Masa Depan Quds dan Melebarnya Friksi Transatlantik
(last modified Wed, 13 Dec 2017 05:10:49 GMT )
Des 13, 2017 12:10 Asia/Jakarta

Setelah berkuasanya Donald Trump, Presiden Amerika Serikat yang populis dan kontroversial pada bulan Januari 2017, kita menyaksikan munculnya friksi yang berkembang di antara kawasan Transatlantik. Memang, posisi Trump yang berbeda dan terkadang kontradiktif dengan posisi Uni Eropa dalam berbagai isu kini telah menjadi salah satu karakteristik hubungan transatlantik.

Pejabat senior Uni Eropa seperti Federica Mogrini, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa dan dua pemimpin kunci Uni Eropa; Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Prancis Emmanuel Macron, memiliki pandangan berbeda dengan Trump mengenai isu-isu kunci, baik dalam hubungan bilateral maupun dalam urusan global. Sikap, langkah dan keputusan Trump bukan hanya membangkitkan protes mereka, tapi kini muncul perubahan substansial dalam hubungan UE dan Amerika. Bila dahulunya berupa kerjasama strategis, maka saat ini hanya sebatas hubungan kemitraan.

Kini, dengan mencermati kebijakan ekonomi dan politik luar negeri sepihak Trump, hubungan Transatlantik mengalami kerumitan, sehingga mayoritas analis politik berbicara soal perpisahan Amerika dengan Eropa. Vladimir Zakharov, Ketua Institut Studi Strategis dan Politik Rusia menyinggung langkah-langkah sepihak Trump termasuk meratifikasi UU CATSA seraya menjelaskan, “Pada dasarnya, Amerika dengan langkah-langkah barunya ingin Uni Eropa tampak lemah dan merugikan negara-negara UE. Friksi terbaru antara dua mitra Transatlantik ini kembali pada pernyataan Trump soal al-Quds.”

Donald Trump, Presiden Amerika hari Rabu (6/12) lalu mengeluarkan keputusan mengakui secara resmi Baitul Maqdis sebagai ibu kota Israel. Keputusan tersebut memicu gelombang kecaman dari para pemimpin dunia. Setelah itu, Trump memerintahkan kementerian luar negeri untuk mengambil langkah-langkah pendahuluan bagi pemindahan Kedubesa Amerika dari Tel Aviv ke Baitul Maqdis.

Kongres Amerika mengesahkan proyek pemindahan kedubes negara itu ke Al Quds pada 23 Oktober 1995. Akan tetapi pemerintahan Amerika sejak saat itu hingga sekarang tidak pernah melaksanakan keputusan Kongres tersebut. Langkah Trump ini dalam hal ini menunjukkan perhatian khususnya akan tuntutan ilegal rezim Zionis Israel. Karena kota Baitul Maqdis sejak tahun 1967 menjadi daerah jajahan Zionis Israel. Trump mengklaim bahwa apa yang dilakukannya sekadar memenuhi janji kampanyenya.

Kongres Amerika

Tidak cukup itu, ia menuduh para presiden Amerika sebelumnya telah melanggar janjinya. Tapi bagaimanapun juga, langkah Trump ini menuai protes luar biasa, baik di dalam Palestina, negara-negara Arab dan Islam dan bahkan di tingkat internasional. Lembaga-lembaga internasional dan para pejabat dari pelbagai negara mengeluarkan peringatan akan dampak negatif dari langkah anti-Palestina ini dan mengancam perundingan “damai” Palestina.

Menarik untuk menyimak sikap Uni Eropa terkait langkah yang ditempuh Trump. UE dan negara-negara Eropa ternyata menyatakan penolakannya, bahkan Teresa May, Perdana Menteri Inggris yang merupakan sekutu strategis Amerika menyebut apa yang dilakukan Trump ini sangat tidak konstruktif. Lebih jauh, May bahkan mengecam sikap Trump.

Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Federica Mogherini mereaksi pernyataan Donald Trump. Ia menentang langkah sepihak Washington memindahkan kedubes AS dari Tel Aviv ke Baitul Maqdis. Menurutnya, setiap langkah AS memindahkan kedubesnya ke Baitul Maqdis dan pengakuan resmi kota ini sebagai ibukota Israel akan sangat berbahaya dan dapat memperdalam konfrontasi di Timur Tengah. Oleh karenanya, Mogherini menekankan, “Setiap langkah yang dapat merusak upaya perdamaian antara Israel dan Palestina harus dihindari.”

