Okt 02, 2024 10:13 Asia/Jakarta
  • Bendera Prancis
    Bendera Prancis

Setelah agres rezim Zionis ke Lebanon, Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noel Barrot melakukan kunjungan ke Beirut.

Dalam pertemuan dengan pihak berwenang Lebanon, Menteri Luar Negeri Prancis mengatakan, Saya meminta Israel untuk menahan diri dari invasi darat ke Lebanon dan melakukan gencatan senjata.

Jean-Noel Barrot menekankan bahwa proposal Paris sebelumnya mengenai gencatan senjata di Lebanon masih dibahas.

Sama seperti negara-negara Eropa yang pasif dan tidak peduli terhadap genosida warga Palestina di Jalur Gaza, mereka juga tidak peduli terhadap invasi Zionis ke Lebanon dan pembunuhan massal rakyat Lebanon.

Kunjungan Menteri Luar Negeri Prancis ke Beirut dan permintaan gencatan senjata juga merupakan aksi formalitas.

Karena catatan kolonialnya di Lebanon dan Suriah, Prancis telah mendefinisikan kedua negara ini dalam lingkup pengaruhnya.

Dalam situasi di mana Uni Eropa tidak menunjukkan respon apa pun, bahkan unjuk rasa, terhadap agresi Zionis terhadap Lebanon, Menteri Luar Negeri Prancis pergi ke Beirut untuk menunjukkan bahwa Lebanon masih bekas jajahan mereka.

Namun Zionis tidak menaruh perhatian sedikit pun pada perjalanan ini. Mereka bahkan tidak mau repot-repot menanggapi permintaan gencatan senjata.

Para menteri luar negeri Uni Eropa yang berkumpul di Brussels untuk pertemuan darurat guna meninjau situasi terkini agresi Zionis terhadap Lebanon.

Tidak ada output berarti dari pertemuan ini selain menyampaikan keprihatinan dan meminta kedua pihak melakukan gencatan senjata.

Sebelum pertemuan ini, Josep Borrell, Kepala Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa, mengeluarkan pernyataan atas nama seluruh anggota UE, dan menyatakan keprihatinannya atas konfrontasi militer antara Israel dan Hizbullah di Lebanon dan menyerukan segera dilakukannya tindakan gencatan senjata di perbatasan antara kedua pihak.

Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa dalam pernyataan ini, tidak ada kecaman atas pembunuhan massal rakyat Lebanon dengan segala jenis bom.

Negara-negara Eropa, yang dipimpin oleh Inggris, Prancis dan Jerman, adalah bapak angkat rezim palsu Israel di tanah Palestina yang diduduki.

Negara-negara yang mengaku membela hak asasi manusia di dunia ini, satu-satunya tempat di mana mereka tidak memiliki garis merah adalah dukungan penuh terhadap rezim palsu Israel. Karena Zionis mempunyai pengaruh di seluruh negara-negara Eropa.

Hingga 7 Oktober 2023, setiap protes terhadap kejahatan Zionis di Palestina disebut anti-Semitisme. Mereka yang mengritik dan melakukan unjuk rasa akan ditindak dengan berbagai cara, mulai dari pemecatan dari tempat kerja hingga denda uang dan hukuman penjara.

Sejak Oktober tahun lalu, menurut pejabat PBB dan organisasi hak asasi manusia di Barat, tidak ada kejahatan di Gaza yang tidak dilakukan oleh Zionis.

Oleh karena itu, negara-negara Eropa yang mengaku membela hak asasi manusia tidak berani menyebut setiap suara protes dan kritik rezim Zionis sebagai anti-Semit.

Meskipun sifat sebenarnya dari Zionis yang menduduki tanah Palestina telah terungkap ke opini publik di Barat, negara-negara Barat belum mengubah kebijakan mereka dalam mendukung kejahatan keji yang dilakukan oleh rezim palsu Israel.

Kini beberapa pemerintah Eropa bahkan mendukung agresi Zionis dan pembunuhan terhadap rakyat Lebanon dan para pemimpin gerakan perlawanan.

Tentu saja, beberapa negara Eropa setidaknya menahan diri dan diam terhadap kejahatan Zionis di Lebanon.

Namun pemerintah Jerman, salah satu donor keuangan dan senjata kepada rezim palsu Israel, tidak segan-segan menyatakan dukungannya terhadap agresi Zionis terhadap Lebanon.

Dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg, Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock bukan hanya tidak mengutuk kejahatan dan genosida rezim Zionis di Gaza dan Lebanon, tapi mengklaim bahwa “negara lain akan berperilaku sama dalam situasi saat ini”.

Banyak negara di Eropa yang merasa malu atas kelambanan mereka melawan kejahatan Zionis sehingga mereka dengan malu-malu mengumumkan bahwa tidak ada yang bisa dilakukan.

Josep Borrell, Kepala Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa, dengan jelas mengakui hal ini.(sl)

Tags