Protes AS atas Sanksi Balasan Cina
Amerika Serikat pada hari Sabtu, 27 Maret 2021 mengecam sanksi Cina yang dijatuhkan terhadap dua warga AS, seorang warga Kanada dan Subkomisi Hak Asasi Manusia Internasional, Majelis Rendah Kanada (House of Commons).
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengklaim sanksi balasan Cina hanya akan membantu penyelidikan internasional yang lebih luas terkait berlanjutnya genosida dan kejahatan kemanusiaan di Xinjiang.
Ia menambahkan, "Kami dalam kerja sama dengan Kanada, Inggris, Uni Eropa dan mitra serta sekutu lain di seluruh dunia mendesak Cina untuk menghentikan pelanggaran HAM dan perilaku buruknya."
Sebelumnya, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau juga mengecam sanksi balasan Cina, dan berjanji akan "membela" HAM.
Meningkatnya ketegangan Cina dan AS terkait tuduhan pelanggaran HAM di Xinjiang, mendorong Kementerian Luar Negeri Cina pada hari Sabtu menjatuhkan sanksi balasan terhadap sejumlah warga dan lembaga AS dan Kanada.
Ketua Komisi Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional, USCIRF, Gayle Manchin, dan Wakilnya, Tony Perkins, anggota Parlemen Kanada Michael Chong, dan Subkomisi HAM Internasional, Majelis Rendah Kanada, semuanya dijatuhi sanksi balasan Cina setelah menyalahkan Beijing atas pelanggaran HAM terhadap minoritas Muslim Uyghur di Xinjiang.
Cina dijatuhi sanksi oleh AS dan Kanada bersama sejumlah negara Eropa karena dituduh melanggar HAM di Xinjiang. Negara-negara Barat itu secara bersamaan menyanksi sejumlah pejabat bidang politik dan ekonomi Cina atas tuduhan ini.
AS memprotes sanksi balasan Cina padahal ia negara yang paling banyak menjatuhkan sanksi terhadap negara lain di dunia. Sanksi AS terhadap negara lain termasuk Cina dijatuhkan dengan berbagai dalih mulai dari politik, bisnis, keamanan dan HAM. Terlepas dari semua dalih itu, alasan utama sanksi AS atas Cina adalah kepentingan Washington.
Dalih pelanggaran HAM digunakan AS dan sekutunya untuk menyanksi Cina, padahal AS sendiri merupakan salah satu negara pelanggar HAM terbesar di dunia, termasuk rasisme luas dan kekerasan terhadap minoritas etnis di negara itu.
Hal ini ditambah kekerasan polisi AS yang seolah tak kenal batas terhadap warga kulit hitam, dan instabilitas sosial yang disebabkan oleh aksi polisi menunjukkan kondisi HAM yang buruk di negara yang mengklaim membela kebebasan dan HAM itu.
Masalah ini selalu mendapat perhatian dalam laporan tahunan Kemenlu Cina terkait kondisi HAM Amerika Serikat. Dalam laporan ini masalah lain juga disinggung seperti kelalaian menangani wabah virus Corona, perubahan pemilu politik menjadi permainan kalangan kaya, serta meningkatnya kesenjangan sosial antara kaum kaya dan miskin.
Pemerintah Presiden Joe Biden tidak menuduh Cina sebagai ancaman terbesar AS tapi ia berusaha menuduh Beijing sebagai ancaman serius bagi sistem global, dan stabilitas dunia.
Jurnalis Rusia, Fyodor Lukyanov meyakini bahwa pertarungan hebat ekonomi antara AS dan Cina dapat berubah menjadi sebuah pertempuran militer dan politik kedua negara.
Penyalahgunaan isu HAM untuk kepentingan politik oleh pemerintah AS, sekarang nampak jelas dengan sanksi yang dijatuhkan AS dan sekutu-sekutunya terhadap Cina.
Intervensi dan campur tangan yang terus menerus dilakukan AS terhadap urusan dalam negeri Cina terutama di Hong Kong dan Xinjiang, dukungan Washington terhadap Taiwan dan campur tangan dalam sengketa wilayah di Laut Cina Selatan, diprediksi akan meningkatkan ketegangan dua negara di masa depan. (HS)