Jun 06, 2024 11:20 Asia/Jakarta
  • Mohammad Eslami,Ketua Organisasi Energi Atom Iran
    Mohammad Eslami,Ketua Organisasi Energi Atom Iran

Ketua Organisasi Energi Atom Iran (AEOI), yang menyebut kriteria Tehran untuk kegiatan nuklir dan JCPOA adalah Hukum Langkah Strategis Parlemen Iran, mengatakan bahwa karena pelanggaran Badan Energi Atom Internasional, Tehran juga berada dalam fase mengurangi kewajiban JCPOA.

Mohammad Eslami,Ketua Organisasi Energi Atom Iran merujuk pada pertemuan Dewan Gubernur Badan Energi Atom Internasional tiga hari lalu di Wina, mengritik laporan yang disampaikan oleh badan ini mengenai aktivitas nuklir Iran.

Menurutnya, Pihak-pihak JCPOA memiliki komitmen, tapi Amerika Serikat bukan hanya tidak memenuhi kewajibannya dan menarik diri dari JCPOA, tetapi juga tidak mengizinkan negara lain untuk bekerja sama dengan Iran.

Ketua Organisasi Energi Atom Iran menambahkan, Berdasarkan Hukum Langkah Strategis untuk Mencabut Sanksi, kami bertekad untuk mengurangi komitmen, selama pihak lain tidak memenuhi kewajibannya, sesuai dengan klausul 26 dan 36 JCPOA, serta Hukum Langkah Strategis Parlemen Iran.

Rafael Grossi, Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA), dalam pidato pembukaan pertemuan triwulanan Dewan Gubernur IAEA, yang dimulai pada hari Senin (3/6) di Wina, mengambil standar ganda dan memolitisasi masalah serta tidak memiliki niat baik dalam menyampaikan laporan baru.

Grossi menuntut akses Safeguard ekstra dari Iran, yang ditanggapi dengan protes dari Iran dan mendapat sambutan dari troika Eropa (Jerman, Inggris dan Prancis).

Reaksi Wakil Iran atas klaim Dirjen IAEA

Sebenarnya, sikap Grossi yang tidak konstruktif, tidak profesional dan bermotif politik, sekali lagi membuat klaim palsu tentang program nuklir damai Republik Islam Iran, dan secara diam-diam memberikan landasan bagi Barat untuk mengeluarkan resolusi terhadap Iran seperti pada tahun 2017 di sidang Dewan Gubernur IAEA.

Berdasarkan pernyataan Dirjen IAEA baru-baru ini, nampaknya pendekatan yang dilakukan lembaga ini dan negara-negara Barat dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah keluarnya Amerika Serikat dari JCPOA dan kegagalan perjanjian ini, tidak berdasarkan masalah teknis, tapi lebih bermuatan politis dari seorang Dirjen IAEA.

Tentu saja menyeret masalah ini ke politik memberi kesempatan baru kepada Barat, khususnya Troika Eropa untuk menciptakan kontroversi dengan mengeluarkan resolusi menentang Iran dalam pertemuan ini.

Namun harus diingat bahwa tindakan non-konstruktif tersebut dan perubahan pandangan Iran terhadap IAEA dari lembaga internasional yang netral menjadi alat mainan akan mempersulit jalur kerja sama dan hubungan antara Iran dan IAEA serta akan mendapat respons yang lebih kuat dari Tehran.

Direktur jenderal IAEA dan anggota Dewan Gubernur harus menyadari bahwa laporan politik apa pun, yang jauh dari pendekatan teknis terhadap Iran, akan membuat Tehran lebih teguh dalam jalur pengembangan kuantitatif dan kualitatif industri nuklir damai dan akan mempengaruhi proses niat baik Republik Islam untuk bekerja sama dengan IAEA.

Semua ini terjadi padahal pencapaian Iran yang luar biasa dalam mencapai industri nuklir semuanya dibangun dengan upaya dan kekuatan dari generasi muda yang berkomitmen, dan hal ini telah membuat marah musuh-musuhnya.

Musuh yang tidak mau dan tidak mengizinkan negara mana pun mendapatkan teknologi ini, maka mereka menutup ruang tersebut dan memberikan sistem logistiknya kepada IAEA dalam kerangka yang sama.

Setelah penandatanganan JCPOA pada tahun 2014 dengan tujuan membatalkan sanksi yang menindas, Iran, sebagai negara yang bertanggung jawab, melaksanakan kewajibannya dengan sempurna dan masalah ini dikonfirmasi dalam 16 laporan Badan Energi Atom Internasional.

Namun setelah Donald Trump masuk Gedung Putih, sanksi yang sempat dicabut akibat JCPOA kembali diberlakukan dengan keputusan sepihaknya menarik diri dari perjanjian ini pada 8 Mei 2018.

Pada tahun 2018, Iran mengaktifkan mekanisme penyelesaian sengketa dalam kerangka komisi gabungan JCPOA di tingkat menteri luar negeri negara-negara anggota perjanjian lainnya yang tersisa dari perjanjian ini, di mana hasilnya, para anggota JCPOA mengeluarkan pernyataan dan membuat 11 komitmen untuk mengganti kerugian ekonomi akibat tindakan sepihak Amerika Serikat.

Tidak seimbangnya implementasi perjanjian ini di satu sisi dan tekanan akibat penerapan dan intensifikasi sanksi unilateral AS di sisi lain, menyebabkan Dewan Tinggi Keamanan Nasional Republik Islam Iran mengambil keputusan untuk menghentikan langkah demi langkah implementasi komitmen sukarela Iran dengan memberikan kesempatan 60 hari untuk melakukan diplomasi.

Iran memenuhi seluruh kewajibannya berdasarkan perjanjian ini hingga satu tahun setelah penarikan Amerika Serikat dari JCPOA untuk memberikan negara-negara Eropa yang berjanji memberikan kompensasi atas dampak penarikan Washington dari perjanjian tersebut, demi berusaha memenuhi janji ini, tapi mengingat negara-negara Eropa belum menepati janjinya, Iran pun mengurangi kewajibannya berdasarkan JCPOA dalam beberapa langkah.

Rafael Grossi, Dirjen IAEA

Setelah menjabat pada Januari 2021, pemerintahan Joe Biden mengecam tindakan sepihak pemerintahan sebelumnya yang menarik diri dari perjanjian Iran dan kelompok 5+1, tapi tetap saja mengambil kebijakan tekanan maksimum pemerintahan Donald Trump.

Sejujurnya, pengalaman 4 tahun terakhir menunjukkan bahwa meskipun ada klaim diplomasi, Gedung Putih tidak memiliki kemauan yang diperlukan bagi mengambil keputusan untuk kembali ke JCPOA dan memberikan kompensasi atas kegagalan kebijakan pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump, terhadap Iran.

Pada saat yang sama, Republik Islam Iran juga menekankan bahwa setiap pihak akan melakukan tindakan timbal balik ketika pihak lain sepenuhnya memenuhi kewajibannya.(sl)

Tags