Kesempatan Membunuh Muslim: Kesengajaan Barat dalam Pembantaian Muslim Srebrenica
(last modified 2024-07-07T10:41:32+00:00 )
Jul 07, 2024 17:41 Asia/Jakarta
  • Kesempatan Membunuh Muslim: Kesengajaan Barat dalam Pembantaian Muslim Srebrenica

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) pada musim semi tahun 1993 mengumumkan Srebrenica sebagai zona aman; Namun demikian, pasukan di bawah komando Ratko Mladić yang kemudian ditetapkan melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan serta genosida, melanggar wilayah di bawah pengawasan PBB.

Sekitar 15 ribu warga Srebrenica melarikan diri ke sekitar gunung, tapi pasukan Serbia menemukan mereka, dan membantai ribuan orang. Mayat para korban ditemukan di 570 tempat di seluruh negeri.

 

Jejak sejarah peristiwa dan peristiwa yang berkaitan dengan Perang Dunia Pertama dan Kedua serta konflik antar negara Eropa menyebabkan terjadinya perang tahun 90an di kawasan Balkan. Menurut Pars Today, runtuhnya Uni Soviet dan Yugoslavia, keberadaan Perang Dingin dan kelanjutannya dapat dianggap sebagai perubahan dan perkembangan yang sama dalam hubungan regional dan global, yang sekali lagi mempunyai dampak terbesar pada kehidupan masyarakat di wilayah Balkan, khususnya di republik seperti Bosnia Herzegovina dan Kosovo.

 

Pengumuman kemerdekaan bekas Republik Yugoslavia terjadi silih berganti, dan pada akhirnya terikat pada isu Bosnia yang kemudian berujung pada konflik dan perang yang keras serta pembantaian mengerikan di wilayah ini.

 

Setelah bertahun-tahun, jejak perang masih terlihat di kota-kota dan desa-desa di Bosnia. Efek tembakan di tembok kota dan keberadaan banyak kuburan di berbagai daerah perkotaan dan pedesaan di antara jalan raya dan bahkan kenangan akan orang mati dan anak-anak yang terbunuh di jalan-jalan ramai kora Sarajevo adalah pemandangan yang tidak akan terhapuskan dari memori sejarah.

 

Selama perang ini, tercatat pengepungan paling laman sebuah ibu kota negara sepanjang perang modern, di mana Sarajevo dikepung total selama 1425 hari, dan sekitar 14 ribu orang selama perang lebih dari 40 bulan ini terbunuh.

 

Dimensi dan dampak dari perang ini sangat luas, tapi salah satu isu yang patut menjadi perhatian adalah pembantaian warga muslim kota Srebrenica yang tercatat sebagai genosida terbesar di Eropa setelah perang dunia kedua.

 

Terkait pelaku dan dimensi hukum serta politik dari peristiwa-peristiwa ini, kita dapat mempertimbangkan faktor internal dan konteks negara tersebut serta kelalaian atau mungkin rasa puas diri organisasi-organisasi internasional sebagai faktor eksternal.

 

Makam para korban genosida Srebrenica

 

Pelaku paling signifikan dari kejahatan ini adalah Radovan Karadzic, mantan presiden Republik Serbia dan Ratko Mladić, mantan komandan tentara Serbia, yang setelah bertahun-tahun dari perang ini dan tinggal diam-diam di kota-kota dan desa-desa Serbia, masing-masing ditangkap pada pada tahun 2008 dan 2011, serta dijebloskan ke penjara.

 

Karadzic diadili di pengadilan kejahatan perang Den Haag tahun 2016 dan divonis penjara 40 tahun dengan dakwaan melakukan genosida dan kejahatan anti-kemanusiaan, dan kemudian vonis ini diubah menjadi hukuman seumur hidup.

 

Mladic yang dikenal sebagai tukang jagal Balkan dan Bosnia, divonis hukuman seumur hidup pada tahun 2017 karena membantai 8200 warga Bosnia pada tahun 11 Januari 1995.

 

Mungkin, dalam beberapa hal, hukuman terhadap orang-orang ini dapat dianggap sebagai balasan atas tindakan anti-kemanusiaan mereka, yang mungkin mengurangi rasa sakit dan penderitaan keluarga yang selamat dari para korban dan pengungsi perang ini sampai batas tertentu, tapi di faktanya, harus dikatakan: tidak ada hukuman tidak dapat diterapkan pada orang-orang yang melecehkan dan menganiaya warga sipil yang tidak berdaya dan membunuh sejumlah besar orang karena kejahatan perbedaan etnis atau ras, sejarah dan ideologi.

 

Di sisi lain, tuduhan besar ditujukan kepada masyarakat barat dan khususnya organisasi-organisasi internasional seperti PBB, yang kelalaiannya dalam kasus ini sangat jelas terlihat.

 

Negara-negara adi daya dan kuat setelah perang dunia kedua membentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai organisasi antar pemerintah terbesar dan terkuat di dunia dengan tujuan mencegah perang, menjaga keamanan dan menjamin perdamaian global, dan menggantikan Liga Bangsa-Bangsa.

 

Jika kita melihat sekilas nama dan slogan Perserikatan Bangsa-Bangsa, “Perdamaian, Martabat dan Kesetaraan di Bumi yang Sehat”, kita akan memahami dengan tepat bahwa salah satu pilar terpenting dan vital dari organisasi ini adalah Dewan Keamanan yang bertanggung jawab menjaga perdamaian dan keamanan internasional, telah melakukan kelalaian yang signifikan dalam masalah kejahatan perang di Bosnia dan Herzegovina dan khususnya di Srebrenica. Karena kota Srebrenica dinyatakan oleh PBB sebagai zona aman dan dilindungi, dan tanggung jawabnya ada pada tentara Belanda, atau pasukan penjaga perdamaian helm biru, yang, tanpa reaksi apa pun, menyerahkan populasi pria dan wanita Bosnia dalam jumlah besar kepada Serbia dan akibatnya, populasi sekitar 8000 warga sipil terbunuh dalam tindakan biadab.

 

Tentu saja kelalaian dan sikap lunak masyarakat Barat terhadap isu hak asasi manusia bagi negara lain tidak berakhir dengan perang Bosnia, dan salah satu halaman gelap kasus mereka adalah genosida Rwanda pada tahun 1994, yang mana ketika terjadi perang etnis di Afrika tengah menewaskan lebih dari 800 ribu orang, perempuan dan anak-anak dibunuh dan sekitar 200.000 hingga 500.000 perempuan diperkosa.

 

Klaim-klaim yang menyesatkan dari masyarakat Barat mengenai hak asasi manusia atau slogan-slogan populis kemanusiaan yang ditujukan kepada negara-negara lain adalah isu-isu yang dapat dijadikan contoh. (MF)

 

 

Tags