Mengapa Uni Eropa Melakukan Tindakan Hukum terhadap Inggris atas Brexit?
Masalah Brexit, keluarnya Inggris dari Uni Eropa telah menjadi tantangan terbesar bagi Inggris sejak Perang Dunia II. Meskipun telah menandatangani perjanjian ini dengan Uni Eropa tentang masalah ini, tapi pemerintah konservatif Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menolak beberapa ketentuannya kemudian memperkenalkan dan menyetujui RUU untuk merevisi perjanjian tersebut. Tentu saja hal ini memicu reaksi negatif dari Brussel.
Komisaris UE Ursula von der Leyen telah mengumumkan tindakan hukum terhadap Inggris karena melanggar ketentuan perjanjian Brexit.
Menurutnya, Komisi Eropa memutuskan untuk mengambil tindakan hukum terhadap Inggris, mengingat batas waktu yang ditetapkan oleh Uni Eropa untuk pembatalan revisi kesepakatan pemilu berakhir pada Rabu, 30 September, dan ketentuan RUU itu tidak dihapus.
Komisaris Eropa menyebut "RUU pasar internal" sebagai pelanggaran itikad baik, dan mengatakan komisi itu akan mengirim surat peringatan ke London dan mengajukan gugatan terhadap Inggris di Pengadilan Eropa atas pelanggaran London atas perjanjian Brexit.
RUU untuk merevisi perjanjian Brexit, yang disahkan oleh Majelis Rendah Inggris pada 29 September, akan memungkinkan London untuk secara sepihak mengubah ketentuan perjanjian Brexit dengan Uni Eropa, sebuah masalah yang telah ditentang oleh Uni Eropa. UE mengatakan perjanjian Brexit memiliki dimensi internasional dan tidak dapat diubah.
Sebuah perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak tahun lalu yang memprediksi bahwa Irlandia Utara akan mematuhi beberapa peraturan UE selama empat tahun. Tetapi di bawah RUU pemerintah Konservatif, London dapat membuat keputusan perdagangan secara sepihak untuk Irlandia Utara.
Dengan demikian, delapan bulan setelah penarikan resmi Inggris dari Uni Eropa, sekarang jelas bahwa Brussel dan London memiliki dua pendekatan berbeda terhadap kesepakatan tentang masa depan Irlandia Utara.
Mengingat lambannya negosiasi Inggris-UE dalam periode transisi, yang akan berakhir pada tahun 2020, langkah baru Johnson mengejutkan hubungan London dengan UE dan bertujuan untuk mengabaikan ketentuan Irlandia Utara dalam perjanjian tersebut.
Berdasarkan perjanjian tersebut, perdagangan antara Inggris dan Irlandia Utara akan berlangsung sesuai dengan hukum UE mulai 1 Januari 2021, dan perusahaan Inggris yang berbasis di Irlandia Utara akan tunduk pada peraturan UE. Pemerintah Konservatif Inggris sebelumnya menyatakan bahwa mereka terpaksa menerima perjanjian hanya untuk mencapai kesepakatan dengan Uni Eropa. Jadi sekarang, Johnson secara praktis mengabaikan perjanjian London dengan Brussels dengan mengajukan RUU barunya serta kemungkinan Brexit tanpa kesepakatan dengan Uni Eropa semakin menguat.
"Tugas saya adalah untuk menjaga integritas teritorial Inggris, serta untuk mempertahankan proses perdamaian Irlandia Utara dan Perjanjian Jumat Agung. Untuk melakukannya, kami membutuhkan kepastian hukum yang jelas untuk membela negara kami dari ekstremis dan interpretasi yang tidak rasional dari perjanjian Brexit, yang dapat mengarah pada tantangan lintas batas di Laut Irlandia." kata Johnson saat mempresentasikan RUU untuk merevisi Perjanjian Brexit di Majelis Rendah Inggris.
Johnson percaya bahwa implementasi perjanjian sebelumnya tentang Irlandia Utara, yang berarti penerapan hukum Uni Eropa di kawasan itu, secara praktis akan berarti pemisahan Irlandia Utara dari Inggris dan membuka jalan bagi disintegrasi Inggris.
Menurut Pegah Bani Hashem, ahli hukum, "Inggris Raya, yang dulu dikenal sebagai negara terbesar di dunia, berada dalam bahaya disintegrasi."
Brussel, di sisi lain, telah bersikeras menerapkan Perjanjian Brexit sebagai perjanjian internasional yang mengikat dan sekarang telah memilih solusi hukum dalam hal ini.