Kebuntuan Dialog Damai Afghanistan; Kekalahan lain Trump Jelang Pilpres
Perundingan damai Afghanistan antara pemerintah Kabul dan Taliban yang dimulai di Doha, Qatar sejak 12 September, hingga kini kedua pihak dilaporkan belum mencapai kesepakatan.
Sementara itu, Utusan khusus Amerika untuk Afghanistan, Zalmay Khalilzad untuk kesekian kalinya berkunjung ke Qatar, lokasi perundingan damai Afghanistan. Dalam sebuah statemennya, ia secara tersirat mengakui kegagalan perundingan damai Afghanistan.
Pengakuan Khalilzad atas kegagalan perundingan damai Afghanistan terjadi ketika setelah satu setengah bulan dari partisipasi tim pemerintah Kabul dan Taliban di Qatar, kedua pihak masih juga belum meraih kesepakatan terkait agenda perundingan serta empat anggota tim pemerintah dilaporkan kembali ke Kabul.

Terkait faktor kegagalan perundingan damai Afghanistan dan dampaknya, ada sejumlah poin menarik;
Pertama, delegasi Taliban dan pemerintah Kabul sejak 12 September telah berada di Qatar untuk mengakhiri perang di Afghanistan, namun kedua pihak sampai saat ini secara resmi belum memulai perundingan dan lobi untuk menentukan agenda kerja perundingan sampai saat ini belum juga membuahkan hasil.
Kedua, tujuan dari perundingan damai Afghanistan adalah memulihkan stabilitas dan keamanan di negara yang dilanda perang ini, namun sangat disayangkan meski ada perundingan damai ini di Doha, perang malah meningkat di berbagai wilayah Afghanistan di mana rakyat yang menjadi korban dan dirugikan.
Sekjen Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Dr. Yusuf bin Ahmed Al Othaimeen seraya menyesalkan eskalasi kekerasan terbaru di Afghanistan menekankan, solusi tunggal untuk menerapkan perdamaian dan stabilitas di Afghanistan adalah gencatan segera dan dialog.
Poin selanjutnya adalah eskalasi kekerasan di Afghanistan bersamaan dengan kebuntuan perundingan damai pemerintah negara ini dengan Taliban di Qatar membuat rakyat Afghanistan semakin pesimis dengan perundingan ini. Ketidakpercayaan rakyat Afghanistan terhadap perundingan damai terjadi di saat menurut sebagian pakar, petinggi Amerika melalui kebijakan standar ganda di proses perundingan damai Afghanistan berusaha menjadikan Taliban dan bahkan pemerintah Kabul saat ini sebagai pihak yang melanjutkan perang di negara ini dan menyimpangkan opini publik dari faktor utama instabilitas di negara ini, yakni kehadiran pasukan Amerika ke arah lain.
Poin lainnya adalah standar ganda Amerika menjadi faktor utama yang menghalangi kesuksesan perundingan damai Afghanistan, karena Washington dari satu sisi menekankan perundingan ini dan dari sisi lain, melakukan langkah-langkah yang mendorong pemerintah Kabul dan Taliban saling menjauhi.
Abdul Karim Khoram, mantan kepala staf presiden Afghanistan terkait ketidakjujuran Washington di perundingan damai mengatakan, “Baik pemerintah maupun Taliban tidak memiliki perusahaan pembuatan senjata, begitu juga bukan pemerintah ataupun Taliban yang memiliki ladang minyak, bukan pemerintah atau Taliban yang memproduksi peluru, oleh karena itu, permintaan dan ancaman berulang Amerika untuk mereduksi kekerasan di Afghanistan sebuah lelucon dan konyol.”
Terlepas dari pendekatan tebang pilih Amerika terkait perundingan damai Afghanistan, menurut banyak pengamat, sikap Taliban yang tidak fleksibel selama perundingan juga menjadi salah satu faktor kegagalan perundingan Doha. Dengan kata lain, pandangan totaliter dari negosiator Taliban di Doha menghalangi pihak-pihak yang bernegosiasi untuk mencapai pemahaman tentang peta jalan untuk perundingan.
Poin terakhir, pemilu presiden di Amerika secara resmi akan dimulai 3 November mendatang di mana upaya Donald Trump untuk memanfaatkan perundingan damai Afghanistan di kampanyenya guna meningkatkan peluang kemenangannya di pilpres mengalami kegagalan. Menurut keyakinan sebagian pengamat, Trump ingin menjadikan kesepakatan politik antara pemerintah Kabul dan Taliban di kampanye media sebagai prestasi besar kebijakan luar negerinya dan memanfaatkannya untuk meningkatkan peluang kemenangannya dengan mengakhiri perang paling lama di sejarah Amerika.
Sayed Salahuddin, wartawan Washington Post di Kabul terkait hal ini mengatakan, “Pemilu presiden di Amerika digelar pekan depan, namun tidak ada kemajuan di perundingan damai Afghanistan. Tim sukses Donald Trump dapat memanfaatkan kesepakatan sebagai sebuah kemenangan di Afghanistan dan meningkatkan peluang kemenangannya.”
Secara keseluruhan harus dikatakan, dialog dengan pemimpin Korut, meningkatkan represi terhadap Cina dan Iran serta pada akhirnya perundingan dengan Taliban termasuk isu-isu utama di kebijakan luar negeri Trump. Sejatinya Donald Trump dengan membesar-besarkan tiga isu ini, ingin menjadikannya sebagai alat di pemilu presiden Amerika. Namun yang jelas adalah hitung mundur pemilu presiden Amerika telah dimulai, namun tangan Trump di pemilu hari Selasa pekan depan kosong. (MF)