Des 25, 2018 17:43 Asia/Jakarta
  • Sergei Ryabkov, Deputi Menteri Luar Negeri Rusia
    Sergei Ryabkov, Deputi Menteri Luar Negeri Rusia

Amerika Serikat bersama sekutu Barat dan Arabnya Sejak 2011 telah memberikan dukungan besar-besaran terhadap kelompok-kelompok teroris di Suriah untuk menggulingkan pemerintahnya yang sah. Kemudian sejak pertengahan 2014, kebijakan ini telah dilanjutkan dengan membentuk koalisi yang diistilahkan anti-Daesh (ISIS), dimana pasukan AS hadir langsung di sejumlah daerah Suriah untuk membantu sekutu Washington di negara itu.

Namun, beberapa masalah, seperti kegagalan Washington untuk memenuhi tujuan yang dimaksudkan di Suriah, serta tingginya biaya mengelola dan mempertahankan pasukan serta yang paling penting, pendekatan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk mengurangi kewajiban regional negaranya dan menyerahkannya kepada sekutu-sekutunya, menyebabkan ia memerintahkan penarikan pasukan AS dari Suriah. Donald Trump di laman Twitternya pada Senin malam (24/12) mengklaim Arab Saudi telah setuju untuk membayar biaya rekonstruksi Suriah dan bukan Amerika Serikat.

Namun, tindakan Trump menarik pasukan Amerika Serikat dari Suriah mendapat reaksi negatif dari para pejabat AS, politisi dan ahli strategi. Secara khusus, Menteri Pertahanan James Mattis dalam surat yang mengutuk keputusan Trump ini dan mengumumkan pengunduran dirinya, meskipun ia terpaksa menarik pasukan pasukan AS dari Suriah dan menandatangani perintahnya secara resmi pada hari Ahad (23/12). Dari perspektif politisi AS, tindakan Trump ini merugikan kepentingan strategis Washington di kawasan dan akan menyebabkan ketidakpercayaan dan kekecewaan di antara sekutu AS.

Donald Trump, Presiden Amerika Serikat

Terlepas dari perkembangan ini, Rusia sebagai salah satu aktor utama di arena Suriah mencurigai apa yang dilakukan Trump. Sergei Ryabkov, Deputi Menteri Luar Negeri Rusia menyuarakan keraguan tentang keseriusan penarikan pasukan AS dari Suriah pada hari Senin.

Rabkov mengatakan, "Pemerintah Amerika Serikat menganggap perlu untuk mempertahankan kehadiran militernya di negara Arab ini untuk melindungi kepentingannya. Moskow percaya bahwa ada ribuan alasan dan hal-hal lain di Amerika Serikat untuk meninjau kembali keputusan penarikan pasukan Amerika dari Suriah. Mengingat pengalaman masa lalu, hampir tidak mungkin untuk mengkonfirmasi niat Amerika Serikat untuk meninggalkan Suriah.

Dari sudut pandang Moskow, mengingat kepentingan dan tujuan regional Amerika Serikat, tampaknya tidak mungkin negara itu mau meninggalkan semua itu dan tiba-tiba meninggalkan Suriah. Selama beberapa bulan terakhir, sejumlah pejabat senior AS mengatakan bahwa misi militer AS di Suriah akan tetap berlanjut. Mereka mengatakan bahwa misi tersebut akan diseimbangkan sebagai akibat dari berakhirnya konflik dengan Daesh dan akan terus melawan pengaruh Iran yang semakin besar di Suriah. Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton adalah pendukung cara pandang ini, begitu juga James Jeffrey, utusan khusus AS untuk Suriah.

Bolton secara eksplisit mengumumkan pada akhir Agustus 2018, "Tujuan kami adalah mengembalikan semua pasukan Iran dari Suriah ke Iran." Utusan khusus Amerika Serikat untuk urusan Suriah, James Jeffrey juga mengatakan bahwa Washington akan terus hadir di Suriah sampai Iran dan milisi yang didukung Tehran telah meninggalkan Suriah.

Sikap ini tentu saja sangat bertentangan dengan pengumuman Trump. Meskipun dalih awal untuk kehadiran militer AS di Suriah adalah perang melawan Daesh, masalah menghadapi kehadiran Iran dan sekutunya di Suriah juga menjadi agenda Washington. Pertanyaan yang sama telah menimbulkan keraguan Rusia tentang kejujuran orang Amerika soal meninggalkan Suriah.

Mohammad Javad Zaif, Menteri Luar Negeri Iran

Namun, Iran percaya bahwa Amerika Serikat berbohong tentang perang melawan Daesh. Menurut Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif, "Amerika Serikat tidak pernah berperang dengan Daesh dan kehadirannya di Suriah tidak menguntungkan bangsa negara ini atau para penentang pemerintahnya."

Tags