Acara Duka Malam Pertama Muharam 1444 H di Tehran
(last modified Sun, 31 Jul 2022 08:49:51 GMT )
Jul 31, 2022 15:49 Asia/Jakarta
  • Malam Pertama Muharam 1444 H di Imamzadeh Saleh, Tehran, Jumat (29/7/2022) malam.
    Malam Pertama Muharam 1444 H di Imamzadeh Saleh, Tehran, Jumat (29/7/2022) malam.

Masyarakat di Tehran, ibu kota Republik Islam Iran menghadiri acara duka mengenang kesyahidan Imam Husein as, cucu tercinta Rasulullah Saw pada Jumat malam, 29 Juli 2022/29 Dzulhijjah 1443 H.

Acara yang berlangsung di Imamzadeh Saleh sa, Tajrish itu diselenggarakan oleh Kelompok Rayhana al-Nabi Saw. Mohammad Hossein Pouyanfar menjadi salah satu pembaca syair-syair dan pujian atas keutamaan Ahlul Bait Nabi Muhammad Saw.

Hari Sabtu, 30 Juli 2022 adalah tanggal 1 Muharam 1444 H. Masjid, Huseiniyah dan pusat-pusat ziarah di Republik Islam Iran  telah disiapkan sebagai tempat untuk menggelar majelis duka mengenang perjuangan Imam Husein as dalam rangka menegakkan agama kakeknya, Nabi Muhammad Saw.

Imam Hussein as, keluarga dan para sahabatnya gugur syahid pada 10 Muharam 61 Hijriah di Karbala. Meski telah berlalu berabad-abad, namun peristiwa heorik itu tidak pernah berkurang urgensi dan kedudukannya, bahkan semakin berlalu, pesan Asyura justru semakin tersebar luas.

Kebangkitan Imam Hussein melawan pemerintahan tiran Yazid bertujuan untuk menjaga kelangsungan agama Islam yang terkena erosi kerusakan di berbagai sendi kehidupan masyarakatnya.

Oleh karena itu, motivasi perjuangan Imam Husein demi menjaga kesucian Islam dari berbagai penyimpangan yang dilakukan penguasa lalim di masanya. Imam Husein bangkit melawan Yazid bin Muawiyah bukan karena menghendaki kekuasaan, tapi karena ketulusannya membela ajaran agama Islam dan mengembalikan umat Islam dari berbagai penyimpangan.

Imam Hussein dalam salah satu munajatnya berkata,"Ya ilahi, Engkau tahu tujuan kebangkitanku bukan bersaing untuk meraih kekuatan politik atau merebut kekayaan dan kemegahan dunia. Tetapi motif utama kebangkitanku demi menghidupkan kembali ajaran-Mu, mengibarkan tanda-tanda keagungan agama-Mu dan memperbaiki urusan di muka bumi. Kami akan membela hak-hak mereka yang dilanggar dan mengembalikannya kepada mereka. Kami akan mengikuti aturan yang telah Engkau wajibkan kepada para hamba-Mu untuk mengikutinya..."

Imam Husein dalam munajatnya ini dan berbagai perkataannya yang lain memiliki motif ketuhanan yang terlihat jelas di berbagai bidang, termasuk dalam gerakan perlawanannya menghadapi rezim lalim Yazin bin Muawiyah.

Salah satu rahasia lain dari keabadian Asyura, karena setiap tindakan Imam Husein yang diikuti para pengikut setianya di Padang Karbala mengambil warna ilahiah, sehingga terbentuk totalitas dalam gerakannya demi memperjuangkan nilai-nilai Islami, sebagaimana  dalam surat Ar Rahman ayat 26 dan 27 yang menegaskan, "Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan".

Para wali Allah SWT dan ulama yang meneruskan jejak para Nabi berperan besar dalam menjaga obor petunjuk kebenaran petunjuk supaya tetap menyala untuk menerangi umat. Demikian juga yang dilakukan Imam Hussein dengan menyampaikan pidato penyadaran kepada para ulama dan tokoh masyarakat di zaman dengan mengatakan, "Jika Anda tidak membantu kami dan tidak bergabung dengan kami dalam memperjuangkan kebenaran, maka para penindas akan memiliki lebih banyak kekuatan untuk melawanmu dan akan menjadi lebih aktif dalam memadamkan sinar matahari yang bersinar dari Nabi kalian."

Melanjutkan pidatonya, Imam Husein bersandar pada prinsip ketauhidan dengan menjelaskan, "(jika Anda tidak membantu kami) Tuhan cukup bagi kami, dan kami bertawakal kepada-Nya, sebab takdir kita ada di tangan-Nya. Kita semua akan kembali pada-Nya".

Selain menjelaskan prinsip ketauhidan, Imam Hussein setiap pidatonya, Imam Hussein mengajak orang lain dengan cara yang baik dalam memperjuangkan nilai-nilai ketauhidan.

Para pencari kebenaran sejati memandang seluruh kehidupan manusia dilakukan demi meraih ridha Allah swt. Sebab, dalam posisi tinggi ini, manusia menyerahkan seluruh keberadaannya kepada Tuhan dalam menghadapi semua peristiwa terjadi. demikian juga dengan Imam Hussein yang menyampaikan khutbah di Mekah, termasuk menyinggung peristiwa getikyang diprediksi akan terjadi padanya. Beliau dengan totalitas ketakwaan dan ketawakalannya berkata: "Apapun yang Allah tetapkan, aku ridha, dan aku akan bersabar dalam menghadapi kesulitan dan rintangan yang menghadang".

