Peran Intervensif AS di Kawasan Asia Barat
Amerika Serikat memiliki catatan panjang kehadiran militernya di kawasan. Pada hakikatnya, pasca penarikan tentara Inggris dari Teluk Persia pada tahun 1971, Amerika Serikat menunjukkan fokus tinggi untuk memperkuat kehadiran militernya di kawasan strategis ini, dan bahkan membangun pangkalan Armada Kelima angkatan lautnya di Bahrain.
Teluk Persia sejak dulu sangat penting sampai sekarang karena kekayaan minyaknya. Kawasan ini kini menjadi tempat perang proxy dan persaingan senjata. Pada prosesnya, pencegahan peran Iran di kawasan telah menjadi prioritas kebijakan AS. Amerika Serikat, Arab Saudi dan Israel sekarang fokus untuk menyingkirkan Iran dari transformasi politik di kawasan.
Menteri Pertahanan AS, James M. Mattis pada hari Jumat tanggal 19 Januari 2018 merilis dokumen baru "Strategi Pertahanan Nasional 2018". Dalam dokumen itu, disebutkan enam kali nama Iran dan tuduhan terhadap Republik Islam. Isu utama dalam tuduhan anti-Iran adalah tuduhan dukungan Iran terhadap terorisme, proyek infiltrasi dan hegemoni, serta ancaman kekuatan rudal Iran.
Dokumen itu menyebutkan, Pentagon akan melanjutkan upayanya untuk menjegal Iran. Pentagon berencana melakukan ini melalui aliansi regional. Namun Amerika Serikat, telah menjalankan kebijakan anti-Iran multi-dimensi selama bertahun-tahun yang terfokus pada tiga isu utama. Pertama adalah menciptakan citra palsu tentang Revolusi Islam dan memperkenalkan Republik Islam Iran sebagai faktor instabilitas di kawasan. Ini merupakan kebijakan utama Amerika Serikat di Timur Tengah dan hingga kini masih berlanjut.
Kedua blokade politik dan ekonomi Iran dalam kerangka sanksi dan penjegalan kemajuan Iran dalam pembangunan ekonomi, ilmiah dan hubungan internasional. Upaya ini juga masuk dalam agenda Amerika Serikat. Adapun strategi ketiga adalah menciptakan tantangan keamanan di sekitar Iran dan mencoba untuk melemahkan kemampuan pertahanan Iran. Fokus saat ini adalah pada kekuatan rudal dan peran Korps Garda Revolusioner Islam Iran (IRGC) serta kekuatan defensif Iran di kawasan.
Proses ini menunjukkan bahwa pokok strategi AS di kawasan adalah untuk melanggengkan ketegangan dan krisis rekayasa dengan kedok upaya mewujudkan keamanan.
Salah satu tujuan strategis untuk meningkatkan kehadiran militer asing di kawasan sejak dulu adalah kelanjutan politik perpecahan dan provokatif di kawasan. Sebuah politik yang telah digulirkan pihak asing selama bertahun-tahun untuk memajukan tujuan mereka.
Dalam hal ini, serangan 11 September 2001 di wilayah Amerika Serikat, membuka kesempatan emas bagi kubu neo-konservatif untuk mengubah perimbangan kekuatan di tingkat internasional. Dengan demikian, selama tiga dekade, kebijakan mempertahankan kondisi yang berlaku di Teluk Persia telah beralih ke perubahan kondisi .
Dengan terjadinya peristiwa 11 September, terbuka peluang emas bagi kaum neo-konservatif untuk berperan dalam mewujudkan teori politik berbasis kekuatan dan pemulihan hegemoni Amerika Serikat dalam konstelasi baru. Dengan demikian, penggunaan kekuatan danmiliter sebagai tulang punggung diplomasi Amerika mulai menjadi fokus utama meski tanpa dukungan masyarakat internasional.
Pasca operasi militer Washington di Afghanistan dan kehadiran pasukan koalisi di negara itu, kebijakan Washington menjadi semakin ekstrem dan politik preemptive-nya telah berubah menjadi poros durjana di kawasan ini. Klaim Amerika untuk membangun wilayah yang aman lebih mengacu pada dagelan politik.
