Anak-anak; Korban terbesar Perang dan Kritik Iran atas Kebungkaman PBB
Perlindungan terhadap anak-anak di konflik bersenjata merupakan salah satu hal terpenting dari hukum internasional yang perlu mendapat perhatian khusus.
Dokumen internasional seperti Konvesi Keempat Jenewa tahun 1959, Protokol Tambahan 1977, Anggaran Dasar Mahkamah Pidana Internasional (ICC), Konvesi Hak Anak 1989 serta Deklarasi HAM termasuk dokumen hukum internasional yang melarang segala bentuk pelanggaran terhadap hak anak di saat perang, namun pertanyaan yang ada adalah apakah PBB dan berbagai organisasi internasional HAM mampu dengan benar menjalankan tugasnya di bidang ini ?
Wakil tetap Republik Islam Iran di PBB, Majid Takht-Ravanchi di sidang Dewan Keamanan pada hari Senin (28/6/2021) dengan tema "Anak dan Konfrontasi Bersenjata" mempertanyakan kinerja PBB di bidang ini.
"Sangat mengkhawatirkan ketika militer Israel tidak pernah dicantumkan di list hitam di laporan ekjen PBB sebagai pelanggar hak anak dan juga nama Koalisi Arab Saudi dihapus dari daftar hitam ini," papar Takht-Ravanchi.
Salah satu kasus pelanggaran hak anak yang sangat disesalkan adalah perang di Yaman. Koalisi pimpinan Arab Saudi, melancarkan serangan besar-besaran ke negara Arab miskin, Yaman dengan dalih mengembalikan Abd Rabbu Mansur Hadi, presiden Yaman yang mengundurkan diri ke tampuk kekuasaan.
Fakta saat ini perang Yaman jauh dari apa yang diprediksikan Riyadh tahun 2015. Arab Saudi berpikir dengan melancarkan serangan udara beberapa minggu ke Yaman mampu keluar sebagai pemenang. Kini perang telah memasuki tahun ketujuh dan belum ada prospek berakhirnya perang ini.
Pakar PBB menyebut Yaman sebagai ajang krisis kemanusiaan terbesar di dunia.
UNICEF di laporannya terkait kondisi parah anak-anak Yaman selama tahun 2018 hingga 2020 menulis, selama perang Yaman lebih dari 2300 anak-anak terbunuh.
Xavier Joubert, ketua organisasi Save the Children mengatakan, "Anak-anak Yaman hidup di mimpi buruk yang tak berakhir dan kondisi mengerikan. Anak-anak di Yaman setiap hari terbunuh atau terluka akibat perang."
Sekjen PBB Antonio Guterres dalam sebuah langkah aneh dan menimbulkan pertanyaan, mencoret nama Koalisi Arab Saudi dari daftar hitam pelanggar hak anak.
PBB pada Oktober 2017 mencantumkan nama Koalisi Arab Saudi di list hitam karena membantai dan menciderai 683 anak-anak di Yaman dan serangan terhadap puluhan sekolah serta rumah sakit.
Guterres di laporan terbarunya kepada Dewan Keamanan mengklaim, "Koalisi ini dicoret dari list hitam setelah adanya penurunan di tingkat kematian serta korban terluka akibat serangan udara koalisi tersebut."
Ini bukan pertama kalinya nama Arab Saudi dimasukkan ke dalam list hitam atau dicoret darinya.
PBB untuk pertama kalinya tahun 2016 dan ketika Ban Ki moon menjabat sebagai sekjen organisasi ini, mencantumkan nama Arab Saudi dalam waktu singkat di list hitam pelanggar hak anak, namun hanya beberapa haru kemudian Riyadh dicoret dari daftar hitam tersebut setelah Ban menyerah terhadap represi Arab Saudi dan ia kemudian mundur dari keputusannya.
Kisah pahit ini masih terus berlanjut padahal menurut empat klausul Pasal 38 Konvensi Hak Anak, pemerintah harus tunduk pada aturan hukum humaniter tentang anak.
Perlindungan terhadap anak-anak di masa perang, pertama-tama membutuhkan diakhirinya konfrontasi dan mencegah pecahnya kembali perang.
Kesimpulan terakhir adalah poin yang diingatkan Takht-Ravanchi di sidang Dewan Keamanan terkait perlindungan terhadap anak di masa perang. Ia mengatakan, perlindungan terhadap anak saat ini di masa perang adalah perlindungan terhadap generasi masa depan. Seluruh pihak sekuat tenaga harus menjaga dan melindungi anak-anak dari kekerasan perang dan konfrontasi bersenjata. (MF)