Perjalanan Spiritual Haji Ibrahimi (6)
-
Para jamaah haji Iran menggelar ritual bara\'ah (berlepas tangan dari musyrikin) di Padang Arafah. (dok)
Kaum Muslim sedang berkumpul di kota suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka adalah para tamu Allah Swt yang tengah mencicipi manisnya ibadah dan perjamuan Ilahi.
Dalam perkumpulan akbar ini, tampak fenomena indah berupa kesetaraan dan persaudaraan kaum Muslim, di mana jutaan manusia selain menjawab panggilan Ilahi juga memperkuat persatuan di antara sesama.
Manasik haji dapat disebut sebagai bentuk ibadah yang paling menakjubkan dalam Islam. Haji tidak seperti ibadah-ibadah lain dalam Islam, hanya memiliki dimensi individu, tetapi seluruh proses manasik ini dilaksanakan secara serentak dan dalam gerakan seirama.
Dapat dikatakan bahwa dalam Islam dan agama lain, tidak ada ritual ibadah yang lebih megah dan besar dari manasik haji. Kaum Muslim secara massal berkumpul di suatu tempat untuk bersama-sama menunaikan ibadah haji.
Salah satu keistimewaan ajaran Islam adalah menghapus jurang pemisah dan mendekatkan hati antar-pemeluknya. Model pertalian hati yang paling tulus ini dapat disaksikan selama pelaksanaan ibadah haji.
Ibadah haji memiliki banyak dimensi. Kongres besar ini – dengan menghidupkan kembali dimensi politik haji – dapat memainkan peran besarnya dalam geografi politik dunia serta mendorong kemajuan dan persatuan umat Islam.

Solidaritas bangsa-bangsa dan kemudian pemerintah dalam pelaksanaan ibadah haji, merupakan manifestasi dari kemuliaan dan kekuatan kaum Muslim. Ia membawa pesan bahwa kaum Muslim akan membela nilai-nilai agama dan Islam serta siap melawan para agresor yang menyerang Dunia Islam dan ideologi mereka.
Hisyam bin Hakam berkata, "Aku pernah bertanya kepada Imam Jakfar Shadiq as tentang filosofi haji dan thawaf di sekeliling Ka'bah. Ia menjawab, ‘Allah telah menciptakan hamba-hamba-Nya … dan memberikan perintah kepada mereka bagaimana jalan untuk memperoleh kebaikan agama dan dunia, termasuk perkumpulan manusia dari barat hingga timur (dalam pelaksanaan haji) sehingga mereka bisa saling mengenal antar-sesama dan masing-masing bisa mengetahui keadaan yang lainnya… Begitu juga, supaya mereka mengenal sunnah, peninggalan-peninggalan, dan berita-berita dari Rasulullah Saw sehingga masyarakat akan selalu mengenang dan tidak melupakannya.'"
Dalam perspektif al-Quran, manusia diciptakan berdasarkan fitrah tauhid dan umat manusia pada mulanya adalah sebuah umat yang satu, tetapi munculnya perpecahan di antara mereka menyebabkan Allah mengutus para nabi untuk menyelesaikan perpecahan ini. Mereka juga menyeru manusia kepada tauhid, jalan lurus, dan pembentukan umat yang satu.
Ajaran dan perintah para nabi berjalan pada satu jalur dan satu tujuan yaitu membimbing manusia dan membangun persatuan umat. Allah pada ayat 103 surat Ali-Imran berfirman, "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk."
Atas bimbingan Rasulullah Saw, kaum Muslim berdasarkan akidah tauhid membentuk sebuah masyarakat Islam yang disebut "ummah" dengan tujuan menghapus perpecahan dan sekat-sekat palsu di antara individu masyarakat.
Rasulullah juga membentuk pakta persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar di bawah panji Islam. Perjanjian ini mempererat persatuan di antara kaum Muslim dan memperkuat pilar-pilar akidah mereka.
Pada dasarnya, ajaran Islam adalah jalan untuk memupuk persatuan dan solidaritas di antara kaum Muslim. Haji termasuk salah satu dari ajaran yang mempersatukan semua jamaah di bawah panji tauhid.
Imam Khomeini ra menganggap haji sebagai kongres besar Islam, di mana harus menjadi forum untuk menampilkan kekuatan Dunia Islam dan faktor untuk persatuan umat.
Jadi, sungguh tepat jika para ulama dan cendekiawan Muslim memanfaatkan kongres akbar ini untuk bertukar pandangan dan mengikis faktor-faktor yang memicu perpecahan umat. Tentu saja, perbedaan – menurut pandangan Imam Khomeini ra – di berbagai bidang termasuk fikih dan hukum Islam adalah sebuah kewajaran, seperti sabda Rasulullah Saw, "Perbedaan (pendapat) umatku adalah rahmat."
