Karpet Merah Riyadh Sambut Kunjungan Pemimpin Palestina
(last modified Mon, 17 Apr 2023 13:15:12 GMT )
Apr 17, 2023 20:15 Asia/Jakarta
  • Ismail Haniyah
    Ismail Haniyah

Ketua Biro Politik Hamas, Ismail Haniyah dan Khalid Meshaal, mantan ketua biro politik faksi muqawama Palestina ini Minggu (16/4/2023) bersama delegasi tinggi tiba di Riyadh, Arab Saudi.

Musa Abu Marzouk, kepala hubungan internasional, Zaher Jabarin, pejabat kantor tawanan Palestina termasuk anggota Hamas yang menyertai kunjungan Haniyah ke Arab Saudi.

Laman al-Arabi al-Jadid mengutip sejumlah sumber terpercaya menulis bahwa kunjungan Abbas ke Riyadh akan berlangsung hingga 19 April, dan Husein al-Sheikh, sekjen komite eksekutif PLO dan Majid Faraj, kepala dinas intelijen Palestina menyertai kunjungan tersebut.

Arab Saudi sekitar dua pekan lalu mengundang Abbas untuk menghadiri jamuan buka puasa. Sementara itu, di bulan Desember lalu, selama kehadirannya di KTT negara-negara Arab dan Cina yang digelar di Arab Saudi, ia tidak bertemu dengan satu pun pejabat Saudi.

Mahmoud Abbas

Undangan kepada delegasi tinggi Hamas yang dipimpin Ismail Haniyah dan Otorita Palestina yang dipimpin Mahmoud Abbas ke Riyadh dapat dicermati dari berbagai sisi:

Pertama, hal ini menunjukkan kebekuan dihubungan Arab Saudi dengan kedua pemimpin Palestina yang memimpin berbagai faksi dan rival Palestina, mulai mencair.

Hubungan Hamas dan Arab Saudi semakin parah sejak tahun 2007 menyusul rusaknya perjanjian Mekah. Kemenangan Hamas di pemilu Palestina telah membuat faksi ini berhasil berkuasa di Jalur Gaza dan Otorita Palestina terpaksa keluar dari wilayah ini.

Kunjungan terakhir delegasi Hamas ke Riyadh terjadi tahun 2015, ketika saat itu, Khalid Meshaal menjabat kepala biro politik gerakan ini dan bertemu dengan pemimpin Saudi, Raja Salman bin Abdulaziz serta sejumlah pejabat negara ini di Mekah.

Di tahun 2019, Hamas menyatakanbahwa aparat keamanan Arab Saudi menangkap Mohammad al-Khudri, salah satu pemimpin dan wakil Hamas beserta anaknya dan puluhan warga Palestina yang sebagiannya memiliki kewarganegaraan Yordania.

Tahun 2021, pengadilan kriminal Arab Saudi menjatuhkan vonis penjara 15 tahun kepada Mohammad al-Khudri dengan dakwaan mendukung muqawama. Pengadilan ini juga mengadili 69 warga Yordania dan Palestina, dan vonisnya mulai dari dinyatakan tidak bersalah hingga penjara 22 tahun. Arab Saudi 19 Oktober 2022 membebaskan al-Khudri dan mengirimnya ke Yordania.

Otoritas Arab Saudi menangkap puluhan warga Palestina dan Yordania di tahun 2019 dan mengadili mereka dengan dakwaan mendukung muqawama Palestina. Hamas mengumumkan bahwa sekitar 60 warga Palestina mendekam di penjara-penjara Arab Saudi. Arab Saudi selama beberapa bulan lalu membebaskan sejumlah warga Yordania dan Palestina yang dipenjara dengan dakwaan mendukung muqawama Palestina.

Hamas dalam statemennya menyebut kedekatan diplomatik dengan Arab Saudi sebagai langkah penting di jalur persatuan umat Islam dan juga penting untuk meningkatkan keamanan, stabilitas kawasan serta kesepahaman antara negara-negara Arab dengan pemerintah Muslim.

