Apr 29, 2024 20:43 Asia/Jakarta
  • Demonstrasi Mahasiswa AS, Analis Iran: Kemanusiaan saja Cukup!

Salah satu analis Iran, berpendapat, kebijakan Barat, memandang demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan berpendapat, sebagai instrumen, dan sekarang sampai pada tahap tidak hanya kulit berwarna yang berjuangmelawan diskriminasi ras, tapi juga kalangan kampus, bahkan beberapa politisi Amerika Serikat dan anak-anak pejabat negara ini.

Gelombang demonstrasi mendukung Palestina, di kampus-kampus AS, setelah penangkapan ratusan demonstran di Universitas Columbia, semakin meluas, dan setelah menjalar ke sebagian besar kampus negara ini, damonstrasi pro-Palestina, juga menyebar ke kampus-kampus negara lain.
 
Demonstrasi di Universitas Columbia, New York, telah berlangsung sejak sembilan hari lalu tepatnya tanggal 17 April 2024. Para mahasiswa demonstran menuntut pemutusan hubungan kampus mereka dengan institusi-institusi Israel, yang terlibat dalam perang Gaza. Para demonstran di kampus-kampus lain juga memiliki tuntutan yang sama.
 
Pada saat yang sama, pemerintah AS, menangani aksi-aksi demonstrasi damai mahasiswa pro-Palestina, ini dengan tindakan kekerasan. Di bawah ini sejumlah pendapat analis Iran, terkait masalah tersebut,
 
 
Partisipasi Luas Warga AS, Non-Imigran
 
Foad Izadi, staf pengajar Fakultas Studi Internasional, Universitas Tehran,
 
Anda tidak perlu menjadi Muslim, atau berada di barisan kelompok kiri untuk berpartisipasi dalam demonstrasi ini. Kemanusiaan saja sudah cukup sehingga dengan melihat foto-foto ini, ikut serta dalam demonstrasi.
 
"Mungkin saja media-media Barat, merusak peristiwa-peristiwa ini, tapi masalahnya hal itu tidak akan menciptakan perubahan pada substansi."
 
Meskipun mereka adalah satu persen dari komunitas Muslim, tapi mereka bukan imigran. Para mahasiwa asing yang mungkin saja dikeluarkan dari AS, biasanya tidak ikut demonstrasi. Baik di antara demonstran Muslim, atau bukan, harus kita ketahui bahwa orang-orang ini adalah warga negara AS. Karena kewarganegaraan AS itulah mereka merasa tanggung jawabnya dua kali lipat.
 
 
Tantangan Persuasif Demokrasi Liberal
 
Saeed Abdolmaliki, staf pengajar Universitas Payam-e Noor,
 
AS pada tahun 2003, menduduki Irak, dengan dalih mencari senjata nuklir, tapi hal itu hanya bohong belaka. Hari ini lebih dari 35.000 manusia terbunuh di Gaza, sebagian besar perempuan dan anak-anak tak berdaya.
 
Apakah demokrasi liberal memperhatikan masalah ini? Realitasnya tidak ada argumen apa pun yang dapat memuaskan masyarakat dunia, dan kalangan universitas AS. Para mahasiswa, dan dosen bangkit, pasalnya merasa pemerintah AS, telah merampas identitas, harga diri, dan kemanusiaan mereka.
 
Para demonstran merasa sedang berhadapan dengan sebuah junta militer, dan penjajah, dan sistem universitas sampai hari ini berfungsi sebagai roda penggerak sistem militer ini, dan kewajiban para mahasiswa adalah memberikan minyak pelumas untuk mesin pembunuh ini.
 
"Kebijakan Barat, memandang demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan berpendapat, sebagai instrumen, dan sekarang sampai pada tahap tidak hanya kulit berwarna yang berjuang melawan diskriminasi ras, tapi juga kalangan kampus, bahkan beberapa politisi Amerika Serikat dan anak-anak pejabat negara ini."
 
