Peran ulama atasi teror
Kota Medan yang merupakan ibu kota Provinsi Sumatera Utara pada hari Rabu (13/11) pagi terusik dengan teror bom bunuh diri yang meledak di halaman Markas Kepolisian Resor Kota Besar (Mapolrestabes) Medan.
Seorang pemuda kelahiran Medan yang berinisial RMN (24 tahun) tewas akibat ulahnya sendiri dengan melakukan bom bunuh diri di halaman Polrestabes Medan sekitar pukul 08.35 WIB. Dia disebut-sebut sebagai mahasiswa.
Apabila semula polisi hanya mengira teroris itu merupakan “pemain tunggal”, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo mengungkapkan bahwa seorang perempuan berninisial DA telah ditangkap yang merupakan istri RMN. DA disebut-sebut adalah teman hidup tersangka teroris RMN walaupun masih perlu dibuktikan kebenarannya.
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa sang istrilah yang menjadi provokator terhadap tindakan bom bunuh diri itu.
RMN diduga telah memanfaatkan situasi ramai di Polrestabes Medan karena banyak warga Medan yang sedang mengurus surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) demi melamar sebagai calon pegawai negeri sipil alias SKCK. RMN mengenakan jaket yang biasanya wajib dikenakan pegemudi ojek online (ojol).
Gara-gara tindakan teroris yang sama sekali tidak bertanggung jawab itu, empat polisi, seorang pegawai harian lepas Polrestabes dan seorang mahasiswa yang mengurus SKCK mengalami luka-luka.
Berbagai pihak langsung mengecam ataupun mengutuk peristiwa keji ini. Bahkan, Presiden Joko Widodo telah memerintahkan jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mengejar serta menangkap rekan-rekan teroris lainnya. Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Medan, Sumatera Utara, juga mengutuk ulah tersebut.
Warga Indonesia telah berulang kali menyaksikan atau mendengar terjadinya peristiwa berdarah semacam ini. Yang paling menggegerkan adalah peristiwa pada bulan Oktober 2019 terhadap Menko Polhukam Jenderal TNI Purnawirawan Wiranto saat mengunjungi Provinsi Banten. Wiranto ditusuk ketika baru turun dari mobil.
Yang tidak kalah menggemparkan adalah peristiwa pelemparan bom pada bulan Januari 2016 di Kawasan pertokoan Sarinah, Jakarta Pusat. Polisi langsung turun tangan dengan menembak para teroris.
Sebelumnya, terjadi peledakan di sekitar Kedutaan Besar Australia, kawasan Kuningan Jakarta. Yang tidak kalah mengerikan adalah musibah "Bom Bali".
Selain itu, juga ada berbagai tindakan terorisme lainnya, seperti di Surabaya dan Samarinda.
Polri sering mengaku atau mengklaim bahwa pihaknya sudah amat sering membongkar serta menangkap para teroris. Akan tetapi, rasanya rakyat amat berhak bertanya-tanya tentang kenapa teorisme masih tetap saja terjadi? Karena pelaku bom bunuh diri di Polrestabes Medan mengenai seragam ojek online, “ojol-ojol” lainnya yang merasa khawatir citra mereka akan tercoreng yang berujung pada berkurangnya jumlah pengguna ojol.
Peran Ulama
Orang-orang yang mengenal RDM menyebut bahwa dia sebagai orang yang tertutup, seperti teroris-teroris lainnya. Yang menimbulkan pertanyaan adalah kenapa banyak teroris itu dikait-kaitkan dengan agama Islam, Di lain pihak jarang sekali penganut-penganut agama lainnya dikait-kaiitkan dengan teorisme.
Jawaban yang paling mudah adalah karena sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam, otomatis pelaku-pelaku terorisme berhubungan dengan Islam.
Pertanyaan berikutnya adalah di Tanah Air sudah ada berapa banyak ulama, dai, ustaz, dan ustazah yang begitu terkenal dan diikuti umatnya. Akan tetapi, kekerasan tetap saja terjadi.
Muslim dan muslimah, misalnya, begitu akrab dengan nama-nama Ustazah Mamah Dedeh, Profesor Quraish Shihab, Abdullah Gymsastiar alias Aa Gym, dan Ustaz Abdul Somad (UAS). Akan tetapi, kenapa masih ada terorisme di Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini?
Jawaban yang mungkin paling mudah diberikan terhadap pertanyaan itu adalah di dalam agama Islam dikenal dan diakui terdapat begitu banyak organisasi kemasyarakatan atau ormas hingga paham-paham yang sadar atau tidak sadar tidak 100 persen sama. Misalnya, ormas Muhammadiyak tidak sama persis dengan Nahdlatul Ulama. Demikian pula Persis, misalnya, tidak sama sebangun dengan Al Wasliyah.
Dengan demikian, para tokoh tersebut memiliki pola pikir dan cara bertindak yang berbeda-beda pula sehingga cara berpikir umatnya pun berlain-lainan.
Oleh karena itu, peristiwa-peristiwa terorisme seharusnya dijadikan titik tolak oleh para tokoh Islam itu untuk mencari dasar-dasar berpikir yang sama sehingga bisa menyadarkan semuanya bahwa perbedaan itu adalah pemberian Allah Swt.
Contoh yang paling gampang para tokoh ulama, ustaz, dan ustazah itu perlu atau bahkan harus mengajarkan bahwa jihad itu tidak identik dengan harus berkorban nyawa demi membela Allah Swt. atau Nabi Muhammad saw. Jihad bisa dilakukan oleh muslim dan muslimah dengan menyisihkan sebagian hartanya dan menunjukkan sikap hormat terhadap penganut agama lainnya.
Jadi, di tengah suasana yang kadang kala tak menguntungkan seperti itu maka para tokoh agama Islam harus mendidik umatnya untuk menghormati dan menghargai agama-agama lainnya.
Bukankah Allah Swt. melalui ajaran Nabi Muhammad saw. telah mengajarkan doktrin "Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Jika prinsip mendasar ini telah diajarkan kepada semua muslim dan muslimah, mudah-mudahan tidak muncul terorisme.
Sebagian besar penduduk NKRI memang benar beragama Islam. Akan tetapi, pada kenyataanya amat sedikit umat yang sudah melaksanakan semua ajarannya.
Jadi,umat telah dididik untuk menyadari berbagai perbedaan yang harus dihargai atau dihormati.
Oleh karena itu, para ulama, dai, ustaz, dan ustazah bahu-membahulah mendidik dan mengajar semua pengikutnya untuk secara nyata melaksanakan perintah Allah Swt. dan sunah Nabi Muhammad saw.
Karena Pemilihan Umum 2019 sudah usai, inilah saat yang paling tepat bagi semua pemuka agama Islam untuk tidak lagi mengutamakan atau membela politikus yang mana pun.
Kini yang harus dibela semua ulama adalah bangsa ini. Tugas ulama adalah membela 269 juta jiwa penduduk Indonesia tanpa membeda-bedakan agam, suku, dan ideologinya.
Kewajiban ulam bukan hanya mengajarkan kitab suci Alquran serta sunah Nabi Muhammad, melainkan juga bagaimana secara nyata semua orang Indonesia bisa hidup berdampingan, tanpa gontok-gontokan, apalagi saling membunuh.
Siapkah Mamah Dedeh, Prof. Wuraish Shihab, Aa Gym, UAS, dan ratuan ribu ulama lainnya?
Artikel ini ditulis oleh Arnaz Firman adalah wartawan LKBN ANTARA pada tahun 1982—2018, pernah meliput acara kepresisidenan pada tahun 1987—2009 dan dimuat Antaranews edisi Jumat (15/11).