Hamas dalam statemennya ini menambahkan bahwa langkah ini akan terus berlanjut demi kepentingan isu Palestina dan dukungan terhadap muqawama melawan agresi Zionis terhadap bangsa dan sakralitas bangsa Palestina.

Sementara itu, hubungan Arab Saudi dengan Otoritas Palestina juga sempat renggang ketika Arab Saudi di masa pemerintahan presiden AS Donald Trump, menunjukkan minatnya untuk merapat ke rezim Zionis, yang sama halnya upaya bersaam AS dan Israel untuk mengucilkan Otoritas Palestina. Adapun di masa pemerintah Presiden AS, Joe Biden, ketika negara ini mengurangi sebagian represinya terhadap Otoritas Palestina, hubungan dengan Riyadh masih belum dipulihkan. Oleh karena itu, minat Arab Saudi saat ini untuk memperbaiki hubungan dengan Otoritas Palestina dapat dicermati dalam koridor strategi baru negara ini di kawasan.

Berdasarkan hal ini, dimensi kedua dari perjalanan bersamaan para pemimpin Hamas dan Otoritas Palestina ke Riyadh dapat dievaluasi dalam kelanjutan rekonsiliasi Arab Saudi dengan poros muqawama. Setelah rekonsiliasi Arab Saudi dengan Iran dan Suriah, menjadi tuan rumah delegasi Hamas dan Otoritas Palestina di Riyadh menunjukkan dimensi baru diplomasi Arab Saudi.

Menyusul mediasi Cina, Arab Saudi telah menormalisasi hubungan dengan Iran sejak 10 Maret lalu dan mengembalikan hubungan dengan Suriah ke tingkat sebelum perang Suriah. Kedutaan Saudi di Iran dan Suriah seharusnya dibuka kembali dalam beberapa minggu mendatang dan duta besar akan dikirim ke negara lain.

Sekarang, dengan kehadiran delegasi Hamas dan Otoritas Palestina di Riyadh secara bersamaan, tampaknya landasan sedang disiapkan untuk kebangkitan babak baru mediator Saudi untuk rekonsiliasi kedua kelompok Palestina dengan acuan Perjanjian Mekah.

Image Caption

 

Tampaknya salah satu konsekuensi positifnya adalah perbaikan dan rekonsiliasi hubungan Saudi dengan Iran dan Suriah akan tampak di Palestina, dan akan memberikan landasan bagi rekonsiliasi Hamas dan Fatah dengan mediasi Arab Saudi, dan ini akan menjadi sukses yang terbesar untuk kawasan dan Palestina. Hal ini dianggap sebagai kekalahan besar bagi rezim Zionis, yang mendasarkan kebijakannya di Palestina dan kawasan untuk menciptakan perpecahan antara Palestina dan pendukungnya.

Setelah syok besar dari rekonsiliasi Arab Saudi dengan Iran dan Suriah, kejutan besar ketiga datang ke Israel denga rekonsiliasi Arab Saudi dan Hamas serta upayanya untuk memperkuat hubungan antara Hamas dan Otoritas Palestina.

Pada 16 April 2023, surat kabar Israel Ma'ariv dalam laporannya terkait kunjungan delegasi Hamas ke Arab Saudi menulis, Arab Saudi telah menjauh dari normalisasi hubungan dengan Israel.

Televisi Israel i24 News, dalam laporannya menjelaskan bahwa kunjungan delegasi Hamas ke Riyadh sama halnya dengan kekalahan proyek normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab.

Mengingat bahwa rezim Zionis, khususnya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memanfaatkan normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab sebagai alat untuk menutupi kegagalan di dalam negeri, kini setelah kehilangan alat ini, Israel akan menghadapi peningkatan kendala internal, dan khususnya kabinet Netanyahu. (MF)