Syuhada Agresi Rezim Zionis terhadap Iran
Kesyahidan di Hari Keempat Pernikahan
Hanya tiga hari telah berlalu sejak awal kehidupan penuh cinta mereka di bawah satu atap; sepasang pengantin yang seharusnya pada 20 Juni memulai hidup baru setelah upacara pernikahan, namun dengan pecahnya perang 12 hari, mereka memutuskan untuk memulai kehidupan bersama tanpa pesta meriah.
Pada pagi hari Senin, 2 Tir (23 Juni), Abulfazl Baroutchi menyerahkan rumah dan kehidupannya kepada Tuhan, lalu berangkat ke tempat kerja untuk membela keyakinannya. Perpisahan pagi antara pengantin pria dan wanita itu menjadi pertemuan terakhir mereka. Hari itu juga, dalam serangan udara Israel terhadap Markas Basij Mustadhafin, sang suami syahid.
Menurut laporan Pars Today, setahun sebelumnya, pada awal bulan Shahrivar (sekitar Agustus), keduanya diperkenalkan satu sama lain. Setelah proses lamaran dan hubungan antarkeluarga, keduanya perlahan jatuh cinta.
Hanieh Ahrabi, istri berusia 27 tahun dari syahid Abulfazl Baroutchi, menceritakan bahwa bukan hanya ia dan Abulfazl, tetapi juga kedua keluarga mereka memiliki kesamaan dalam keyakinan, akhlak, dan gaya hidup.
Ia berkata: “Semakin lama kami mengenal, semakin kami sadar betapa miripnya kami. Abulfazl berusia 31 tahun. Sejak kecil ia aktif di Basij dan Masjid Ali ibn Musa al-Ridha di kawasan Shamsiri. Ia menempuh pendidikan universitas di bidang Fiqh dan Hukum. Ia pernah bekerja di kejaksaan, lalu di bagian hukum sebuah perusahaan swasta, dan akhirnya — karena cintanya untuk mengabdi — setelah melalui seleksi berat, ia bergabung dengan bagian Deputi Kebudayaan di Organisasi Basij Mustadhafin.”
Ahrabi menggambarkan awal kehidupan rumah tangga mereka sebagai berikut, “Setelah sembilan bulan bertunangan, kami telah menyiapkan seluruh keperluan pernikahan — gedung resepsi, gaun pengantin, setelan jas, sepatu, dan bunga tangan; semuanya sudah lengkap. Namun ketika perang dan kekacauan terjadi, kami berdua memutuskan untuk mengadakan upacara kecil setelah perang berakhir. Kami tetap melangsungkan pernikahan pada tanggal yang telah ditetapkan dan memulai kehidupan bersama tanpa pesta khusus. Di malam-malam pemboman, tanpa sedikit pun keputusasaan, kami menyiapkan rumah dengan penuh iman kepada Tuhan. Tapi kehidupan pernikahan kami tak bertahan lebih dari tiga hari; Abulfazl gugur pada hari Senin, 2 Tir — tepat di hari keempat pernikahan kami.”
“Ia sangat bertanggung jawab, pekerja keras, dan penuh semangat untuk mengabdi,” ujar Hanieh.
“Ia selalu ingin menjadi sarana pertolongan bagi orang lain. Meskipun ia sedih karena kondisi perang yang membuat awal pernikahan kami seperti itu, ia terus menenangkan saya dan berkata: ‘Jangan khawatir, Tuhan Maha Besar, semuanya akan baik-baik saja.’ Suatu hari, saat kami berbicara tentang membela negara, ia berkata, ‘Jika bukan kita yang pergi, siapa lagi yang akan membela tanah air?’”
Hanieh, yang telah bekerja sebagai guru selama sepuluh tahun, dengan suara tenang dan penuh keyakinan menyebut kesyahidan suaminya sebagai “karunia Ilahi”: “Malam itu, ketika saya tiba di rumah keluarga suami, saya menerima kabar kesyahidannya. Suami saya pergi agar rumah semua calon pengantin tetap aman. Saya yakin bahwa syahid adalah takdir dari kehidupan kami.”(PH)