Shutdown Pemerintah AS, Gejala Kuat Senjakala Imperium Renta
Kekaisaran tumbang bukan karena kekalahannya di medang perang. Mereka tumbang karena kehabisan alasan untuk tetap ada.
Oleh; Purkon Hidayat
Ada paradoks menusuk mata dari negeri yang "Merasa Maha" bernama Amerika Serikat. Negara dengan ekonomi terbesar di dunia, militer terkuat di planet ini, dan pengaruh politik yang menjangkau setiap benua, tiba-tiba lumpuh karena gagal menyetujui anggaran. Shutdown kembali menghantam Washington. Pegawai federal tak dibayar, kantor pemerintahan tutup, dan roda birokrasi berhenti berputar. Ini bukan kali pertama terjadi.
Di balik drama teknis itu, dunia melihat sesuatu yang lebih dalam: raksasa ini mulai kehabisan napas. Shutdown bukan sekadar gangguan administratif, tapi sinyal kuat bahwa imperium Amerika telah renta menuju senjakalanya secara fiskal, moral, dan ideologis. Sejak Perang Dunia II, Amerika Serikat membangun dirinya di atas dua pilar: dolar dan militer. Pertama mencetak kepercayaan, yang lain memaksakannya. Selama puluhan tahun, Amerika Serikat mendikte dunia dengan kekuatan finansial dan senjata, menanam pangkalan di tujuh puluh negara, dan mendanai perang demi mengibarkan "bendera demokrasi". Namun imperium yang terlalu besar akhirnya menanggung beban yang terlalu berat.
Hari ini, Amerika menghabiskan lebih dari 800 miliar dolar per tahun untuk anggaran pertahanannya. Namun di dalam negeri, utang publik menembus rekor, infrastruktur menua, dan sistem sosial melemah. Negara yang membiayai perang di luar negeri, kini kesulitan membayar pegawainya sendiri. Kekuatan global yang dulu menjadi kebanggaan, kini berubah menjadi beban ekonomi yang menggerogoti jantungnya sendiri. Amerika tampak tidak bisa hidup tanpa perang. Setiap kali dunia mulai tenang, Washington menemukan alasan baru untuk menyalakan api. Ia bicara tentang kebebasan di Irak, tapi meninggalkan reruntuhan dan kekacauan. Menegakkan demokrasi di Afghanistan, tapi meninggalkan kekosongan. Mendukung 'perdamaian' di Gaza, tapi mempersenjatai penindasan.
Perang telah menjadi bahasa diplomasi, dan militerisme menjadi candu yang menenangkan rasa takut kehilangan pengaruh. Semakin besar kekuatan senjatanya, semakin dalam rasa tidak aman di dalam dirinya. Sejarah menyebut gejala ini imperial overstretch, ketika ambisi global melampaui kemampuan domestik untuk menanggungnya. Di titik ini, imperium mulai menua: kuat di otot, tapi lemah di jantung. Shutdown hanyalah gejala dalam negeri, tapi getarannya terasa global. Bagaimana dunia bisa percaya pada 'penjaga stabilitas' yang tak mampu menjaga stabilitasnya sendiri? Bagaimana kekuatan yang berbicara tentang disiplin fiskal bisa menutup pemerintahannya karena gagal mengatur uangnya sendiri? Dan bagaimana bangsa yang mengajarkan hak asasi manusia terus memveto resolusi kemanusiaan di Gaza?
Amerika tidak lagi dilihat sebagai pemimpin moral, melainkan sebagai negara yang hidup dari reputasi masa lalu. Sekutunya mulai ragu, dan lawannya semakin berani. Publik dunia menyadari bahwa kekuatan ini lebih sibuk mempertahankan citra daripada nilai. Kebuntuan di Kongres AS bukan sekadar perang ideologi. Ia cermin dari sistem politik yang kehilangan kemampuan berkompromi. Dua partai besar kini lebih sibuk menyalahkan daripada memerintah. Yang satu ingin memotong pajak sambil memperbesar anggaran militer, yang lain ingin memperluas bantuan sosial tapi takut mengurangi perang. Akhirnya, negara berhenti di tengah jalan, seperti mesin besar yang kehilangan koordinasi antara otak dan tangannya.
Shutdown adalah metafora paling jujur tentang Amerika hari ini: terlalu kuat untuk runtuh, tapi terlalu kacau untuk memimpin. Sebuah kekaisaran yang berjalan otomatis tanpa tahu arah, hanya karena tak ada yang berani menekan tombol 'berhenti.' Tampaknya, yang paling mengancam Amerika bukanlah defisit fiskal, melainkan defisit makna. Negara ini kehilangan alasan moral untuk mendominasi dunia. Kekuatan ekonomi dan militernya masih ada, tapi keyakinan yang menopangnya telah hilang. Kemenangan politik luar negeri kini terasa hampa, dan prestasi militer tak lagi diterjemahkan menjadi prestise moral.
Ketika sebuah negara terus berbicara tentang kebebasan, tapi menolak menegakkan keadilan, ia kehilangan legitimasi. Ketika kekuasaan bertahan hanya karena kebiasaan, bukan keyakinan, itulah tanda-tanda sebuah imperium yang menua. Di tengah kekacauan ini, mungkin Donald Trump masih terus sesumbar dengan menyalahkan presiden-presiden sebelumnya, menuding Cina, Venezuela, atau Iran sebagai biang keladi semua persoalan Amerika. Namun yang sering luput ia sadari bahwa dirinyalah bagian dari masalah itu sendiri. Trump mewariskan kepada bangsanya politik kemarahan, kebanggaan kosong, dan narsisme nasional yang menolak refleksi.
Paradoks itu terangkum dalam slogannya yang terkenal: 'Make America Great Again.' Kalimat yang tampak patriotik itu dicetak di topi-topi dan kaus yang sebagian besar justru diproduksi di pabrik-pabrik Cina.Negara yang ia tuduh sebagai musuh utama Amerika. Simbol yang seharusnya memulihkan martabat bangsa, akhirnya justru menjadi cermin dari ketergantungan dan kebingungan identitas Amerika sendiri.
Trump bukan sekadar tokoh politik; ia metafora dari imperium yang menua, masih lantang berteriak tentang kebesaran, tapi hidup dari ilusi masa lalu. Ketika bangsa besar mulai percaya pada slogan lebih dari substansi, itulah saat sejarah mulai menurunkan tirainya. Shutdown ini akan berakhir, tentu saja. Kongres AS akan berunding, anggaran akan disetujui, dan mesin birokrasi akan hidup lagi. Tapi luka simboliknya tak akan sembuh cepat. Dunia telah melihat celah di jantung kekuasaan Amerika bahwa di balik retorika tentang kepemimpinan global, tersimpan kelelahan dan kebingungan.
Kekuatan yang dulu dianggap tak tergantikan kini tampak rapuh. Ia masih bisa menggertak, tapi tidak lagi menginspirasi. Masih bisa menaklukkan, tapi tidak lagi diyakini. Dan mungkin, sejarah sedang berulang: imperium yang gagal belajar berhenti, akhirnya berhenti karena tak lagi punya alasan untuk berjalan.(PH)