Penolakan Semua Prakarsa Damai oleh Armenia dan Azerbaijan
(last modified Sat, 03 Oct 2020 12:07:35 GMT )
Okt 03, 2020 19:07 Asia/Jakarta
  • Ilham Aliyev and Nikol Pashinyan
    Ilham Aliyev and Nikol Pashinyan

Di tengah terus meningkatnya eskalasi ketegangan antara Republik Azerbaijan dan Armenia, pejabat kedua negara justru menolak prakarsa dialog, dan rekonsiliasi.

Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev dalam wawancara dengan stasiun televisi pemerintah Rusia, terang-terangan menolak segala bentuk kemungkinan perundingan dengan Armenia. Sementara itu Perdana Menteri Armenia, Nikol Pashinyan dalam wawancara dengan televisi yang sama mengatakan, selama pertempuran, dan ketegangan berlanjut, maka tertutup kemungkinan untuk berunding dengan Republik Azerbaijan.
 
Penolakan segala bentuk usulan perundingan, dan kesepakatan guna mengakhiri pertempuran antara Armenia dan Azerbaijan, terjadi padahal perwakilan lembaga-lembaga internasional terus berusaha membantu menyudahi konflik dua negara.
 
Sebagai contoh, Perwakilan Uni Eropa untuk Kaukasus Selatan dan Georgia, Toivo Klaar dalam pertemuan bertema “konflik Nagorno-Karabakh, dan kepentingan mewujudkan perdamaian” di Brussels mengumumkan bahwa kemajuan proses penyelesaian konflik Nagorno-Karabakh bukan perkara mudah. Ia juga menekankan urgensi berlanjutnya upaya penyelesaian damai konflik ini.
 
Dalam beberapa hari terakhir, pemerintah negara-negara kawasan, pejabat dan organisasi internasional semacam PBB, Dewan Keamanan dan Uni Eropa meminda Armeni dan Azerbaijan untuk menahan diri.
 
Republik Islam Iran, Inggris, Kazakhstan, Pakistan, Tajikistan, dan para pemimpin Konferensi Keamanan dan Kerjasama Eropa, OSCE Minsk Group termasuk Amerika Serikat, Rusia, dan Prancis, semua mendesak penghentian pertempuran, dan meminta kedua pihak bertikai untuk menahan diri, dan duduk di meja perundingan.
 
Di antara negara-negara kawasan, dan dunia, sikap Minsk Group sangat penting, pasalnya kelompok ini bertugas mengakhiri konflik Nagorno-Karabakh.
 
Minsk Group sejak tahun 1992 sampai sekarang tidak pernah melakukan satupun langkah konstruktif untuk mengakhiri konflik Nagorno-Karabakh. Oleh karena itu para pengamat tidak terlalu optimis dengan kinerja kelompok ini. Dalam hal ini, pengamat politik Rusia, Vladimir Lepekhin meyakini anggota Minsk Group sekarang tidak berusaha menyelesaikan konflik Nagorno-Karabakh.
 
Lepenkhin menuturkan, saya 10 tahun lalu pernah mengatakan bahwa Minsk Group tidak akan menyelesaikan konflik Nagorno-Karabakh. Menurut saya masa depan konflik Nagorno-Karabakh tergantung pada pembentukan kelompok 3+3 yang terdiri dari enam negara kawasan yaitu Iran, Rusia, Armenia, Republik Azerbaijan, Turki, dan Georgia. Saya yakin hari ini lembaran-lembaran baru dalam kasus ini harus dibuka, dan perundingan dalam bentuk baru harus dilanjutkan. 
 
PM Armenia, Minggu (27/9/2020) dalam wawancara dengan televisi nasional negara itu kepada pemerintah Azerbaijan mengatakan, melangkahlah di jalur konstruktif, karena jika Yerevan mulai mempublikasikan informasi-informasi rahasia terkait Baku, maka situasi politik dalam negeri Azerbaijan akan terguncang.
 
PM Armenia tidak menjelaskan secara detail informasi rahasia yang dimaksudnya, sehingga jika dibuka ke publik maka situasi dalam negeri Azerbaijan akan terguncang. Akan tetapi dengan memperhatikan pembukaan kembali kedutaan besar Armenia di wilayah Palestina pendudukan, tidak diragukan rezim Zionis Israel memberikan sebagian informasi rahasia terkait pejabat pemerintah Ilham Aliyev kepada Armenia.
 
Di hadapan manuver internal Armenia, jelas kondisi tak baik ini mungkin saja selain akan memperumit masalah kawasan, juga bisa mempengaruhi dialog damai Nagorno-Karabakh. 
 