Amerika, yang merupakan sumber kejahatan dan instabilitas di dunia, setelah insiden 11 September, menginvasi serta menduduki Afghanistan dan kemudian Irak. Namun akibat dari invasi dan pendudukan ini, alih-alih tercipta keamanan, muncul kelompok teroris al-Qaeda dan Daesh, yang merupakan produk dari 10 tahun kehadiran militer Amerika di Irak.
Sekarang, Trump sebagai presiden paling kontroversial dalam sejarah AS tampil dengan perspektif yang lebih destruktif dengan dalih keamanan, memusatkan perhatiannya pada beberapa isu yang di antaranya adalah menarget kawasan Asia Barat (Timur Tengah) dengan dalih ancaman terhadap keamanan AS.
Ancaman itu merupakan gabungan antara terorisme, senjata pemusnah massal dan keberadaan rezim-rezim anti-Amerika. Menurut perspektif para analis internasional, inti dari kebijakan luar negeri AS, terutama di Timur Tengah dan kawasan Teluk Persia, difokuskan pada konfrontasi dengan Iran.
Dr. Mohammad Jamshidi, profesor dan anggota dewan ilmiah kelompok Studi Regional di Fakultas Ilmu Politik, Universitas Tehran, dan direktur Departemen Kebijakan Luar Negeri di Pusat Riset Parlemen Iran mengatakan;
"... Sejumlah transformasi masa lalu seperti kudeta atau berbagai kezaliman nyata lainnya telah memberikan gambaran jelas dalam perilaku Amerika bagi rakyat Iran, oleh karena itu muncul semacam pesimisme. Terlepas dari adanya permusuhan, orang-orang Amerika seharusnya tidak berilusi dan tidak keliru menilai sikap Iran di kawasan. Upaya Iran di kawasan tidak dalam rangka hegemoni melainkan mengupayakan perdamaian. Iran adalah pendukung demokrasi di kawasan ini, dan melihat dengan baik bahwa kepentingannya terjaga di mana pun terdapat demokrasi (Suriah, Yaman, Bahrain, Irak atau Palestina). Oleh karena itu Iran mengupayakan demokrasi dan perdamaian."
Adapun Amerika Serikat, dengan klaim anti-Irannya berusaha meyakinkan pihak lain bahwa Republik Islam adalah ancaman. Profesor John Mearsheimer, profesor di University of Chicago, pada sebuah seminar yang digelar baru-baru ini dengan tema "Masa Depan Regional Asia Barat: Perspektif Iran dan Amerika Serikat" di Tehran, menyinggung tren dalam kebijakan luar negeri AS antara tahun 2002 sampai 2017, dan selama era pasca 11 September, mengatakan: "...perubahan rezim merupakan salah satu tujuan politik luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah dan telah dilakukan upaya untuk mewujudkannya di Afghanistan, Irak, Suriah, Libya dan Mesir."
Terkait politik luar negeri Trump, dia mengatakan, "Dia (Trump) tidak memiliki pengalaman, dan hanya memimpin Amerika Serikat kurang dari satu tahun. Dia mengambil keputusan mendadak dan terkait isu-isu penting sikapnya dapat berubah-ubah."
Sementara Arab Saudi dan sejumlah rezim Arab opresor di kawasan Teluk masih mengulangi kesalahan masa lalu, yang menilai Amerika Serikat terus sebagai penjamin pemerintahan mereka yang goyah. Dalam sebuah wawancara dengan jaringan CNN, mantan presiden AS Barack Obama, setelah kesepakatan nuklir Iran dan Kelompok 5+1, mengatakan, "... Amerika memiliki kesalahan masa lalu tentang Iran, termasuk dukungan AS terhadap Saddam Hossein dalam perang melawan Iran."
Amerika Serikat justru membangun jembatan di atas kesalahan tersebut untuk menggapai tujuan politiknya, dan sekarang Menteri Pertahanan AS sedang membicarakan rencana baru untuk menghadapi Daesh di Suriah, padahal langkah-langkahnya bukan demi melawan Daesh melainkan untuk menciptakan formasi militer negara-negara Arab di Teluk Persia dalam menghadapi Iran.