Konflik Libya dan Perseteruan Beberapa Negara Pendukung
(last modified 2020-09-07T12:09:34+00:00 )
Sep 07, 2020 19:09 Asia/Jakarta

Dalam perang dan konflik yang melanda Libya saat ini, Perancis menampilkan dirinya sebagai pemain yang dapat diandalkan dan diplomatik. Namun dukungan diam-diamnya terhadap Jenderal Khalifa Haftar telah membuat semua inisiatif perdamaian menjadi sia-sia.

Meskipun menampilkan dirinya sebagai aktor yang dapat diandalkan dan diplomatik di Libya, namun Paris mengejar kepentingan ekonomi dan keamanannya sendiri dengan segala cara.

Seperti dilansir Middle East Eye, sudut baru untuk pembicaraan damai di Libya telah terbuka. Namun Perancis telah melakukan pendekatan tunggal untuk menyingkirkan para pesaingnya dan memposisikan dirinya sebagai perantara kekuasaan dominan di Libya. Paris juga berusaha merusak peran Turki dan mengabaikan kebutuhan mendesak akan persatuan internasional untuk menyelesaikan konflik Libya.

Perancis telah menarik diri dari operasi Angkatan Laut NATO di sepanjang Mediterania Timur dua bulan lalu menyusul penentangan terhadap Turki karena secara efektif menggagalkan kepentingan geopolitik regionalnya.

Dalam pernyataan sebelumnya bersama dengan Italia dan Jerman, Perancis telah menampilkan dirinya sebagai aktor diplomatik netral di Libya dan mengulangi seruan kepada semua aktor Libya untuk kembali ke meja perundingan.

Selama KTT Paris yang bertujuan untuk mencapai solusi politik pada 2018, ada kekhawatiran dari rakyat Libya dan pejabat negara ini bahwa Perancis ingin menggantikan upaya PBB dan mengarahkan pembicaraan damai untuk kepentingannya sendiri.  

Keinginan Paris untuk memposisikan dirinya sebagai kekuatan kebijakan luar negeri yang berpengaruh sudah terlihat sejak awal. Para pengamat berpendapat bahwa salah satu motif mantan Presiden Nicolas Sarkozy untuk mendukung pemberontakan 2011 terhadap Muammar Gaddafi adalah untuk mengembalikan Perancis sebagai kekuatan militer Eropa yang dominan.

Setelah Libya mengalami ketidakstabilan, Perancis mengejar kepentingan ekonomi dan keamanannya sendiri. Mereka mulai mendekati Haftar dan melihatnya sebagai mitra utama untuk menjamin "stabilitas" melawan ekstremisme dan pada akhirnya mengamankan kepentingan ekonomi Perancis, seperti eksplorasi minyak dan operasi produksi Total.

Menurut surat kabar Prancis Le Monde, Prancis telah berulang kali memasok Haftar dengan peralatan dan pelatihan militer, bahkan selama kampanye Tripoli Haftar, yang diluncurkan pada April 2019, rudal Perancis terlihat di antara pasukan Haftar.

Middle East Eye juga mengungkapkan bahwa orang-orang bersenjata dengan paspor Perancis melintasi perbatasan Libya tahun lalu untuk memberikan dukungan logistik kepada Haftar.

Tidak seperti beberapa pendukung Haftar lainnya, termasuk Uni Emirat Arab (UEA) dan Mesir, Perancis telah terlibat hubungan dengan Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) dan Perdana Menteri Fayez al-Sarraj. Namun, hubungan curangnya dengan Haftar bertentangan dengan dukungan yang dinyatakannya untuk inisiatif perdamaian, termasuk Konferensi Berlin bulan Januari, yang dirancang untuk mencapai gencatan senjata dan memberlakukan embargo senjata. Haftar sendiri menolak inisiatif semacam itu, dan dia berusaha menaklukkan Libya dengan kekerasan.

Intervensi Turki sejak awal tahun untuk menopang GNA yang terkepung telah menghancurkan visi Paris untuk Libya. Ankara dan GNA juga menandatangani kesepakatan November lalu, yang memberi Turki izin untuk menjelajahi pantai Libya untuk minyak, sehingga mengancam kepentingan Perancis di Mediterania Timur.

Perancis menyatakan frustrasi atas upaya Turki, dan ketegangan di antara mereka meletus. Angkatan Laut Perancis menyita kapal Turki yang mengirimkan senjata ke GNA pada bulan Maret, sementara Kedutaan Besar Prancis di Yunani menyebut kesepakatan GNA-Turki "tidak valid".

Sekarang, Turki telah melampaui Perancis sebagai aktor eksternal yang dominan di negara itu, dan menghancurkan strategi Perancis. Presiden Prancis Emmanuel Macron telah berulang kali melancarkan serangan verbal terhadap Ankara.

"Saya pikir ini adalah tanggung jawab bersejarah dan kriminal bagi negara yang mengklaim sebagai anggota NATO," ujarnya.

Macron mengklaim seminggu sebelumnya bahwa Turki memainkan "permainan berbahaya" yang "bertentangan dengan semua komitmennya yang dibuat di Konferensi Berlin". Dia menuduh Turki "sangat agresif". (RA)

Tags