Teror, Pemberontakan, Ketidakpuasan; Apakah AS di Ambang Perang Saudara?
https://parstoday.ir/id/news/world-i177084-teror_pemberontakan_ketidakpuasan_apakah_as_di_ambang_perang_saudara
Pars Today - Meluasnya demonstrasi dan kekerasan sporadis serta mematikan, bersamaan dengan teror tokoh politik, telah meningkatkan kekhawatiran soal keamanan Amerika Seriakt, yang memiliki latar belakang sejarah perang saudara.
(last modified 2025-09-17T11:51:12+00:00 )
Sep 17, 2025 18:42 Asia/Jakarta
  • Teror, Pemberontakan, Ketidakpuasan; Apakah AS di Ambang Perang Saudara?

Pars Today - Meluasnya demonstrasi dan kekerasan sporadis serta mematikan, bersamaan dengan teror tokoh politik, telah meningkatkan kekhawatiran soal keamanan Amerika Seriakt, yang memiliki latar belakang sejarah perang saudara.

Newsweek, melaporkan, teror Charlie Kirk, aktivis politik pro-Trump, minggu lalu, telah menciptakan gelombang keterkejutan di seluruh AS, dan memicu wacana baru terkait gelombang peningkatan kekerasan yang bisa berujung dengan sikap bahwa penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politik adalah hal biasa.
 
Meskipun banyak orang yang menggambarkan pembahasan kekerasan politik sebagai sebuah fenomena baru bahkan asing di AS, para pengamat meyakini bahwa kekerasan mematikan telah menjadi ciri khas politik AS sejak lama.
 
John Michaels, dosen hukum di Universitas California, menulis, “Sejak beberapa lama kita semakin terbiasa melakukan kekerasan yang tidak bisa digambarkan di AS dan yang paling menonjol serta terus berulang, terjadi dalam bentuk penembakan massal, biasanya di sekolah atau tempat ibadah.”
 
Kebanyakan pengamat menganggap pemberontakan 6 Januari 2021 di Kongres AS sebagai titik balik kebijakan kontemporer. Sebuah peristiwa yang di dalamnya para pendukung Donald Trump, Presiden AS, menyerang gedung Kongres, dan berusaha membatalkan pengesahan kemenangan Joe Biden.
 
Analis Newsweek, menyebut serangan ini sebagai gelombang perwujudan kekerasan politik yang terus meningkat di AS, yang bersamaan dengan kontestasi pemilu presiden 2020 terutama setelah konflik-konflik politik menyala, dan karena atmosfer ketidakpercayaan seputar pandemi COVID-19, dan karantina-karantina akibat pandami tersebut.
 
Laporan ini kemudian menjelaskan tentang upaya pembunuhan Trump, teror terhadap Mellisa Hortman, senator AS dari Minnesota, pada Juni lalu, dan gelombang serangan dengan motif politik lain di sejumlah tempat seperti Museum Yahudi, di Washington, dan kantor Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS di Georgia.
 
Newsweek melanjutkan, akar dari kekerasan politik di AS saat ini jauh lebih dalam dari dekade lalu. Dari sudut pandang penulis, satu abad pertama dari usia sebuah negara yang lahir dari Rahim perang kemerdekaan AS, dipenuhi dengan pembersihan etnis pribumi terorganisir, dan pertikaian-pertikaian berulang di antara sayap-sayap politik yang saling bersaing terkait berbagai masalah seperti pajak, agama, ras, dan metode pemerintahan. Di tengah semua ini ada perbudakan yang menjadi pemicu terpenting eskalasi ketegangan, dan pada akhirnya menyulut perang saudara.
 
Segera setelah perang, konflik politik paling berdarah dalam sejarah AS muncul, dan Abraham Lincoln, James Garfield, serta William McKinley, tiga Presiden AS, dalam waktu hanya 35 tahun diteror di masa pemerintahannya. Di saat yang sama, bentuk-bentuk lain kekerasan juga meningkat di akhir Abad-19 dan awal Abad-20.
 
Jeff Goodwin, pengajar di Universitas New York, setelah mengutip satu per satu kekerasan ini berargumen bahwa kekerasan dalam atmosfer politik AS terus mengalami pertumbuhan. Terkait alasan dari level kekerasan ini, Goodwin menjelaskan, “Untuk sekian dekade, ketidkadilan tidak sebanyak sekarang. Masyarakat khususnya kelas pekerja, marah. Akan tetapi kondisi ini tidak hanya dirasakan oleh mereka, dan sejak beberapa dekade lalu, sayap kanan ekstrem tidak pernah sekuat sekarang.”
 
Christian Davenport, dosen ilmu politik Universitas Michigan, dan peneliti di Peace Research Institute Oslo (PRIO), meyakini bahwa peran pemerintah dalam kajian-kajian terkait fenomena kekerasan politik lebih sedikit mendapat perhatian. Ia percaya memusatkan perhatian berlebihan pada peran pemain-pemain non-pemerintah, menghambat upaya-upaya mengatasi pembungkaman yang dilakukan pemerintah.
 
Ia memperingatkan, “Orang-orang di AS tidak boleh menerima dengan mudah bahwa hanya kekerasan politik non-pemerintah yang mengalami peningkatan. Mereka harus ingat bahwa pemerintah-pemerintah mereka lebih banyak dalam upaya memprovokasi dan menyebarluaskan ketidakadilan bermuatan kekerasan, terorisme, dan pemberontakan, dan hal itu dilakukan dalam kerangka upaya mengontrol wilayah kekuasaan.”
 
Dosen Universitas Michigan ini menegaskan, “Jika kita menerima bahwa pemerintahan-pemerintahan tidak punya motivasi yang cukup untuk mendorong orang-orang ke arah kekerasan, maka saat itu kita akan menjadi warga yang lebih waspada. Orang-orang yang menuntut bukti, dan meluangkan waktu untuk mengevaluasi peristiwa-peristiwa, akan melangkah secara sadar sehingga semua pejabat terkait bertanggung jawab.” (HS)