Amerika, Negara Algojo dan Gila Perang
(last modified Mon, 04 Mar 2024 06:15:30 GMT )
Mar 04, 2024 13:15 Asia/Jakarta
  • Amerika, Negara Algojo dan Gila Perang

Deklarasi yang dikenal dengan sebutan Doktrin Carter pada tahun 1980 menegaskan posisi Amerika Serikat kepada dunia bahwa mereka bersedia mempertahankan kepentingan vitalnya yaitu bahan bakar fosil di kawasan Timur Tengah dengan melakukan segala cara termasuk pembantaian dan perang.

Ketika kita menyaksikan rangkaian serangan AS yang destruktif dan sia-sia untuk menundukkan negara-negara di kawasan dan berbagai institusinya, terutama melalui serangan udara berturut-turut, kita tidak boleh melupakan pentingnya minyak, terutama bagaimana minyak di tangan Amerika Serikat menggerakkan mesin industri dan perang ke arah penghancuran negara lain. Kini, dunia sedang menyaksikan kembali perang dan aksi pengeboman yang dilakukan Amerika Serikat di negara-negara kawasan. Lalu apa tujuannya ?

Amerika berupaya memberikan “pelajaran” kepada kelompok-kelompok di kawasan yang aktivitasnya tidak sesuai dengan keinginan Amerika! Agar mereka tidak menginjak ekor Amerika lagi! Keyakinan mereka adalah ini: Anda membunuh tiga tentara kami dan kami membunuh puluhan, ratusan atau bahkan ribuan dari Anda (tidak peduli apakah mereka militer atau bukan), kami membunuh hanya karena kami bisa!

Para pemimpin Amerika, yang memiliki angkatan udara kuat yang dapat membunuh orang, telah berulang kali menunjukkan keinginan kuat untuk menggunakannya guna mengebom musuh-musuh mereka. Jangan berpikir sejenak bahwa dengan mengacu pada hukum internasional, deklarasi kemanusiaan atau protes aktivis anti-perang, mereka bisa menghentikan operasi pembunuhan yang dilakukan Amerika! Tidak, Amerika mengebom karena mereka percaya pada efektivitas kekerasan.​

 

 

Tampaknya, pejabat tinggi Amerika berpikir bahwa menghancurkan orang-orang yang jaraknya bermil-mil jauhnya adalah tanda kekuatan mereka. Namun sebenarnya, hal itu menunjukkan kelemahan mereka. Dengan rasa haus yang tak terpuaskan akan kekuasaan, keuntungan dan kehancuran, mereka selalu berupaya mengembangkan dan menggemukkan pabrik senjata mereka.

Di Timur Tengah, mereka gagal dan gagal dan gagal lagi, namun mereka tidak bisa memerintahkan penghentian lebih banyak pemboman, lebih banyak serangan pesawat tak berawak, dan lebih banyak pembunuhan. Dengan demikian, tidak ada teknologi yang lebih dari Amerika dalam membuat bom dan pesawat pengebom ! Tidak ada doktrin yang lebih dari Amerika dalam slogan untuk mencapai perdamaian harus melalui perang!

Dalam Perang Dunia II dan perang-perang berikutnya, pendekatan utama Amerika Serikat dapat diringkas dalam enam kata, "produksi massal untuk tujuan pembunuhan massal".​

Tidak ada negara lain di dunia yang menghabiskan sumber daya dan angkatan udaranya yang besar untuk melakukan pembunuhan massal selain Amerika Serikat. Lihatlah pemboman total kota-kota di Jerman era Nazi, dan Kekaisaran Jepang pada Perang Dunia II, yang berpuncak pada pemboman Hiroshima dan Nagasaki.

Jangan lupakan kehancuran Korea Utara dalam Perang Korea di awal tahun 1950-an atau pemboman besar-besaran di Vietnam, Laos, dan Kamboja pada tahun 60-an dan awal 70-an. Atau penggunaan kekuatan udara secara ekstensif dalam operasi “Perisai Gurun” terhadap Irak pada awal tahun 90-an dan kemudian serangan udara terhadap Afghanistan dan Irak pada tahun 2003.

