Mengapa Dakwaan ICC terhadap Trump Menjadi Mimpi Buruk Bagi Gedung Putih?
https://parstoday.ir/id/news/world-i182038-mengapa_dakwaan_icc_terhadap_trump_menjadi_mimpi_buruk_bagi_gedung_putih
Pars Today - Gedung Putih khawatir tentang penerbitan dakwaan terhadap Trump oleh Mahkamah Pidana Internasional.
(last modified 2025-12-11T08:08:19+00:00 )
Des 11, 2025 15:06 Asia/Jakarta
  • Mahkamah Pidana Internasional
    Mahkamah Pidana Internasional

Pars Today - Gedung Putih khawatir tentang penerbitan dakwaan terhadap Trump oleh Mahkamah Pidana Internasional.

Menurut Pars Today, Reuters melaporkan bahwa Gedung Putih telah berkonsultasi dengan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk mencegah penuntutan terhadap Presiden AS. Gedung Putih sangat khawatir tentang penerbitan dakwaan terhadap Donald Trump setelah masa jabatannya sebagai presiden berakhir pada tahun 2029 dan karena alasan ini ingin mengubah Statuta Roma untuk memberikan kekebalan hukum bagi pejabat Amerika.

Washington telah memperingatkan bahwa jika Mahkamah Pidana Internasional tidak setuju untuk tidak melanjutkan kasus terhadap Trump atau pejabat senior pemerintahannya, mereka akan menjatuhkan sanksi baru kepada pengadilan ini. Serangan terhadap Iran, Somalia, Yaman, Karibia, dan dukungan senjata untuk Israel termasuk di antara kasus-kasus yang dapat memberikan dasar bagi negara-negara untuk menuntut Trump atas kejahatan perang.

Dalam hal ini, pemerintah AS telah secara diam-diam menghubungi Mahkamah Pidana Internasional dan mengancam akan menjatuhkan sanksi baru kepada badan internasional tersebut jika pengadilan mencoba untuk menuntut Presiden AS Donald Trump atas kemungkinan kejahatan. Washington telah memberitahukan hal ini kepada para anggota pengadilan, termasuk beberapa sekutu AS. Karena AS bukan pihak dalam Statuta Roma, dan ICC hanya dapat mengadili kepala negara dalam keadaan darurat.

Pemerintahan Trump sebelumnya telah memberikan sanksi kepada beberapa pejabat Pengadilan Pidana Internasional karena mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Perang Israel Yoav Galant, yang dituduh melakukan kejahatan perang dan genosida di Gaza.

Pada awal Juni 2025, AS mengumumkan bahwa mereka telah memberikan sanksi kepada empat hakim Pengadilan Pidana Internasional atas partisipasi mereka dalam mengambil tindakan terhadap kejahatan Israel dan mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk pejabat Israel.

Presiden AS Donald Trump juga mengambil sikap baru dengan mengancam Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk menghentikan penyelidikannya terhadap rezim Zionis dan Amerika Serikat. Trump mengancam bahwa ia tidak akan mengizinkan tentara Israel atau Amerika yang bertempur di garis depan untuk diadili di pengadilan ini.

Gedung Putih mengumumkan bahwa jika ICC tidak memenuhi tuntutan Trump, ICC akan menghadapi sanksi berat yang akan secara signifikan merusak kemampuan pengadilan dan para hakimnya untuk melanjutkan pekerjaan mereka. Pada saat yang sama, Gedung Putih kini khawatir lembaga ini akan mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Trump atas kejahatan perang.

Tampaknya kemungkinan dikeluarkannya surat perintah penangkapan terhadap Donald Trump oleh ICC dipandang sebagai mimpi buruk politik dan hukum bagi Gedung Putih karena dapat memiliki konsekuensi yang luas bagi posisi AS dalam sistem internasional, hubungan diplomatik, dan bahkan legitimasi domestiknya.

Pertama-tama, perlu dicatat bahwa Amerika Serikat bukanlah pihak dalam Statuta Roma, dokumen yang membentuk ICC. Ini berarti Washington tidak mengakui yurisdiksi pengadilan dan selalu berusaha melindungi warga negara dan pejabatnya dari penuntutan internasional. Namun, pengadilan dapat mengambil tindakan terhadap kepala negara dalam keadaan tertentu, terutama ketika tuduhan kejahatan perang, genosida, atau kejahatan terhadap kemanusiaan diajukan.

Dalam kasus Trump, beberapa tindakan militer dan politiknya di berbagai belahan dunia, termasuk partisipasi dengan rezim Zionis dalam serangan terhadap Iran, serangan AS terhadap Somalia, Yaman, dan dukungan senjata untuk Israel guna membantu genosida di Gaza, dapat menjadi dasar untuk mengajukan pengaduan dan penuntutan.

Dari perspektif politik, mengeluarkan putusan seperti itu akan menjadi pukulan serius bagi kredibilitas Amerika. Washington selalu menampilkan dirinya sebagai pembela hak asasi manusia dan tatanan internasional, tetapi jika presidennya dikenai penangkapan internasional, citra ini akan sangat rusak.

Dalam keadaan seperti itu, sekutu AS juga akan menghadapi situasi yang sulit, yaitu mempertahankan hubungan strategis dengan Washington dan, di sisi lain, memenuhi kewajiban hukum dan moral kepada Mahkamah Pidana Internasional. Situasi ini dapat menciptakan celah dalam aliansi tradisional AS dan mengurangi kepercayaan global terhadap kepemimpinan negara tersebut.

Dari perspektif hukum, Gedung Putih khawatir bahwa penerbitan surat perintah penangkapan terhadap Trump dapat menjadi preseden yang berbahaya. Jika Pengadilan dapat menuntut Presiden AS, ada kemungkinan pejabat AS lainnya juga akan menghadapi ancaman serupa di masa mendatang.

Karena alasan ini, pemerintah AS telah menghubungi Pengadilan dan bahkan mengancam akan menjatuhkan sanksi kepada lembaga peradilan internasional ini. Reaksi seperti itu menunjukkan bahwa Washington lebih khawatir daripada hal lain tentang kehilangan kekebalan tradisional para pejabatnya dari penuntutan internasional.

Dari perspektif domestik, ini juga dapat memiliki konsekuensi serius. Trump bukan hanya presiden saat ini tetapi juga tokoh yang sangat berpengaruh dalam politik domestik AS. Penerbitan surat perintah penangkapan terhadapnya dapat semakin memperburuk politik domestik, mengadu domba lawan dan pendukungnya, dan bahkan mempertanyakan legitimasi lembaga politik Amerika.

Terakhir, mimpi buruk Gedung Putih dapat dimengerti mengingat bahwa surat perintah penangkapan ICC untuk Trump tidak hanya akan menjadi krisis hukum tetapi juga krisis politik dan diplomatik yang besar.

Surat perintah penangkapan tersebut dapat memaksa Amerika Serikat untuk memilih antara membela presidennya dan menjaga hubungan internasional. Situasi seperti itu akan sangat sulit dan mahal bagi negara yang menganggap dirinya sebagai kekuatan terkemuka di dunia.(sl)