Mengapa Perundingan Strategis Rusia-AS di Jenewa Gagal ?
Setelah menunggu cukup lama, pembicaraan tentang stabilitas strategis antara Rusia dan Amerika Serikat akhirnya digelar pada hari Rabu (28/7/2021) di Jenewa, Swiss. Tapi perundingan ini tidak membuahkan hasil yang diharapkan kedua pihak.
Delegasi Rusia dipimpin Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov, sedangkan AS dipimpin Wakil Menteri Luar Negeri AS Wendy Sherman.
Setelah pertemuan berakhir, Ryabkov mengatakan bahwa delegasi Rusia dan Amerika tidak berhasil menyetujui pembicaraan tentang senjata ofensif dan pertahanan amunisi nuklir dan non-nuklir. Dia menegaskan, "Kami bekerja untuk mewujudkan tujuan ini. Saya ingin membahasnya dalam kerangka yang telah kami umumkan, tetapi kami tidak mencapai kesepakatan dengan pihak Amerika tentang masalah tersebut."
Selama masa kepresidenan Donald Trump, Amerika Serikat mulai menarik diri dari traktat pengendalian senjata strategis dengan keluar dari Traktat Angkatan Nuklir Jangka Menengah (INF), dan kemudian Open Skies Treaty.
Pada langkah berikutnya, pemerintahan Trump menetapkan kondisi untuk perpanjangan satu-satunya perjanjian kontrol senjata yang tersisa, New START yang secara praktis membuka jalan bagi keruntuhannya.
Trump meminta Cina bergabung dalam negosiasi untuk memperpanjang New START dan penghapusan senjata supersonik dari gudang senjata Rusia, yang ditentang keras oleh Beijing dan Moskow. Rusia juga menarik diri dari dua perjanjian tersebut sebagai aksi balasan. Terlepas dari masalah ini, Rusia berusaha untuk memperpanjang perjanjian New START.
Setelah pelantikan Presiden Joe Biden, yang mengklaim akan membalikkan tindakan negatif Trump dalam masalah kontrol senjata, pada Februari 2021, ia setuju untuk memperpanjang perjanjian New START selama lima tahun.
Georgy Arbatov, pakar hubungan internasional mengatakan, "Perjanjian New START, berkat rezim verifikasi dan langkah-langkah membangun kepercayaan, mampu menjamin tingkat prediktabilitas, transparansi, dan interaksi kerja yang tinggi dalam hubungan strategis antara kedua kekuatan,".
Poin penting dalam hal ini bahwa pemerintahan Biden, sejalan dengan pendekatan umum Amerika Serikat, yang selalu menuduh musuh dan saingannya, sekaligus menunjukkan dirinya bebas dari kesalahan atas tindakan apa pun.
Faktanya, Amerika Serikat, terutama selama pemerintahan Trump, telah mengambil langkah besar dalam modernisasi kekuatan nuklir AS di darat, laut dan udara dan telah mengalokasikan miliaran dolar untuk melengkapi kembali persenjataan nuklirnya, dan tren ini di era Biden tetap dilanjutkan.
Biden, sementara itu, telah berjanji untuk merundingkan stabilitas strategis dengan Rusia, yang memiliki persenjataan nuklir terbesar di dunia bersama Amerika Serikat. Masalah ini diangkat terutama selama pertemuan Biden baru-baru ini dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Jenewa.
Namun, sikap keras kepala Washington, yang telah berulang kali menyabotase pembicaraan senjata nuklir, menyebabkan pembicaraan Jenewa hari Rabu tidak membuahkan hasil.
Terlepas dari konsekuensi negatif pengembangan senjata nuklir baru dan penarikan dari Perjanjian INF, AS berusaha terus melakukan pengembangan dan penyebaran rudal jelajah nuklir dan non-nuklir jarak pendek dan rudal balistik tanpa hambatan signifikan.
Tentu saja hal ini memicu reaksi dari Rusia. Dengan demikian perlombaan senjata baru antara kedua kekuatan nuklir akan segera dimulai. Di sisi lain, negara-negara nuklir lainnya, seperti Cina, Prancis, dan Inggris, akan berusaha untuk memperluas rudal dan senjata nuklir mereka agar tidak tertinggal dari Amerika Serikat dan Rusia.(PH)