Jul 14, 2022 18:45 Asia/Jakarta
  • Presiden Republik Islam Iran Sayid Ebrahim Raisi.
    Presiden Republik Islam Iran Sayid Ebrahim Raisi.

Presiden Republik Islam Iran Sayid Ebrahim Raisi mengatakan bahwa negaranya tidak akan mundur dari posisi yang sah dan logis.

"Tidak ada yang berhak berbicara kepada rakyat Iran dengan menggunakan bahasa kekerasan," tegas Raisi ketika menanggapi klaim terbaru Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengenai perundingan nuklir dan perjanjian nuklir JCPOA, Rabu (13/7/2022).

Dia menambahkan, para pejabat AS mengatakan bahwa Iran harus kembali ke JCPOA, padahal Republik Islam tidak pernah menarik diri dari perjanjian nuklir ini dan Amerika lah yang melanggar JCPOA.

Pernyataan Presiden Iran itu disampaikan bersamaan dengan kunjungan Presiden AS Joe Biden ke kawasan. Biden tiba di Palestina pendudukan (Israel) pada hari Rabu dan dijadwalkan akan berkunjung ke Arab Saudi setelah bertemu dengan para pejabat rezim Zionis Israel dan Pemimpin Otororitas Palestina.

Biden juga akan berpartisipasi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) para pemimpin Dewan Kerja Sama Teluk Persia (P-GCC) yang terdiri dari Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab, Qatar dan Oman, dan ditambah tiga negara: Irak, Yordania dan Mesir di kota Jeddah.

Menurut sejumlah sumber, di antara tujuan kunjungan Presiden AS ke kawasan adalah mendorong beberapa rezim Arab untuk lebih dekat ke rezim Zionis Israel bersamaan dengan peningkatan proyek Iranfobia di kawasan, dan menarik pendapat Arab Saudi untuk bekerja sama di bidang peningkatan ekspor minyak.

Sebelumnya, Biden mempublikasikan catatan untuk the Washington Post bahwa selama Iran tidak kembali ke perjanjian nuklir JCPOA, maka tekanan ekonomi dan diplomatik AS akan berlanjut.

Presiden AS Joe Biden

Pemutarbalikan fakta yang dilakukan oleh pejabat Gedung Putih dilakukan ketika Iran tidak pernah menarik diri dari perjanjian nuklir JCPOA, tetapi AS, pada masa pemerintahan Donal Trump, secara sepihak menarik diri dari perjanjian ini pada 8 Mei 2018.

Meskipun banyak kritikan atas pendekanan Trump tersebut, namun pemerintahan Biden secara praktis melanjutkan kebijakan Trump itu dan memberlakukan serta melanjutkan tekanan maksimum terhadap Iran.

Penggunaan sanksi yang berkelanjutan terhadap Iran, penciptaan hambatan terus-menerus oleh AS dalam perundingan, dan tuntutan di luar JCPOA menunjukkan bahwa para pejabat Washington masih mengikuti kebijakan yang gagal dari pemerintah sebelumnya di negara ini.

Saat ini, bersamaan dengan lawatan Biden ke kawasan, para pejabat AS mengintensifkan kebijakan Iranfobia dan ancaman terhadap Iran. Salah satu tujuannya adalah untuk mendukung rezim Zionis dan membantu rezim ini keluar dari krisis politik, keamanan dan sosial yang dihadapi saat ini.

"Jika kunjungan para pejabat AS ke negara-negara kawasan adalah untuk memperkuat posisi rezim Zionis dan menormalkan hubungan rezim ini dengan sejumlah negara, upaya mereka tidak akan pernah menciptakan keamanan bagi Zionis," kata Presiden Iran ketika merespon lawatan pejabat Gedung Putih ke kawasan.

Disebutkan bahwa isu mengenai sistem pertahanan bersama negara-negara kawasan dan pembentukan koalisi anti-Iran adalah tujuan lain dari kuinjungan Presiden AS ke kawasan. Pada saat yang sama, rezim Zionis juga mencoba untuk menarik pandangan pemerintah AS guna mendukung rencana militernya seperti pertahanan laser.

Sebenarnya, isu pembentukan sistem pertahanan bersama di kawasan adalah dorongan dan arahan tersembunyi dari rezim Zionis. Hal ini juga butuh waktu untuk menentukan dimensinya.

Raja Yordania, Abdullah II menyatakan keraguan tentang tindakan kolektif di kawasan. Dia mengatakan, jika sifat koalisi dan misi utamanya tidak jelas, maka masalah koalisi akan menjadi masalah yang rumit dan kompleks. (RA)

Tags