AS dan Penentangan RUU Reformasi Yudisial di Israel
Lebih dari 3.500 akademisi dan seniman rezim Zionis seraya mengirimkan surat terbuka meminta presiden AS dan sekjen PBB menolak bertemu dengan PM Israel, Benjamin Netanyahu dan melarangnya berpidato di Majelis Umum PBB.
Permintaan ini bergulir setelah Presiden AS Joe Biden yang beberapa bulan lalu menolak bertemu dengan Netanyahu, pada akhirnya menyerah dan menyatakan siap bertemu denga perdana menteri Israel ini tapi bukan di Gedung Putih seperti yang diinginkan Netanyahu, tapi di sela-sela sidang Majelis Umum PBB.
Axios mengutip dua pejabat Israel menulis bahwa Netanyahu merasa tidak berdaya dan terhina karena tidak diundang ke Gedung Putih, menekan Dubes Israel di Washington, Michael Herzog untuk menyusun pertemuan dirinya dengan Biden.
Sebelumnya, Koran Yediot Aharonot menguak permohonan yang berlanjut perdana menteri Israel untuk berkunjung ke Gedung Putih dan bertemu dengan presiden AS, serta kesiapannya memberi konsesi demi meraih tujuannya ini.
6 bulan lalu, Netanyahu yang tidak puas karena tidak diundang ke Amerika, menginstruksikan jajarannya supaya tidak bertemu dengan pejabat Amerika selama ia tidak diundang ke Gedung Putih untuk bertemu dengan presiden negara ini.
Setelah itu, media Zionis mengungkap syarat pemerintahan Biden untuk mengatur pertemuan antara presiden negara ini dan perdana menteri rezim Zionis. Radio militer Israel menyatakan bahwa pemerintah Amerika menentukan syarat baru untuk pertemuan Joe Biden dan Benjamin Netanyahu. Radio tersebut mengumumkan di situsnya bahwa pejabat terkemuka Gedung Putih telah mengirimkan surat kepada kantor Perdana Menteri rezim Zionis, yang memungkinkan Netanyahu akan datang ke Gedung Putih dan bertemu dengan Biden, serta mendapat bantuan Amerika untuk normalisasi hubungan antara Tel Aviv dan Riyadh dengan syarat dihentikannya proses pengesahan RUU reformasi yudisial.
Setelah kembali berkuasa, Netanyahu mengajukan rancangan undang-undang reformasi peradilan, yang oleh para penentangnya disebut sebagai "kudeta yudisial", dan sejak 9 bulan lalu, mereka mengadakan demonstrasi protes setiap hari Sabtu untuk menyatakan penolakan mereka.
Kemarin, Selasa, jalan-jalan menuju Mahkamah Agung menjadi lokasi protes terhadap hal tersebut. Sejumlah pendukung RUU ini juga berdemonstrasi pada hari ini dan melakukan kekerasan jalanan terhadap oposisi. Pada Senin malam, ribuan Zionis yang tinggal di wilayah pendudukan pergi ke kediaman Netanyahu setelah demonstrasi jalanan dan berkumpul di depan rumahnya di Yerusalem pendudukan untuk memprotes rancangan undang-undang perubahan peradilan yang ingin disetujui oleh kabinet Netanyahu di Knesset.
Kemarin, Selasa, Mahkamah Agung rezim Zionis, dengan kehadiran 15 hakim, mengadakan pertemuan untuk pertama kalinya guna meninjau pengaduan terhadap pencabutan undang-undang “bukti kewajaran”, dan pada akhir sidang maraton 13 jam, para pembela dan penggugat undang-undang kontroversial yang dikenal sebagai "pencabutan" argumen kewajaran" diberi waktu 21 hari untuk menyelesaikan argumen mereka.
Faktanya Mahkamah Agung dengan membeli waktu mencegah semakin parahnya friksi dan bentrokan internal saat ini, tapi sepertinya gencatan senjata ini bersifat sementara, dan setelah kembalinya Netanyahu dari kunjungan ke New York, khususnya setelah pengumuman voting Mahkamah Agung di akhir tenggat waktu, api konfrontasi ini akan kembali berkobar. Selain itu, dengan kunjungan Netanyahu ke New York domain akan protes melebar dari Palestina pendudukan ke Amerika Serikat, dan di sana para penentang RUU kudeta yudisial akan menyuarakan penentangannya. (MF)