Mengapa Iran Menentang Pertemuan Negev ?
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Saeed Khatibzadeh mengecam diadakannya pertemuan Negev, dan menyebutnya sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina.
Saeed Khatibzadeh hari Senin (28/3/2022) menyinggung pertemuan empat negara Arab dengan rezim Zionis dan AS di Negev, dan menekankan bahwa setiap tindakan untuk menormalkan dan menjalin hubungan dengan teroris Zionis adalah belati yang disiapkan untuk menusuk bangsa tertindas Palestina dari belakang.
Jubir Kemenlu Iran juga menyebut pertemuan tersebut sebagai hadiah bagi rezim pembunuh anak-anak dan pembantai orang-orang Palestina yang terus berlanjut hingga kini.

Para menteri luar negeri dari empat negara Arab; Mesir, Uni Emirat Arab, Bahrain dan Maroko menghadiri pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Rezim Zionis, Yair Lapid dan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken di Negev.
Masalah Iran, krisis Ukraina dan normalisasi hubungan antara negara-negara Arab dan rezim Zionis menjadi salah satu topik utama pertemuan tersebut.
Terlepas dari komitmen Arab terhadap aspirasi rakyat Palestina, Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko sudah menormalkan hubungan dengan rezim Zionis sejak tahun 2020.
Pada September 2020, UEA, melalui mediasi pemerintah AS saat itu yang dipimpin oleh Donald Trump, menandatangani perjanjian untuk menormalkan hubungan dengan rezim Zionis, yang dikenal sebagai "Perjanjian Abraham", dan secara resmi menjalin hubungan diplomatik dengan Tel Aviv.

Setelah UEA, tiga negara Arab; Bahrain, Sudan dan Maroko juga bergabung dengan Perjanjian Abraham dan menormalkan hubungan mereka dengan rezim Zionis.
Rezim Zionis mencoba menyebut pertemuan ini sebagai langkah bersejarah dalam proses rekonsiliasi dan pembangunan konsensus di kawasan. Tetapi realitas sebenarnya menunjukkan kebalikan dari klaim ini. Meskipun rezim Zionis diakui oleh banyak negara di dunia, termasuk anggota tetap Dewan Keamanan PBB, tapi menghadapi krisis legitimasi di tingkat regional. Sebab, sebagian besar negara di kawasan belum mengakui eksistensi dan kedaulatannya.
Penolakan aplikasi keanggotaan tidak tetap rezim Zionis di Uni Afrika, meningkatnya protes negara-negara Muslim di tingkat regional dan internasional terhadap Israel, juga gelombang kecaman terhadap normalisasi, dan perluasan perlawanan pemuda Palestina menunjukkan ketidakabsahan dan isolasi lebih lanjut rezim Zionis di arena internasional.
Sementara itu, pejabat Uni Emirat Arab dan Bahrain mencoba untuk melihat normalisasi hubungan dengan rezim Zionis memiliki manfaat ekonomi bagi mereka. Tetapi pengalaman Mesir dan Yordania sebagai negara Arab pertama yang menormalkan hubungan mereka dengan Tel Aviv adalah hasil sebaliknya dari propaganda ini. Menurut para ahli, baik Mesir maupun Yordania menghadapi pemerasan dan kerusakan ekonomi melalui kontrak gas dan perjanjian ekspor dengan Israel dan Amerika Serikat.
Pakar ekonomi Yordania, Hossam Ayyas mengatakan, "Hubungan normalisasi antara Yordania dan Israel sangat lemah, yang menghadapi penentangan keras dari rakyat. Israel berusaha mengejar kepentingannya sendiri di kawasan dan dunia di luar perjanjian normalisasi,".
Sejatinya, rezim Zionis dengan sejarah panjang pendudukan dan praktik pelanggaran hak asasi manusia, terutama terhadap rakyat Palestina, selama ini tidak pernah serius mengejar hubungan damai yang melayani kepentingan negara-negara Muslim di kawasan. Pertemuan Negev hanyalah upaya segelintir negara yang berusaha meyakinkan sekutunya di kawasan untuk menjalin hubungan dengan rezim Zionis, meskipun tidak akan membuahkan hasil signifikan.(PH)