Nasib JCPOA di Tengah Rongrongan AS
https://parstoday.ir/id/news/world-i54624-nasib_jcpoa_di_tengah_rongrongan_as
Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Nikki Haley dalam sebuah kuliah umum di Duke University dengan tema “Confronting Today’s Global Governance Challenges,” kembali menyatakan penentangan terhadap kesepakatan nuklir Iran atau JCPOA.
(last modified 2025-10-07T09:39:18+00:00 )
Apr 07, 2018 14:23 Asia/Jakarta
  • Presiden Donald Trump dan Nikki Haley.
    Presiden Donald Trump dan Nikki Haley.

Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Nikki Haley dalam sebuah kuliah umum di Duke University dengan tema “Confronting Today’s Global Governance Challenges,” kembali menyatakan penentangan terhadap kesepakatan nuklir Iran atau JCPOA.

Ia bahkan bangga karena pemerintahan Presiden Donald Trump merongrong kesepakatan tersebut.

"Kami bekerja dengan sekutu Eropa kami untuk memperkuat kesepakatan dan mendesak Iran untuk menjelaskan 'dukungannya terhadap terorisme regional,'" kata Haley.

Dia menambahkan Eropa dapat mempertahankan kesepakatan itu untuk dirinya, tetapi AS akan mengembalikan sanksi-sanksi Iran.

Padahal, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Federica Mogherini dan Menteri Luar Negeri Jepang Taro Kono dalam pembicaraan telepon, Jumat (6/4/2018) menekankan komitmen semua pihak terhadap kesepakatan nuklir Iran dan pentingnya melaksanakan JCPOA.

Uni Eropa menyatakan pembatalan JCPOA akan merugikan semua pihak dan tidak ada yang diuntungkan. Pandangan anggota lain peserta perundingan nuklir juga benar-benar berlawanan dengan sikap Trump. Rusia dan Cina juga menentang upaya revisi kesepakatan nuklir Iran.

Para pihak peserta perundingan nuklir Iran.

Pada Januari lalu, Trump meminta Kongres AS dan Eropa untuk memperbaiki apa yang disebut Washington 'kekurangan JCPOA' sebelum batas waktu perpanjangan penangguhan sanksi (12 Mei 2018), jika tidak ada perubahan, AS akan keluar dari JCPOA.

Senator Demokrat, Chris Murphy dalam sebuah program di televisi Fox News, menanggapi retorika Trump terhadap Tehran dengan mengatakan, "Iran sedang melaksanakan kesepakatan nuklir dan tidak ada peluang untuk negosiasi ulang."

Sejak awal, Iran tampil sebagai pihak yang bisa dipercaya dalam implementasi JCPOA, dan hal ini diperkuat dengan perilisan 10 laporan oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA) tentang kepatuhan Tehran.

Dalam kondisi seperti ini, AS akan kehilangan banyak keuntungan jika keluar secara sepihak dari JCPOA. Oleh karena itu, Trump ingin mengulur-ulur waktu dan kemungkinan mendapatkan konsesi dari pihak lain peserta perundingan nuklir.

Upaya AS merusak kesepakatan nuklir memiliki dua tantangan serius. Pertama, tidak ada konsensus dan persetujuan dengan kebijakan absurd Washington dan terisolasinya negara itu di forum-forum global. Kedua, karena kemampuan Iran untuk membalas setiap tindakan bermusuhan serta tidak tunduk pada tekanan dan ancaman AS.

Dalam hal ini, pakar masalah internasional, Hossein Kashani menuturkan, "Jika AS keluar dari kesepakatan nuklir, negara itu masih tetap berkewajiban melaksanakan kesepakatan internasional dan resolusi Dewan Keamanan PBB."

"JCPOA sebenarnya adalah lampiran A resolusi 2231 Dewan Keamanan, dan menjadi bagian integral dari resolusi ini, sesuai dengan hukum internasional," tambahnya.

Namun, Trump telah memperlihatkan perilaku yang tidak bisa ditebak dalam berurusan dengan perjanjian internasional selama satu tahun terakhir. JCPOA mungkin juga akan mendapat perlakuan serupa. (RM/PH)