Rezim Zionis sebagai anak asuh Amerika, mengikuti jejaknya. Israel secara sistematis menghancurkan Gaza dengan tujuan menjadikan kota tersebut tidak dapat dihuni oleh warga Palestina yang selamat dari kekerasan yang sedang berlangsung.

Menarik untuk dicatat bahwa pada awal perang Gaza, para pemimpin Israel mengutip penghancuran kota Dresden di Jerman oleh Sekutu pada tahun 1945 untuk membenarkan operasi brutal mereka melalui udara dan darat terhadap Palestina.​

 

 

Dalam Perang Dunia II, Amerika dan sekutu Inggrisnya menghancurkan kota-kota Jerman dalam "Serangan Pembom Gabungan" dan menganggap semua orang Jerman terlibat dalam kejahatan pemerintah Nazi. Oleh karena itu, serangan tersebut menjadi sah. Hal serupa juga terjadi pada pemerintahan sayap kanan Israel saat ini.

Israel juga menganggap semua warga Palestina sebagai anggota Hamas. Oleh karena itu sah menjadi sasaran perang. Sebagaimana Amerika Serikat, Israel mengklaim membela demokrasi dengan setiap tindakan ilegalnya. Maka tidak mengherankan jika Washington begitu rela mengirimkan bom dan peluru ke Israel, ketika negara itu berupaya membangun “perdamaian” melalui perang besar-besaran, penghancuran, dan genosida.

Lebih dari 22 tahun telah berlalu sejak serangan 11 September dan serangan besar-besaran Amerika di Timur Tengah, Amerika Serikat masih memiliki setidaknya 30.000 tentara di kawasan tersebut. Setidaknya satu dan terkadang dua kapal induk hadir di Teluk Persia, dan ini terlepas dari pangkalan militer AS yang tersebar di berbagai negara di kawasan ini yang terbentang dari Kuwait dan Bahrain hingga Qatar dan UEA.

Bertahun-tahun kemudian, sekitar 900 Marinir AS masih secara ilegal menduduki sebagian wilayah Suriah yang menjadi tempat sebagian besar minyak negara itu diproduksi, dan 2.500 tentara ditempatkan di Irak.

 

 

Di sisi lain, bantuan militer Amerika, terutama dalam bentuk senjata mematikan, tidak hanya dikirimkan ke Israel, tetapi juga ke negara-negara lain di kawasan seperti Mesir dan Yordania. Dukungan langsung militer AS memfasilitasi perang Arab Saudi yang panjang, destruktif, dan tidak berhasil melawan Yaman.

Perang yang kini dilakukan Washington sendirian dengan serangan udara berulang kali terhadap Yaman. Dan tentu saja, selama lebih dari dua dekade, seluruh wilayah ini berada di bawah tekanan militer AS dengan dalih apa yang disebutnya sebagai “perang melawan teror”, yang dengan cepat berubah menjadi perang teror dan penyiksaan.​

 

 

Jangan lupa bahwa invasi AS ke Irak pada tahun 2003 mengakibatkan kematian sekitar satu juta warga Irak dan jutaan lainnya mengungsi.

Sama seperti Perang Salib pada Abad Pertengahan yang tidak semata-mata bersifat keagamaan, versi Amerika Serikat saat ini tidak semata-mata dimotivasi oleh permusuhan terhadap umat Islam. Hal yang memicu perang ini sebagian besar adalah keserakahan, rasa balas dendam, dan desakan Amerika untuk menyenangkan dan memperkuat industri senjata mereka.

Tentu saja, seperti yang terjadi pada tahun-tahun setelah 9/11 dan masih berlaku hingga saat ini, orang Amerika pada umumnya ingin melihat tindakan negara mereka sebagai tindakan defensif belaka.

George W. Bush pernah berkata bahwa Amerika dibenci karena “kebebasannya”. Di sini kita harus mengatakan bahwa “kebebasan” ini bukanlah kebebasan yang disetujui dalam konstitusi dan undang-undang hak asasi manusia. Sebaliknya, ini adalah “kebebasan” Amerika untuk membangun pangkalan militer di seluruh dunia dan melakukan pengeboman di mana-mana, dan “kebebasan” untuk terlibat dalam aktivitas kekerasan dan memperlakukan tentara Amerika dan banyak orang asing sebagai tentara mainan dan bahan habis pakai untuk permainan Washington.(PH)