, sangat penting bagi Beijing untuk memperluas kerja sama dengan Naypyidaw.

Direktur Institut untuk Studi Strategis Rusia (RISS), Alexander Gusev seperti dikutip kantor berita Sputnik, mengatakan, "Cina adalah mitra strategis pemerintah Myanmar dan telah melakukan investasi besar di sektor ekonomi negara itu, termasuk dalam pembangunan jalan dan dua pelabuhan, yang tidak begitu menyenangkan bagi Amerika."

Ketidakpedulian Cina terhadap genosida Muslim Rohingya juga terkait dengan upaya mereka untuk menyalip kekuatan-kekuatan regional dan internasional demi memperkuat kehadirannya di Myanmar. Pasca penghapusan sanksi Myanmar oleh kekuatan dunia, negara-negara Barat terutama AS telah membuat terobosan besar untuk menduduki posisi penting ekonomi di wilayah Asia Tenggara dan perairan internasional Malaka. Perkembangan ini tentu saja mengundang khawatirkan Cina.

Presiden AS waktu itu, Barack Obama sudah dua kali melakukan kunjungan ke Myanmar untuk menegaskan posisi Washington di Asia Tenggara. Di samping itu, Cina sangat ingin untuk membatasi zona konflik dengan warga Muslim di daerah barat Myanmar, Filipina Selatan dan Thailand Selatan, serta mencegah penyebaran konflik itu ke wilayah etnis Muslim di Cina khususnya Xinjiang.

Oleh karena itu, Cina tetap memilih diam meskipun dunia internasional memprotes kejahatan yang dilakukan penguasa Myanmar terhadap Muslim Rohingya di Rakhine, sehingga bisa memperoleh kepuasan yang lebih besar dari Naypyidaw.

India – dalam rivalitasnya dengan Cina – telah mengintensifkan upayanya untuk meningkatkan kehadirannya di Myanmar dalam beberapa tahun terakhir. Tentu saja, keinginan pemerintah Myanmar untuk menyeimbangkan hubungannya dengan kekuatan regional dan internasional seperti Cina dan AS, telah mendorong Naypyidaw untuk menyambut baik perluasan hubungan dengan New Delhi lebih dari sebelumnya.

Sentimen negatif umat Hindu terhadap masyarakat Budha, telah membuat pemerintah India bersikap dingin terhadap konflik masyarakat Budha dengan Muslim Rohingya. India sangat menyadari bahwa kebijakan mengusir pengungsi Muslim Rohingya akan mengundang kepuasan Cina. Jadi, India tidak hanya diam terhadap penindasan Muslim Rohingya oleh pemerintah Myanmar, tetapi dengan pengusiran tersebut, juga ingin meningkatkan tekanan terhadap warga Muslim khususnya Bangladesh.

Maulana Mahmoud Madani, Sekjen Komunitas Ulama India kepada kantor IRNA, mengatakan, "Keputusan pemerintah India untuk mengusir pengungsi Muslim Rohingya di tengah aksi pembantaian oleh Myanmar, tidak hanya mengejutkan, tapi juga merusak citra negara ini."

Menteri Dalam Negeri India, Rajnath Singh pada 21 September lalu, mengatakan bahwa Muslim Rohingya adalah imigran gelap dan mereka tidak bisa dianggap sebagai pencari suaka. Ia menegaskan, keputusan mengusir Muslim Rohingya dari India tidak melanggar hukum apapun, karena India tidak pernah menandatangani Konvensi Pengungsi PBB Tahun 1951.

Pada saat pemerintah Myanmar menghadapi tekanan regional dan internasional agar menghentikan pembantaian Muslim Rohingya, Perdana Menteri India Narendra Modi justru menunjukkan dukungan dan solidaritas kepada pemerintah Naypyidaw selama kunjungannya pada September 2017. Modi tidak ingin tertinggal dari Cina dan negara-negara Barat terutama Amerika, dalam mendapatkan keuntungan ekonomi, perdangan, dan investasi di Myanmar.

Selain itu, Parlemen India juga menolak untuk menyetujui deklarasi Forum Parlemen Dunia di Bali, Indonesia, di mana mengutuk kejahatan yang dilakukan Myanmar terhadap Muslim Rohingya. Penolakan ini memicu protes dari pemerintah Bangladesh.

Zafarul Islam Khan, anggota Dewan Musyawarah India seperti dikutip IRNA, mengatakan, "Langkah pemerintah India dalam mengusir pengungsi Muslim Rohingya dan mengabaikan pembunuhan mereka, adalah sebuah tindakan yang tidak manusiawi yang perlu ditinjau ulang. Sebab, berbeda dengan klaim-klaim para pejabat pemerintah India, pengungsi Rohingya sama sekali tidak memiliki risiko keamanan bagi negara ini."

Patut dicatat bahwa dalam pertemuan dengan pejabat Myanmar, Perdana Menteri India Narendra Modi berbicara mengenai perang kolektif melawan terorisme, padahal masyarakat internasional mengutuk Myanmar karena melakukan terorisme negara terhadap Muslim Rohingya, yang oleh PBB dianggap sebagai minoritas paling tertindas di dunia, dan menyerukan penghentian genosida.

Sambil tetap diam di hadapan kejahatan tersebut, pemerintah India mendukung Myanmar untuk melawan tekanan internasional. Padahal, masyarakat India dengan demonstrasi massa di berbagai kota di negara itu, menyerukan penghentian kejahatan pemerintah Myanmar terhadap Muslim Rohingya.

Ini berarti bahwa posisi pemerintah New Delhi tidak didukung oleh masyarakat India, dan mereka menginginkan perhatian pemerintah terhadap isu-isu kemanusiaan, yang telah diabaikan oleh Inggris selama penjajahannya atas India dan menyebabkan pemberontakan rakyat India melawan kolonialisme Inggris.

Tags