Tantangan Macron ke Beijing: Mendekatkan Posisi Tiongkok dengan Eropa
-
Pertemuan Emmanuel Macron dan Xi Jinping
Pars Today - Presiden Prancis Emmanuel Macron hari Rabu (03/12/2025) memulai kunjungan resmi ke Tiongkok, dengan harapan dapat mendekatkan posisi Eropa dan Tiongkok terkait perang Ukraina, mineral langka, serta perdagangan.
Menurut laporan IRNA yang mengutip majalah ekonomi Prancis Les Échos, Macron melakukan kunjungan dua hari ke Beijing, yang merupakan kunjungan keduanya sejak 2023. Ia memiliki waktu kurang dari tiga hari untuk meyakinkan dan sejauh mungkin memengaruhi posisi Tiongkok.
Dalam kunjungan ini, Macron didampingi enam menteri dan sekitar 40 pimpinan bisnis serta industri, dengan harapan memperoleh jaminan dari Beijing mengenai isu-isu seperti perang Ukraina, pasokan mineral langka, dan surplus industri Tiongkok.
Ini adalah kunjungan resmi kedua Macron ke Tiongkok setelah tahun 2023, sekaligus kunjungan keempat sejak ia berkuasa pada 2017. Xi Jinping, Presiden Tiongkok, juga pernah berkunjung ke Prancis pada musim semi 2024.
Macron ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk membangun kembali jembatan dan mendamaikan posisi setelah perpecahan akibat pandemi COVID-19 dan perang Ukraina, yang telah menempatkan Tiongkok dan Eropa pada posisi berlawanan.
Kembalinya Donald Trump ke tampuk kekuasaan pada awal 2025 dengan kebijakan perdagangan globalnya menambah ketegangan bagi Eropa.
Eropa yang semula berharap dapat memanfaatkan perang dagang Tiongkok–Amerika untuk mempererat hubungan politik dengan Beijing, justru mendapati dirinya menjadi pasar dengan 450 juta konsumen bagi ekspor besar-besaran Tiongkok, sekaligus menjadi sasaran pembatasan mendadak atas mineral langka.
Perang Ukraina dan Posisi Tiongkok
Kunjungan Macron berlangsung di tengah upaya Eropa menekan Amerika Serikat, yang mengajukan rencana perdamaian untuk Ukraina yang dinilai lebih menguntungkan Rusia. Tiongkok, sekutu geopolitik terbesar Rusia dan pendukung utama dalam perang ini, tetap memberikan dukungan finansial, terutama melalui pembelian minyak.
Dalam konteks ini, Macron akan kembali berusaha meyakinkan Xi Jinping agar menekan Rusia menuju gencatan senjata. Namun Paris realistis, karena Tiongkok sejauh ini tidak menunjukkan keinginan untuk meninggalkan sekutunya tersebut.
Defisit Perdagangan 306 Miliar Euro
Les Échos juga menyoroti surplus industri Tiongkok sebagai tantangan lain bagi Macron. Menurut laporan Komisi Eropa, sejak 2015 defisit perdagangan Uni Eropa dengan Tiongkok meningkat empat kali lipat dalam volume dan dua kali lipat dalam nilai, mencapai hampir 306 miliar euro pada tahun lalu.
Dengan lemahnya permintaan domestik dan persaingan ketat di dalam negeri, produsen Tiongkok secara masif mengekspor ke Eropa, satu-satunya pasar yang cukup besar dan matang untuk menyerap teknologi baru Tiongkok, terutama setelah pasar Amerika Utara menutup diri bagi perusahaan dari ekonomi terbesar kedua dunia itu.
Sebagai respons, Uni Eropa memberlakukan tarif, khususnya terhadap mobil listrik asal Tiongkok. Beijing segera membalas dengan menargetkan produk Eropa, terutama bahan pangan.
Seorang sumber dekat Presiden Prancis menyatakan, “Menyeimbangkan kembali membutuhkan langkah defensif. Kita tidak bisa terus membeli produk bersubsidi yang diproduksi dalam kondisi tidak stabil bagi perusahaan Eropa.”
Namun dari perspektif pemerintah Prancis, mengurangi defisit perdagangan terutama bergantung pada reindustrialisasi negara, meski harus memanfaatkan teknologi Tiongkok.
Dalam pernyataan resmi, Istana Kepresidenan Prancis menegaskan, “Saat ini Tiongkok memiliki teknologi canggih yang dapat dibagikan dengan mitra terpercaya, khususnya Eropa.”(sl)