Tidak menutup kemungkinan kebangkitan kampus ini akan berubah menjadi sebuah kebangkitan sosial yang menyeluruh, pasalnya pembelaan, dan dukungan total pemerintah AS, atas Israel, pembunuhan anak-anak dan genosida rezim ini, tidak menyisakan sedikit pun kehormatan bagi investasi-investasi sosial, dan politik AS, yaitu nilai-nilai Amerika.
 
 
Peran Serius Pertarungan Identitas
 
Hadi Khosroushahi, pengamat masalah AS,
 
Menurut pendapat Francis Fukuyama, dalam karya terakhirnya yang diterbitkan sebagai sebuah buku identitas, terdapat bukti-bukti meyakinkan terutama setelah November 2016, bahwa AS, memasuki era pertarungan identitas. Banyak alasan yang melatari kemunculan partarungan identitas ini.
 
"Mungkin salah satu alasan paling penting dari munculnya pertarungan identitas ini adalah sejumlah kerentanan yang terdapat di dalam demokrasi liberal Barat."
 
Di sisi lain, gerakan arus utama AS, sama sekali tidak punya kemampuan, fasilitas atau kehendak untuk merepresentasikan suara-suara berbeda yaitu suara-suara yang didefinisikan dalam kerangka pertarungan identitas.
 
Bahwa demonstrasi-demonstrasi terbaru di AS, semakin meluas, memuncak, dan pada saat yang sama, menantang kebijakan dalam negeri, dapat dianalisa dalam kerangka ini.
 
Bertolak belakang dengan konsep-konsep lain dalam kebijakan luar negeri, biasanya dalam kebijakan dalam negeri AS, masalah-masalah semacam ini tidak terlalu ditanggapi.
 
Akan tetapi masalah genosida di Gaza, akhirnya mampu menyulitkan kebijakan dalam negeri AS. Dari sini fenomena tersebut dapat dianggap sebagai bagian atau salah satu indikasi masuknya AS, ke era pertarungan identitas.
 
Pertarungan identitas pada kenyataannya terjadi antara dua gerakan yang bisa dikatakan asli. Satu gerakan mendukung bertahannya kedigdayaan dan kedaulatan kulit putih AS, dan kembalinya AS, ke Amerika yang asli dan berakar sejarah, yaitu Amerika yang di dalamnya hidup beragam etnis, dan substasi multi-ras. Sebaliknya gerakan yang lain merasa di bidang politik dalam negeri, dan kebijakan luar negeri, tuntutan-tuntutan, serta harapan mereka tidak ditanggapi.
 
Oleh karena pertarungan terjadi di seputar institusi-institusi, dan prinsip, maka dengan sendirinya ia akan menjadi kekerasan. Dalam pemilu AS pada November 2020, sejumlah jajak pendapat menunjukkan bahwa kedua lapisan masyarakat, baik pendukung Demokrat atau Republik, menganggap tindakan kekerasan, absah untuk mencapai tujuan politiknya.
 
 
Kemungkinan Demonstrasi Meluas ke Masyarakat Biasa
 
Hadi Borhani, staf pengajar Fakultas Studi Palestina, Universitas Tehran,
 
Di negara-negara Barat, dan AS, kampus-kampus menempati kedudukan spesial, dari satu sisi demonstrasi-demonstrasi kalangan kampus AS, sedang berlangsung yang jika berlanjut akan menyebabkan gelombang perubahan yang dapat merembet ke masyarakat biasa.
 
"Jika demonstrasi-demonstrasi ini sampai meluas ke masyarakat biasa, pemerintah AS, tidak akan bisa lagi mencegahnya, dan masalah ini akhirnya akan berubah menjadi sebuah bahaya bagi Rezim Zionis, dan lobi-lobi Israel, di AS."
 
Di AS, terdapat "demokrasi parsial", dan jika mayoritas penduduk negara ini menentang dukungan terhadap Israel, maka kebijakan dukungan ini tidak akan berlanjut, dan dukungan Washington, atas Tel Aviv, terancam bahaya. (HS)