Menghadapi pihak-pihak yang menentang perjalanan Imam Hussein ke Karbala, beliau mengajak orang-orang yang tulus berjuang demi meraih ridha Alalh dengan sebagai prinsip utama perjuangannya dengan mengatakan, "Ketahuilah, siapa pun yang siap berjuang di jalan ilahi ini, maka bersiaplah untuk berangkat bertemu Allah (menjemput kesyahidan)..."

Manifestasi lain dari ketauhidan sebagai poros perjuangan Hussein ibn Ali dapat dilihat dengan jelas dalam tanggapan Imam terhadap surat perlindungan yang diberikan 'Umar ibn Sa'id, penguasa  Mekah  yang disampaikan Abd al-Ja'far, suami Sayidah Zainab, dengan yang mengatakan, "Orang yang beramal salih dan berserah diri kepada-Nya, niscaya tidak akan menentang Allah dan Rasul-Nya ..... Namun mengenai surat perlindungan yang telah kalian bawa, ketahuilah bahwa jaminan keselamatan terbaik hanya dari Allah swt.  Keamanan dari Allah berada dalam agama. Jika tidak takut kepada Allah, maka tidak akan aman di akhirat. Dalam pandangan ilahi, takut kepada Allah di dunia ini, akan menyelamatkan kita di akhirat nanti".

Imam Hussein berkata, "Aku bersumpah demi Tuhan, jika aku terbunuh sejengkal lebih jauh dari Mekah, maka  lebih aku sukai dari pada  darahku tumpah di tempat suci ini, dan jika aku terbunuh dua kali lebih jauh dari Mekah, maka lebih baik bagiku."

Pernyataan ini disampaikan Imam Husein sebagai reaksi atas kelaliman Yazid dan kerusakan yang dilakukannya dengan mengatasnamakan sebagai khalifa Muslim. Imam Husein bersedia sayahid demi menjaga kesucian Kabah yang berusaha dinodai oleh  penguasa lalim semacam Yazid.

Tidak seperti dinasti Umayah yang duduk di atas takhta kekuasaan dengan menghancurkan nilai-nilai Islam yang diperjuangkan oleh Nabi Muhammad Saw dan Ahlul Baitnya, Hussein bin Ali yang dibesarkan di tengah keluarga Nubuwah dan Imamah sangat prihatin menyaksikan penodaan terhadap ajaran Islam dan berupaya mengembalikan umat menuju jalan kebenaran.

Oleh karena itu, Imam Hussein menyampaikan seruannya,"Sadarilah bahwa mereka adalah orang-orang mengikuti setan dan telah meninggalkan ketaatan kepada Tuhan, menyebarkan kerusakan dan kehancuran, serta melanggar syariat Allah, juga menjarah properti umum dan memonopolinya, dan menghalalkan yang diharamkan oleh Allah swt maupun sebaliknya. Sementara aku akan datang untuk mencegah berlanjutnya situasi ini dan mengubahnya.".

Dukungan terbesar dari para pejuang yang mengorbankan dirinya demi mengharapkan ridha Allah swt merupakan hasil dari ketauhidan sebagai prinsip paling utama dalam hubungan antara Imam Husein dengan Allah swt, yang menginspirasi para pengikutnya untuk berjuang demi mempertahankan nilia-nilai agung dan luhur.

Pada malam Asyura, ketika pasukan musuh mengepung tenda-tenda Imam Husein dan pengikutnya, Imam Hussein sedang tenggelam dalam munajat dan doa. Di hadapan pengikutnya, beliau berkata  "... Aku ingin menunaikan shalat dan marilah kita memohon ampunan ilahi. Allah tahu bahwa aku menyukai doa, membaca al-Quran, salat dan manajat serta banyak beristigfar".

Dengan ketauhidan yang begitu kuat terhunjam, Imam Hussein dan para sahabatnya yang setia tenggelam doa dan ibadah yang sangat khusuk. Mereka hidup seolah-olah tidak memiliki kekhawatiran sedikitpun tentang peristiwa Asyura dan kesyahidan yang akan menimpanya, meskipun musuh sedang mengepung mereka di luar.

Sebelum peristiwa Asyura terjadi, salah seorang sahabat bernama Abu tsamamah bin Saidi mengingatkan waktu salat segera tiba kepada Imam Hussein. Ketika itu Imam Hussein kepada pengikutnya berkata, "Kamu sudah mengingatkan kami akan waktu salat. Allah menjadikanmu sebagai salah seorang yang mengingat Allah."

Ketika dzuhur tiba, Imam Husein meminta sedikit waktu untuk bermunajat kepada Allah untuk terakhir kalinya. Musuh menolak permintaan itu, tetapi Imam tetap mendirikan shalat tanpa peduli dengan tekanan dan hujanan panah musuh, dua sahabatnya gugur syahid dalam peristiwa itu.

Kekhusyukan dan ketenangan Imam Husein dalam salat membuat para sahabatnya menitikkan air mata. Fenomena ini mengingatkan mereka pada sosok ayahnya, Imam Ali yang tidak pernah melewatkan salat dalam perang dan berkata, "Kita berperang untuk menegakkan salat." (RA)