Sidang Kepala Negara Dunia di Majelis Umum PBB tentang Perubahan Iklim
-
Antonio Guterres, Sekjen PBB
Para kepala negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah berkumpul selama lima hari di markas PBB di New York dalam beberapa hari terakhir untuk membahas pandangan mereka tentang masalah paling penting yang dihadapi dunia, dari perubahan iklim hingga pembangunan berkeseimbangan dan dari krisis regional di Timur Tengah, Kashmir dan Hong Kong hingga perdamaian di Afghanistan.
Untuk tujuan ini, pada hari Senin, 23 September 2019, Majelis Umum PBB mengadakan pertemuan tentang perubahan iklim dengan partisipasi para pemimpin dunia. Pada pertemuan puncak itu, para pemimpin dunia membahas iklim planet bumi dari 2015 hingga 2019. Ada laporan dalam hal ini yang akan disajikan kepada Anda saat ini.

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengeluarkan laporan pada hari Ahad lalu, 22 September 2019, menjelang sidang Majelis Umum PBB, mempublikasikan sebuah laporan tentang perubahan iklim dari 2015 hingga 2019 yang menyinggung tanda-tanda dan efek luar biasa dari perubahan iklim seperti naiknya permukaan laut, pencairan es, dan badai hebat.
Menurut laporan itu, tahun-tahun ini adalah lima tahun terhangat dalam catatan suhu dunia sejak 1850, dan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer telah mencapai tingkat tertinggi dalam sejarah. Laporan iklim lembaga dunia ini juga menekankan bahwa suhu rata-rata global selama periode pra-industri adalah 1,1 derajat dan 0,2 (dua persepuluh) lebih tinggi dari laporan yang sama pada 2011-2015.
Krisis kenaikan suhu rata-rata global ini dapat dipahami ketika kita tahu bahwa tujuan awal dari Perjanjian Iklim Paris yang ditandatangani pada 2015 di antara hampir 200 negara adalah untuk menjaga pemanasan global di bawah 2 derajat di atas suhu pra-industri. Tetapi pertumbuhan 0,2 (dua persepuluh) derajat kurang dari lima tahun setelah penandatanganan perjanjian itu jauh melampaui tujuan asli perjanjian itu, sementara tujuan jangka panjang Perjanjian Paris adalah untuk membatasi pertumbuhan suhu global hingga 1,5 derajat di atas suhu pra-industri.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga menunjuk fakta ini dan mengatakan dalam sebuah wawancara, "Penyebaran emisi dunia tengah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir." Empat tahun terakhir telah menjadi empat tahun terpanas dan suhu di Kutub Utara sejak tahun 1990 telah meningkat hingga 3 derajat Celcius di musim dingin. Permukaan laut meningkat, terumbu karang menghilang, dan kita menyaksikan efek ancaman vital dari perubahan iklim terhadap kesehatan manusia.
Polusi udara dan gelombang panas berdampak serius pada kehidupan masyarakat dan mengganggu perekonomian nasional. Ini sangat mahal bagi kita hari ini dan akan lebih mahal lagi di masa depan. Tetapi semakin dipahami bahwa ada solusi hemat biaya dan terukur yang memungkinkan kita semua untuk beralih ke ekonomi yang lebih bersih dan lebih tangguh. Analisis terbaru menunjukkan bahwa jika kita bertindak sekarang, kita dapat mengurangi emisi karbon hingga 12 tahun mendatang dan kenaikan suhu rata-rata global dapat ditekan di bawah 2 derajat Celcius dan bahkan, dengan mengandalkan penelitian ilmiah terbaru, kita dapat menjaganya hingga satu setengah derajat di atas suhu tingkat pra-industri.