Namun, perbedaan ini akan berbahaya jika telah keluar dari koridornya dan kemudian dimanfaatkan oleh musuh untuk memperlemah barisan umat Islam.
Kongres besar haji merupakan forum internasional-Islami terbaik untuk berdiskusi, memperkuat titik persamaan, dan menjauhkan kaum Muslim dari jurang perpecahan.
Imam Khomeini berkata, "Jika – Insya Allah – persatuan ini tercipta di antara umat Islam dan pemerintah negara-negara Muslim, maka pemerintah negara-negara Muslim dengan dukungan bangsa-bangsa, dapat memiliki sebuah pasukan pertahanan bersama dengan kekuatan terbesar di dunia… diharapkan negara-negara kawasan – dengan mengesampingkan perbedaan bahasa, etnis, dan mazhab, dan hanya di bawah panji Islam – memikirkan masalah ini dan menyusun rencana untuk itu."
Selama berada di tanah suci, kaum Muslim secara langsung bisa memperoleh informasi tentang perkembangan di Dunia Islam dan bertukar pandangan seputar ancaman yang dihadapi oleh Dunia Islam.
Mengenai dimensi persatuan ibadah haji, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei menjelaskan, "Haji adalah manifestasi persatuan dan keagungan umat Islam, haji adalah manifestasi kekuatan umat Islam. Perkumpulan terbesar umat terjadi setiap tahun, tanpa terputus, dengan keadaan yang jelas, dan pada titik tertentu. Umat Islam melalui haji menunjukkan dirinya.
Bangsa-bangsa Muslim saling mengenal satu sama lain dalam haji, mereka menjadi akrab, memahami bahasa satu sama lain yaitu budaya yang mendominasi pikiran satu sama lain, saling merapat, menghapus setiap keraguan, mengikis benih permusuhan, saling menjulurkan tangan, negara-negara dapat saling membantu, bangsa-bangsa juga dapat saling membantu, inilah ibadah haji."
Menurut Ayatullah Khamenei, haji adalah sebuah kapasitas spiritual yang luar biasa, di samping kapasitas sosial yang luar biasa dan tempat untuk mengekspresikan keyakinan dan menjelaskan sikap umat Islam.
Oleh karena itu, jika ibadah haji dilaksanakan sesuai dengan seruan Islam dan Nabi Ibrahim as, maka ia akan menyebabkan kemuliaan kaum Muslim, memperkuat pilar-pilar agama dan persatuan, mendatangkan kekuatan, membuat musuh-musuh shock, dan tercipta baraatun minal musyrikin (berlepas tangan dari kaum musyrikin).

Haji adalah panorama indah dari puncak pembebasan diri dari segala ketergantungan materi dan arena untuk melawan hawa nafsu. Ia adalah fenomena yang menakjubkan dari rasa cinta, pengorbanan, makrifat, dan tanggung jawab dalam kehidupan individu dan sosial. Di Baitullah, manusia memperbaiki ikrarnya dengan Tuhan.
Dalam puisi dan sastra Persia, haji dan Ka'bah memiliki tempat khusus, dan para pujangga dan sastrawan masing-masing telah menggambarkan keagungan ibadah ini dari dimensi berbeda.
Rasyid al-Din Maibadi, penulis kitab Kasyf al-Asrar wa 'Iddat al-Abrar, mengatakan bahwa haji pertama dilakukan oleh Nabi Adam as atas perintah Allah setelah ia diturunkan ke bumi. Setelah Nabi Adam tiba di Makkah, para malaikat menyambutnya dan berkata, “Wahai Adam, semoga hajimu mabrur, lakukanlah thawaf di Baitullah di mana kami telah melakukan thawaf sebelum engkau.”
Salah satu syarat utama perjalanan haji adalah niat dan ikhlas dalam niat itu. Karena, niat saja tidak akan mengantarkan seorang haji pada maksudnya. Ikhlas berarti melakukan pekerjaan dan memusatkan pikiran hanya kepada Allah Swt.
Maulana Jalaluddin Rumi dalam bukunya al-Matsnawi al-Maknawi dan karya-karya lain, menyebut ikhlas dalam niat sebagai syarat pertama dan sebuah keharusan dalam perjalanan spiritual. Menurutnya, syarat ini juga berlaku dalam perjalanan haji. Rumi menjelaskan perbuatan dan gerakan seorang munafik dan mukhlis sama-sama serupa, satu-satunya pembeda perbuatan mereka adalah niat dan ikhlas dalam hatinya.
Dalam sebuah puisinya, Rumi berkata, “Jika engkau memiliki hati, berthawaflah mengelilinginya! Secara spiritual, Ka’bah sejati adalah hati, bukan bangunan fisik dari batu dan tanah. Allah mewajibkan thawaf mengelilingi fisik Ka’bah untuk mendapatkan Ka’bah hati yang bersih dan murni.” (RM)