AS Tinjauan dari Dalam 13 Juni 2020
(last modified Sat, 13 Jun 2020 07:03:33 GMT )
Jun 13, 2020 14:03 Asia/Jakarta
  • Patung Colombus di Boston
    Patung Colombus di Boston

Dinamika Amerika Serikat pekan ini diwarnai dengan aksi demo di berbagai negara bagian memprotes diskriminasi rasial dan tewasnya George Floyd, warga kulit hitam di tangan perwira polisi kulit putih.

Selain itu, sikap dan ancaman Presiden Trump terhadap demonstran dan berbagai peristiwa lainnya.

Demonstran AS Potong Kepala Patung Christopher Columbus

Para demonstran anti-rasis Amerika Serikat memotong kepala patung Christopher Columbus di kota Boston.

Image Caption

Fars News (11/6/2020) melaporkan, kepolisian kota Boston, negara bagian Massachusetts Amerika mengumumkan, kepala patung tokoh yang dianggap sebagai penemu Amerika, Christopher Columbus pada hari Rabu (10/6) dipotong oleh sebagian demonstran anti-rasis.

Seperti ditulis kantor berita Perancis, para demonstran anti-rasis Amerika ingin menghancurkan semua patung dan simbol-simbol perbudakan serta penjajahan di negara itu.

Patung Christopher Columbus di kota Richmond, negara bagian Virginia juga dirusak oleh para demonstran anti-rasis beberapa hari lalu.

Trump Lecehkan para Demonstran

Presiden Amerika Serikat Donald Trump seraya merilis cuitan di Twitter telah mengobarkan api perpecahan di negara ini.

Seperti dilaporkan IRIB, Donald Trump Kamis (11/6/2020) seraya merilis pesan Twitter terkait demonstrasi anti rasisme dan kekerasan polisi di kota Seattle, Washington DC menyebut, walikota dan gubernurnya sampah dan tak berguna serta menambahkan, kerusuhan ini harus segera dihentikan.

Image Caption

Aksi protes menentang ketidakadilan dan rasisme diseluruh Amerika serta sejumlah negara dunia setelah lebih dari dua pekan dari kematian George Floyd, warga kulit hitam Amerika di tangan polisi kulit putih masih terus berlanjut.

Petinggi Amerika berulang kali mengkritik sikap Donald Trump terkait protes di negara ini dan mengatakan, Trump dengan statemennya malah mengobarkan perpecahan.

Wali Kota Seattle: Trump Tidak Paham Masalah Kami !

Wali kota Seattle mengkritik pernyataan presiden AS tentang pengiriman pasukan untuk memberangus protes anti-rasisme di wilayahnya, dan menyebut Trump tidak memahami masalah sebenarnya yang dihadapi warga AS saat ini.

"Trump berada di jalur yang salah dan tidak paham masalah sebenarnya," kata Jenny Durkan Kamis malam.

"Mendengar suara masyarakat bukanlah kelemahan," tegas wali kota Seattle.

Durkan menilai bahwa presiden AS tidak mengerti apa yang terjadi di kota Seattle dan berbagai kota lain di AS yang dilanda aksi protes massa menentang rasisme setelah kematian George Floyd.

"Kami menuntut keadilan. Kami percaya sedang berada di garis depan dari perubahan yang nyata dan bermakna," papar Durkan sembari mengkritik langkah presiden AS.

Ia menentang keras pernyataan Trump mengenai pengiriman pasukan untuk menindak para pengunjuk rasa, dan memandangnya keliru.

"Sebagaimana yang saya katakan di depan publik sebelumnya, pengiriman pasukan ke Seattle adalah langkah ilegal serta inkonstitusional, dan kami tidak akan membiarkan hal itu terjadi," jelas wali kota Seattle ke-56 ini.

Sebelumnya, muncul pernyataan dari sekelompok pengunjuk rasa anti-rasisme yang menyebut daerah Seattle sebagai wilayah otonomi Capitol Hill.

Trump berang menanggapi statemen tersebut, dan segera mengarahkan telunjuknya ke arah wali kota Seattle dengan menyebutnya lemah.

"Jika Anda tidak sanggup mengatasi protes massa, saya akan mengambil tindakan," kata Trump.

Pada Senin (1/6/2020) Trump mengancam akan mengerahkan militer jika para gubernur dan wali kota tidak mengambil langkah darurat untuk mengendalikan unjuk rasa di wilayah mereka.

Presiden Amerika Serikat mengeluarkan perintah penempatan pasukan garda nasional dalam jumlah yang diperlukan untuk mengendalikan situasi dengan bersandar pada undang-undang tahun 1807 mengenai wewenang presiden untuk menangani kekacauan dengan langkah militer.

Pelosi Minta Simbol Rasisme Disingkirkan dari Gedung Kongres AS

Ketua DPR Amerika Serikat, Nancy Pelosi menyerukan penghapusan patung-patung yang menggambarkan rasisme dari gedung Kongres.

Image Caption

Pelosi, seperti dilansir situs Euronews, Rabu (10/6/2020) telah mengirimkan surat kepada Komisi Bersama DPR dan Senat AS yang berwenang mengkaji usulan tersebut.

“Monumen untuk orang-orang yang menganjurkan kekejaman dan barbarisme demi mencapai tujuan yang jelas-jelas rasis adalah penghinaan terhadap cita-cita kita. Patung-patung mereka memberi penghormatan kepada kebencian, bukan warisan kita. Mereka harus disingkirkan,” tegas Pelosi.

Presiden Donald Trump sebelumnya dalam sebuah tweet, menolak mengubah nama-nama pangkalan militer AS yang masih menggunakan nama para jenderal konfederasi dan era perbudakan.