Kekhawatiran atas perubahan iklim telah mendorong protes di 185 negara di dunia bertepatan dengan sidang para kepala negara terkait masalah ini atas pengabaian pemerintah terhadap perubahan iklim. Para pengunjuk rasa menuntut pemeriksaan terhadap penyebab naiknya air laut, penguburan limbah beracun di lepas pantai Afrika Selatan, ditinggalkannya limbah plastik di India dan perluasan ekspor dan penggunaan batu bara di Australia dan Amerika Serikat serta bagaimana menstabilkan cuaca.
Menurut The Guardian, selain orang biasa, serikat pekerja, serikat dagang, dokter dan perawat, guru dan pegawai juga berpartisipasi dalam demonstrasi nasional. Karyawan Microsoft, Google, Amazon, Facebook dan perusahaan Twitter di berbagai kota di AS, termasuk New York, San Francisco, San Jose, dan kota-kota lain, menemani para demonstran. Guterres, Sekjen PBB, juga mengatakan di depan sidang para kepala negara di Majelis Umum bahwa dia dijadwalkan untuk menghadiri KTT Iklim di New York, mengatakan mereka tidak akan menghadiri pertemuan itu jika mereka tidak punya rencana.
Respons internasional terhadap perubahan iklim dimulai pada 1992 di KTT Bumi di Rio. KTT tersebut meratifikasi Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dan 160 negara berjanji untuk menghentikan pemanasan global. Tetapi pada KTT Paris tahun 2015 bahwa untuk pertama kalinya dalam 20 tahun setelah negosiasi PBB, negara-negara di seluruh dunia sepakat untuk menerbitkan dokumen untuk mengatasi perubahan iklim.
Menurut dokumen itu, suhu global rata-rata diproyeksikan turun di bawah dua derajat pada tahun 2050. Pada KTT Paris, tekanan publik dunia pada Washington untuk menerima perjanjian iklim internasional mendorong pemerintahan Obama untuk menyetujui penurunan emisi gas rumah kaca AS dan meratifikasi konvensi tersebut.
Ia mengakui bahwa Amerika Serikat ikut bertanggung jawab dalam perubahan iklim dunia dan mengatakan, "Secara pribadi, saya datang ke sini sebagai pemimpin ekonomi terbesar di dunia dan produsen gas rumah kaca terbesar kedua untuk mengatakan bahwa Amerika Serikat tidak hanya menerima perannya dalam perubahan iklim tetapi juga menyambut baik untuk mengambil peran di bidang ini." Obama bahkan menjanjikan untuk memberikan bantuan keuangan kepada negara-negara miskin untuk mengatasi masalah global ini.
Tetapi dengan Donald Trump menggantikannya sebagai presiden AS pada 2017, ia secara sepihak mengundurkan diri dari Perjanjian Paris, kendati menjadi salah satu produsen gas rumah kaca terbesar di dunia. Dia mengklaim kesepakatan itu akan berakhir dengan hilangnya enam setengah juta pekerjaan dan 5 triliun dolar dari PDB. Keputusan Trump telah banyak dikritik oleh anggota lain dari Perjanjian Paris dan kelompok lingkungan. Sierra Club, sebuah LSM lingkungan di AS, juga menyerang pemerintahan Trump dan menyatakan, "Tak perlu dikatakan, semua negara di dunia telah bersama-sama menangani krisis iklim dan Donald Trump dalam gerakan memalukan dan berbahaya mengisolasi Amerika di panggung dunia."

Hasil dari keputusan seperti itu sekarang menghadapi lebih banyak tantangan dalam pemanasan global dan perubahan iklim. Sebuah laporan baru-baru ini oleh Organisasi Meteorologi Dunia juga mencatat bahwa emisi gas rumah kaca terus meningkat sebesar 20 persen dibandingkan periode yang sama dalam lima tahun terakhir, dan akan meningkat pada akhir 2019. Menurut laporan ini, es kutub mencair di Antartika dan Greenland, dan pemanasan laut dikatakan telah memperburuk bencana alam seperti topan tropis dan banjir, yang menyebabkan kerusakan ekonomi paling parah di antara bencana alam lainnya.
Sekitar 90 persen dari semua bencana alam berhubungan dengan cuaca, yang paling umum adalah angin topan dan banjir. Gelombang panas dan kekeringan juga menambah hilangnya nyawa, mengintensifkan kebakaran hutan dan merusak tanaman. Menurut Organisasi Meteorologi Dunia, gelombang panas pada tahun 2015 hingga 2019 adalah di antara fenomena meteorologi paling mematikan, dan semua studi fenomena ini sejak 2015 telah mengidentifikasi jejak-jejak perubahan iklim di sana. Badai Harvey, yang melanda beberapa negara bagian AS pada tahun 2017 saja, menyebabkan kerusakan 125 miliar dolar dan beberapa topan tropis pada bulan Maret dan April 2019, menyebabkan kerusakan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Mozambik.
Menurut para ahli, tindakan mendesak harus diambil untuk menyelesaikan krisis. Analisis terbaru menunjukkan bahwa jika kita bertindak sekarang, kita dapat mengurangi emisi karbon hingga 12 tahun mendatang dan menjaga pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius. Dalam hal ini, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres meminta semua kepala negara untuk membuat rencana yang komprehensif dan realistis untuk meningkatkan kontribusi nasional mereka dengan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 45 persen selama dekade mendatang dan menguranginya hingga ke titik nol pada tahun 2050. Dia mengatakan bahwa untuk program-program ini menjadi efektif dan kredibel, mengurangi dampak perubahan iklim saja tidak akan cukup, mereka harus konsisten dengan tujuan pembangunan berkelanjutan dan tidak boleh mengarah pada pemenang atau yang kalah atau pada ketimpangan ekonomi.
Menurut Sekjen PBB, ini merupakan pertemuan para pemerintah, masyarakat sipil, otoritas lokal dan organisasi internasional lainnya untuk mengembangkan solusi ambisius di enam bidang. Ini termasuk transisi global ke energi terbarukan, infrastruktur dan kota yang tangguh dan berkelanjutan, pertanian berkelanjutan dan pengelolaan hutan dan laut, ketahanan terhadap dampak iklim dan penyelarasan keuangan publik dan swasta dengan ekonomi tanpa emisi karbon. Solusi yang dapat meningkatkan ekonomi dunia, menghadirkan udara yang lebih bersih dan melestarikan keanekaragaman hayati dan habitat alami kita. Tentu saja, mencapai tujuan penting ini hanya mungkin ketika kekuatan dunia melepaskan sebagian dari kepentingan mereka.