Kisah Para Pejuang Hamas di Terowongan Rafah
-
Terowongan pejuang Palestina yang dijaga tentara Israel
Pars Today - Kota Rafah terletak di bagian timur dari “garis kuning”, garis demarkasi yang ditetapkan dalam perjanjian gencatan senjata 10 Oktober dan berada di bawah kontrol militer Israel.
Sementara itu, warga Palestina hanya diperbolehkan melintas di wilayah barat garis itu, yang masih kerap menjadi sasaran pelanggaran gencatan senjata dan serangan udara Israel, menewaskan ratusan orang sejak perjanjian diberlakukan.
Krisis mengenai anggota Hamas yang terjebak di Rafah memuncak setelah dua insiden keamanan pada 19 dan 28 Oktober, di mana Israel mengklaim terjadi bentrokan dengan pejuang Palestina dan menuduh Hamas melanggar kesepakatan. Namun sayap militer Hamas, Brigade Al-Qassam, menegaskan bahwa kontak dengan kelompok yang tertinggal di Rafah telah terputus sejak perang kembali berkobar pada bulan Maret.
Klaim Kesepakatan dan Perselisihan di Balik Layar
Menurut laporan harian Yedioth Ahronoth, seorang pejabat kabinet keamanan Israel menyebut bahwa Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Jared Kushner, utusan khusus Amerika Serikat, telah mencapai kesepakatan untuk memungkinkan evakuasi aman para anggota Hamas tersebut. Namun, hingga kini tidak ada satu pun negara yang bersedia menerima mereka.
Sebaliknya, media resmi Israel, termasuk Otoritas Penyiaran Israel (IBA), melaporkan bahwa terdapat perbedaan tajam antara Washington dan Tel Aviv terkait cara menyelesaikan krisis ini.
Kushner dalam surat resminya meminta agar para pejuang Hamas dipindahkan ke arah barat garis kuning tanpa membawa senjata, dan menjadikan langkah tersebut bagian dari rencana perlucutan senjata Gaza.
Namun, pemerintah Israel menolak keras usulan itu, menyebutnya sebagai “naif dan berisiko tinggi”.
Menurut sejumlah laporan, Washington khawatir runtuhnya gencatan senjata jika para pejuang tersebut dibunuh di dalam terowongan. Presiden Donald Trump bahkan menilai skenario semacam itu “tidak dapat diterima”.
Di sisi lain, beberapa pejabat keamanan Israel memperingatkan bahwa langkah ekstrem seperti mengebom atau membanjiri terowongan akan menghancurkan seluruh kesepakatan gencatan senjata.
Sementara itu, harian Israel HaYom mengutip seorang pejabat politik Israel yang menegaskan bahwa “belum ada kesepakatan akhir” terkait nasib para pejuang Hamas di Rafah.
Sumber dekat Netanyahu juga membantah adanya komitmen resmi kepada Washington.
Dalam pertemuan Netanyahu dan Kushner di Quds Barat, sejumlah pejabat Israel bahkan menuntut agar para pejuang tersebut menyerah atau dibunuh jika menolak menyerah.
Namun Brigade Al-Qassam dalam pernyataannya menegaskan bahwa “penyerahan diri tidak ada dalam kamus perlawanan” dan memperingatkan bahwa Israel akan menanggung akibat dari setiap konfrontasi baru.
Kantor Perdana Menteri Zionis Israel pada Selasa (11/11/2025) malam juga menyatakan bahwa Netanyahu tidak menyetujui pembebasan anggota Al-Qassam yang masih berada di Rafah, serta tidak memberikan komitmen apa pun kepada pihak Amerika.
Meskipun demikian, mantan Menteri Perang Avigdor Lieberman mengklaim bahwa Netanyahu diam-diam telah berjanji kepada Washington untuk membebaskan para pejuang Hamas tanpa persetujuan kabinet. Lieberman menyebut langkah itu sebagai “kegilaan total”.
Dua Tahun Kejahatan dan Kehancuran
Sejak Oktober 2023, Israel dengan dukungan Amerika Serikat telah melancarkan serangan brutal terhadap rakyat Gaza, yang menewaskan lebih dari 69.000 orang dan melukai sekitar 170.000 lainnya, mayoritas di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.
Sekitar 90 persen infrastruktur sipil di Jalur Gaza hancur total.
Meski Hamas mematuhi kesepakatan gencatan senjata, membebaskan seluruh tawanan Israel yang masih hidup dan menyerahkan hampir seluruh jenazah tawanan yang tewas, Israel terus melanggar perjanjian itu setiap hari.
Sejak gencatan senjata diberlakukan, 271 warga Palestina telah gugur dan 622 lainnya terluka akibat pelanggaran yang dilakukan militer Israel.
Dengan memburuknya koordinasi antara Washington dan Tel Aviv mengenai krisis Rafah, isu terowongan Rafah kini menjadi titik paling sensitif dalam kesepakatan gencatan senjata Gaza, sebuah simpul politik dan militer yang dapat menentukan kelangsungan atau kehancuran penuh kesepakatan antara AS, Israel, dan kelompok perlawanan Palestina.(sl)