Ketika AS dan Israel Keluar dari UNESCO
Sejak awal Januari 2019, AS dan Israel secara resmi keluar dari UNESCO sebagai bentuk protes terhadap organisasi PBB. Dirjen Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB, UNESCO hari Jumat (29/12) mengumumkan keputusan keluarnya Israel dari keanggotaan UNESCO.
Keputusan ini diambil menindaklanjuti keputusan keduanya yang telah disampaikan dua tahun lalu. Perdana Menteri Rezim Zionis Israel, Benjamin Netanyahu pada 12 Oktober 2017 lalu, beberapa jam setelah pengumuman keluarnya Amerika Serikat dari UNESCO, menegaskan bahwa Israel juga sudah bersiap untuk keluar dari organisasi itu.
Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Amerika memutuskan akan keluar dari UNESCO, karena organisasi ini dipandang memusuhi Israel. Sebelumnya, AS terlebih dahulu memutus bantuan dana untuk UNESCO setelah Palestina diterima sebagai anggota organisasi PBB.
Pada tanggal 2 Mei 2017 UNESCO juga mengesahkan sebuah resolusi yang mengecam pelanggaran terhadap aturan internasional di Baitul Maqdis dan Jalur Gaza oleh Israel, dan menyebut rezim itu sebagai pasukan penjajah.
Sekjen PBB memprotes keras keputusan pemerintah Amerika Serikat keluar dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB, UNESCO. Antonio Guterres, Sekjen PBB, Kamis (12/10/2017) mengatakan, dengan memperhatikan peran Washington di UNESCO sejak berdirinya, keputusan Donald Trump, Presiden Amerika keluar dari organisasi ini, sangat disesalkan.
Kondisi kota Baitul Maqdis dan kompleks haram Masjid Al-Aqsa selama bertahun-tahun menjadi zona konflik. PBB menetapkan wilayah ini sebagai daerah pendudukan dan menyerukan Israel kembali ke perbatasan sebelum meletus perang enam hari di tahun 1967.
Tapi alih-alih mematuhi seruan PBB, rezim Zionis justru berambisi menjadikan Baitul Maqdis sebagai ibu kota negara Yahudi. Sedangkan Palestina berjuang untuk mengambil wilayah timur Baitul Maqdis yang dijarah Zionis, dan berupaya menjadikannya sebagai ibu kota negara merdeka.
Dalam sebuah keputusan yang diambil berdasarkan kajian terhadap dokumen historis, UNESCO memutuskan bahwa Masjid Al Aqsa bukan milik Yahudi. Selain AS, 58 negara mendukung keputusan tersebut. Berdasarkan keputusan ini, UNESCO menegaskan bahwa Israel tidak memiliki hak kepemilikan terhadap Baitul Maqdis.
Resolusi UNESCO menyerukan supaya kontrol Masjid Al Aqsa dikembalikan sebelum tahun 2.000 yang berada dalam kendali badan wakaf Yordania. Resolusi UNESCO tersebut juga menyinggung masalah penghentian pembangunan distrik Zionis, serta kecaman terhadap pembuatan jalur khusus bagi penghuni distrik Zionis dan tembok pembatas di daerah tua Al-Khalil.
Pada Mei 2016, Komite Eksekutif UNESCO mengeluarkan resolusi yang mengecam rezim Zionis karena melanggar hukum internasional di kota Al Quds pendudukan dan Jalur Gaza, dan menyerukan penghormatan terhadap identitas historis Quds. Resolusi itu juga mengingatkan tanggung jawab internasional Tel Aviv untuk menghormati identitas Islami Masjid Al Aqsa dan Al Haram Al Sharif.
UNESCO dalam resolusi tersebut menyatakan, "Tujuan dimasukkannya sebuah frase dalam teks resolusi organisasi ini yang mengacu pada Al Quds dengan identitas agama-agama monoteisme – Yahudi, Kristen dan Islam – adalah untuk menetralisir rencana rezim Zionis untuk yahudisasi kota Quds." Resolusi tersebut memperkenalkan Tel Aviv sebagai kekuatan pendudukan dan tidak mengakui pendudukan bagian timur Al Quds oleh Zionis.
UNESCO mengkritik rezim Zionis karena menjalankan proyek penggalian di bagian timur Al Quds dan di kawasan Kota Tua, dengan mengatakan, "Bentuk pendekatan Tel Aviv dengan kota Gaza, makam para leluhur di Al Khalil, dan Makam Rachel di Betlehem, yang bertentangan dengan hukum internasional."
Sidang ke-41 Komite Warisan Dunia UNESCO di kota Krakow, Polandia berhasil mendaftarkan kota Al Khalil sebagai situs Warisan Dunia di Palestina. Al Khalil merupakan kota tertua di Palestina yang diperkirakan berusia sekitar 6.000 tahun. Setelah Mekah, Madinah dan Baitul Maqdis, Al Khalil menjadi kota keempat paling penting bagi umat Islam.
Di daerah ini dimakamkan Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, Nabi Yakub dan para istri mereka. Daerah ini juga dianggap penting oleh penganut agama Yahudi dan agama tauhid lainnya.
Langkah UNESCO menjadikan Baitul Maqdis sebagai kota penting yang berada dalam pendudukan, justru dihadapi oleh kebijakan AS yang mengambil langkah sebaliknya.
Di akhir tahun 2017, AS secara resmi mengakui Baitul Maqdis sebagai ibu kota Israel. Padahal PBB menegaskan bahwa wilayah timur Baitul Maqdis yang dikuasai Israel sebagai daerah pendudukan. Hingga kini Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan 15 resolusi, Majelis Umum PBB 7 resolusi dan UNESCO 6 resolusi yang memprotes pendudukan Baitul Maqdis oleh rezim Zionis.
Keputusan Presiden AS, Donald Trump mengakui Baitul Maqdis sebagai ibu kota Israel dan pemindahan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Baitul Maqdis memicu penentang luas dari publik dunia, termasuk termasuk PBB dan Uni Eropa. Majelis Umum PBB dalam sidang yang berlangsung hari Kamis (21/12/2017) tidak mengakui Baitul Maqdis sebagai ibu kota Israel. Resolusi ini didukung 128 suara setuju, 9 menentang dan 35 abstain.
Sehari sebelumnya Presiden AS, Donald Trump mengancam bahwa Washington akan menghentikan bantuan finansialnya kepada negara-negara yang hendak menentang keputusan AS mengenai Baitul Maqdis di sidang Majelis Umum PBB.
Sidang Majelis Umum PBB digelar setelah AS Senin malam (18/12) memveto rancangan resolusi yang diusulkan Mesir mengenai Baitul Maqdis, meskipun 14 anggota Dewan Keamanan PBB menyetujuinya.
Prakarsa resolusi ini menyerukan kepada seluruh negara dunia untuk menghindari pembentukan perwakilan diplomatik, baik kedutaan maupun konsuler di kota Baitul Maqdis berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB no.478.
Sejatinya, keluarnya AS dan Israel secara resmi dari UNESCO hanya akan membuat keduanya semakin terkucil di kancah internasional melebihi sebelumnya.(PH)