Mogherini hari Jumat (8/12) menyatakan bahwa tidak adanya prospek bagi pembentukan negara independen Palestina dengan kedaulatan, ibukota dan lembaga-lembaga legal merupakan ancaman besar bagi keamanan regional. Dengan mencermati prospek menakutkan ini, tampaknya UE berpendapat harus berpisah dari jalan Amerika demi menyelesaikan masalah Palestina dalam kerangka regional dan internasional. Karena sikap Trump ini telah membuat masalah Palestina menemui jalan buntu. Menurut Mogherini, perundingan-perundingan damai harus terus berlanjut dengan kehadiran Mesir dan Jordania.

Mogherini

Benar, sikap Eropa tidak terbatas pada pernyataan Mogherini, karena para kepala negara Eropa juga ikut mengecam apa yang disampaikan Trump. Dengan demikian, kita menyaksikan langkah bersama Eropa terkait masalah ini.

Keempat anggota Dewan Keamanan PBB dari Eropa ditambah Jerman, setelah sidang DK-PBB pada 8 Desember, mengeluarkan sebuah pernyataan tegas tentang tindakan yang diambil oleh Trump. Dalam hal ini, perwakilan Perancis, Jerman, Swedia, Inggris dan Italia, anggota tetap dan tidak tetap Dewan Keamanan PBB, dalam pernyataan bersama mereka, menyebut keputusan Amerika untuk mengakui Baitul Maqdis sebagai ibukota rezim Zionis, “bertentangan dengan resolusi Dewan Keamanan” dan “tidak layak bagi perdamaian kawasan”.

Di bagian lain dari pernyataan tersebut menyebutkan, “Kondisi Quds harus diklarifikasi lewat perundingan antara Israel dan Palestina demi meraih kesepakatan akhir. Ini adalah sikap tegas Uni Eropa bahwa kondisi Quds sebagai ibukota harus dari kedua pihak. Sampai saat itu, kami tidak akan mengakui kedaulatan apapun atas Baitul Maqdis.”

Pernyataan itu menambahkan, “Sesuai dengan hukum internasional dan resolusi yang relevan, kami mengakui Baitul MaqdisTimur sebagai bagian dari wilayah Palestina yang diduduki dan kesepakatan terakhir harus didasarkan pada perbatasan pada 4 Juli 1967 dan tanah yang ditukarkan disepakati antara kedua belah pihak. Uni Eropa tidak mengakui adanya perubahan pada batas-batas perbatasan pra-1967 kecuali yang telah dikonfirmasi oleh kedua belah pihak.”

Kota Baitul Maqdis

Pada pertemuan Dewan Keamanan PBB yang berlangsung atas permintaan setengah dari anggota DK-PBB, Amerika benar-benar terisolasi. Selain wakil dari rezim Zionis Israel, semua negara menentang sikap pemerintah Amerika.

Mengingat kebersamaan relatif Eropa dan Amerika Serikat sehubungan dengan dukungan materi dan politik terhadap rezim Zionis, Trump berpikir bahwa orang-orang Eropa tidak akan menentang keputusan ini atau pada akhirnya melakukan penolakan lunak. Tapi apa yang terjadi berbeda dengan harapan Trump. Karena sikap tegas Uni Eropa dan pernyataan bersama lima negara Eropa dalam hal ini menunjukkan kini friksi terkait masa depan Quds menambah daftar panjang perbedaan AS dan UE. Posisi resmi Uni Eropa dalam masalah Palestina adalah mendukung solusi penyelesaian dua negara di Palestina.

Sekaitan dengan hal ini, Federica Mogherini, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa pada Maret 2017 menilai penyelesaian dua negara independen merupakan solusi terbaik untuk mencapai perdamaian berkelanjutan. Menurutnya, kebijakan UE dalam hal ini tidak mengalami perubahan dan Baitul Maqdis harus menjadi ibukota dua negara dan kami mendukung kehadiran warga Palestina di timur Baitul Maqdis.

Sekalipun demikian, Uni Eropa tidak mengambil langkah-langkah berarti. Margret Johansen, peneliti di Institut Kebijakan Perdamaian dan Keamanan, Universitas Hamburg meyakini bahwa Uni Eropa tidak mengambil langkah-langkah yang cuup untuk pembentukan negara Palestina. Selain itu, penentangan UE atas aksi-aksi kejahatan Zionis Israel terhadap warga Palestina hanya sebatas mengeluarkan pernyataan atau menerapkan sanksi.