Setelah pecahnya aksi protes menentang rasisme di kota Charlottesville, Virginia pada 2017 lalu, Pelosi telah menyerukan penghapusan patung-patung tersebut dari gedung Kongres, tetapi kubu Republik menentang langkah itu.

Trump tetap bersikeras mempertahankan simbol-simbol rasisme di AS, padahal kasus pembunuhan George Floyd telah memicu unjuk rasa besar-besaran hampir di seluruh wilayah Amerika. Para demonstran menyerang simbol-simbol era konfederasi di beberapa kota.

Saudara Floyd Desak DPR Perangi Diskriminasi Etnis di AS

Saudara Georga Floyd, warga kulit hitam yang dibunuh polisi kulit putih Amerika menuntut langkah DPR melawan ketidakadilan dan diskriminasi etnis khususnya di sektor penerapan hukum negara ini.

Seperti dilaporkan laman The Hill, Philonise Floyd Rabu (10/6/2020) saat hadir di DPR meminta komisi hukum DPR AS mengambil langkah-langkah untuk mengakhiri ketidakadilan di sistem peradilan dan ketidaksetaraan rasial di Amerika Serikat.

Philonise Floyd di komisi ini menekankan pentingnya menjalankan keadilan terkait kasus pembunuhan saudaranya dan mengatakan, George sebelum terbunuh meminta bantuan, tapi permintaannya diabaikan dan ia terbunuh.

Saudara Floyd ini seraya mengisyaratkan pentingnya kehidupannya, warga kulit hitam dan bahkan George, menuntut perhatian atas permintaan dirinya, keluarganya dan tuntutan demonstran di seluruh jalan-jalan di dunia.

Sebelumnya, anggota keluarga George Floyd meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan penyidikan terkait pembunuhan Floyd.

Menyusul pembunuhan sadis Floyd di kota Minneapolis di tangan perwira polisi kulit putih, berbagai kota dan negara bagian Amerika terus dilanda gelombang protes anti rasisme dan kerusuhan di seluruh negara ini pasca pembunuhan Floyd semakin meningkat.

Aksi protes ini juga merembet ke negara-negara Eropa dan negara dunia lainnya seperti Kanada dan Argentina.

Di Amerika, polisi menggunakan metode brutal dan tak manusiawi untuk menumpas demonstran seperti melindas demonstran dengan kendaraan dan menembaki demonstran secara langsung.

Ketua DPR AS Sebut George Floyd, Martir

Ketua DPR Amerika Serikat menyebut warga kulit hitam yang pembunuhan rasialnya oleh polisi negara ini memicu gelombang protes besar di Amerika, sebagai seorang martir.

Fars News (10/6/2020) melaporkan, Nancy Pelosi menyebut kematian George Floyd sebagai kematian seorang martir.

Dalam wawancara dengan stasiun televisi MSNBC, Nancy Pelosi menjelaskan, kematian George Floyd menyulut aksi demonstrasi damai yang menuntut perubahan, karena para demonstran tahu Amerika membutuhkan itu untuk maju.

Ia menambahkan, George Floyd adalah martir, dan kebanggaan keluarganya, dengan kemuliaan dan inspirasinya, mereka menjadi pembimbing kita di era duka ini.

Ketua DPR Amerika melanjutkan, mari kita bersikap optimistis bahwa ruh George Floyd sudah tenang, dan kematiannya menjadi jembatan perdamaian di Amerika.

Gedung Putih: Intelijen AS Gagal Prediksi Tingkat Keseriusan Corona

Penasihat keamanan nasional Gedung Putih mengatakan, komunitas intelijen Amerika Serikat pada bulan Januari 2020 gagal memprediksi tingkat keseriusan pandemi Virus Corona.

Fars News (11/6/2020) melaporkan, Robert O’Brien dalam sebuah wawancara menuturkan, dinas intelijen Amerika gagal memberikan laporan terkait tingkat keseriusan wabah Covid-19.

Surat kabar The Washington Times menulis, lembaga-lembaga intelijen Amerika, pada bulan Januari 2020 tidak berhasil memperkirakan tingkat keseriusan Virus Corona.

Pada laporan pertama tertanggal 23 Januari 2020, komunitas intelijen Amerika untuk Presiden Donald Trump, dan dalam laporan tertanggal 28 Januari 2020, disebutkan bahwa Covid-19 mirip influenza, dan tidak separah virus SARS.

Statemen penasihat keamanan nasional Gedung Putih ini disampaikan padahal Trump sendiri terbukti tidak pernah terlalu menanggapi serius laporan dari dinas intelijen Amerika soal Covid-19.

Trump: Antisipasi Iran, AS Tempatkan 3.600 Tentara di Saudi

Presiden Amerika Serikat dalam suratnya untuk Kongres mengatakan, 3.600 pasukan Amerika ditempatkan di Arab Saudi untuk mengantisipasi serangan Iran.

Fars News (9/6/2020) melaporkan, Donald Trump kepada Kongres menuturkan, saat ini sekitar 3.600 tentara Amerika ditempatkan di Saudi.

Dalam surat itu Trump juga menjelaskan, pasukan Amerika ditempatkan di Saudi untuk menjaga Amerika dan kepentingannya di kawasan dari langkah permusuhan Iran atau kelompok-kelompok dukungannya.

Ia menambahkan, pasukan Amerika ini bekerja atas koordinasi pemerintah kerajaan Saudi, dan untuk memastikan aktivitas sistem pertahanan udara serta rudal, dan mendukung penerbangan jet-jet tempur Amerika. Jumlah total pasukan Amerika di Saudi sekitar 3.600 personil.

 

Tags