Oleh karena itu negara-negara independen kawasan terutama Iran, dan Rusia mengkhawatikan meluasnya pertempuran, dan mendesak kedua pihak berseteru untuk menahan diri, dan kembali berusaha menyelesaikan konflik lewat perundingan.
 
Seorang pengamat politik Armenia menilai kelompok-kelompok damai di antara dua pihak yang bertikai tidak berguna.
Alexander Markarov dalam wawancara dengan surat kabar Armenia, Aravot mengatakan, saat ini tidak ada opsi untuk penyelesaian konflik Nagorno-Karabakh yang bisa diterima oleh Azerbaijan dan Armenia, dan menjadi sumber kesepakatan, dan perdamaian permanen.
 
Selain itu, Republik Azerbaijan, dan Armenia memiliki sikap yang sepenuhnya bertolak belakang terkait indepensi Nagorno-Karabakh, dan tidak bersedia mengalah sedikitpun untuk mencapai kesepakatan. 
 
Pengamat politik Rusia mukim Armenia ini pada saat yang sama menjelaskan bahwa Iran dan Rusia di zona penyangga termasuk Kaukasus, Laut Kaspia, dan Asia Tengah harus bekerjasama. Ia menerangkan, upaya Moskow dan Tehran dipusatkan untuk menciptakan ketenangan ke wilayah Kaukasus, dan kedua negara melakukan negosiasi rutin yang menunjukkan urgensi keamanan, dan stabilitas kawasan bagi dua negara. 
 
Dengan memperhatikan semua peristiwa ini, dan upaya kedua pihak bertikai untuk unggul satu sama lain, tidak diragukan provokasi salah satu pihak untuk berperang adalah langkah keliru, dan tidak berdasar. Namun demikian, sepertinya pejabat pemerintah Turki berusaha memprovokasi Azerbaijan untuk melanjutkan pertempuran dengan Armenia, dan sekali lagi memperkuat situasi tidak aman, dan tegang di kawasan.
 
Pada kondisi seperti ini, kita bertanya apa yang sebenarnya diinginkan oleh para pejabat Ankara, dan apa tujuan dari langkahnya ?
 
Sehubungan dengan hal ini, kita tidak boleh menutup kemungkinan bahwa pelarangan pengiriman pasukan Turki ke negara kawasan, dan dunia lain tanpa izin Pakta Pertahanan Atlantik Utara, NATO akan menciptakan kesulitan bagi negara itu. Akan tetapi pejabat pemerintah Turki selain mendukung perang Armenia dan Azerbaijan, berulang kali menyampaikan masalah pengiriman pasukan negaranya ke medan perang antara Armenia dan milisi bersenjata anti-pemerintah Armenia.
 
Bahkan dalam pertempuran yang terjadi bulan Juli 2020, dan yang terbaru, Minggu (27/9/2020) antara pasukan Armenia dan Azerbaijan, pejabat Turki kembali menekankan berlanjutnya perang sampai dicapainya hasil akhir, dan direbutnya wilayah yang disebutnya sebagai wilayah Azerbaijan yang diduduki.
 
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan dalam salah satu pidatonya menyebut Armenia sebagai pihak yang memulai perang, dan ia juga meremehkan pemerintah Nikol Pashinyan.
 
Menanggapi hal itu, Nikol Pashinyan mengatakan, sebuah negara yang tidak mampu menyelesaikan masalah dalam negerinya sendiri, jika melancarkan serangan militer, maka ia akan semakin tidak dihormati oleh rakyatnya.
 
Para pengamat meyakini, statemen provokatif Presiden Turki bukan saja tidak menguntungkan kepentingan nasional Ankara, bahkan di masa depan juga akan sangat merugikan kepentingan nasional Republik Azerbaijan.
 
Akan tetapi meski kebijakan yang diambilnya jelas-jelas keliru, namun Turki terus melakukan propaganda media, dan dengan bantuan Pan-Turkisme berbahasa Azari di utara Aras, ia berusaha menggambarkan seolah-olah sedang membantu Azerbaijan.
 
Pemerintah Ankara dengan bantuan media afiliasinya, mengatakan kepada warga Muslim Azerbaijan bahwa Turki membantu mereka, dan Iran adalah musuh pemerintah serta rakyat Azerbaijan.
 
Pada saat yang sama dengan disebarkannya propaganda negatif ini, ide satu bangsa-satu negara kembali marak ditayangkan di media-media pro-Turki. (HS)