Amerika Tinjauan dari Dalam, 3 April 2021
Dinamika di Amerika Serikat selama sepekan terakhir diwarnai dengan sejumlah isu penting seperti tanggapan AS dan presiden negara ini terkait kemitraan strategis antara Republik Islam Iran dan Cina.
Selain itu, masih ada perkembangan lain di Amerika seperti klaim AS siap berdiplomasi dengan Iran, pernyataan dubes AS di Lebanon terkait konfrontasi AS dengan Iran, sikap menlu AS menolak menyebut MBS sebagai pembunuh, AS gelar manuver rahasia untuk hadapi Cina dan Rusia, Senator AS Tolak Rencana Biden Pulihkan Kesepakatan Nuklir Iran dan berbagai isu lainnya.
Presiden AS Tanggapi Kemitraan Strategis Iran dan Cina
Presiden Amerika Serikat Joe Biden, menganggap penandatanganan kesepakatan kemitraan strategis Iran dan Cina sebagai mengkhawatirkan.
“Saya sudah lama mengkhawatirkan kemitraan Iran-Cina,” kata Biden dalam mereaksi kesepakatan kerja sama 25 tahun antara Tehran dan Beijing pada Minggu (28/3/2021) malam, seperti dikutip Farsnews.
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif dan mitranya dari Cina Wang Yi, menandatangani dokumen Kemitraan Strategis Komprehensif di Tehran pada 27 Maret lalu.
Kemitraan Strategis Komprehensif ini menjabarkan kerja sama di berbagai aspek termasuk politik, keamanan, pertahanan, budaya, pertanian, ekonomi, ilmu pengetahuan, pariwisata, minyak dan energi, infrastruktur komunikasi dan teknologi informasi, perdagangan, dan kesehatan.
Media Amerika, Bloomberg menilai Kemitraan Strategis Komprehensif Iran-Cina sebagai tantangan bagi pemerintah baru AS. Integrasi yang lebih dekat antara Iran dengan Cina dapat membantu menopang ekonominya dari dampak sanksi AS, sekaligus mengirimkan sinyal yang jelas kepada pemerintahan Biden tentang pandangan Tehran.
Surat kabar The Wall Street Journal memandang kesepakatan kemitraan strategis Cina-Iran akan menggagalkan skenario Washington untuk mengucilkan Tehran.
Kemitraan Strategis Cina-Iran Dianggap Tantangan bagi AS
Situs media Bloomberg menyatakan Cina dan Iran telah menandatangani kesepakatan komprehensif yang bertujuan untuk memetakan arah hubungan ekonomi, politik, dan perdagangan mereka selama 25 tahun ke depan, dan ini akan menjadi tantangan bagi pemerintah baru AS.
Aliansi antara Beijing dan Tehran merupakan tantangan bagi pemerintahan Joe Biden ketika ia mencoba mengumpulkan sekutu untuk melawan Cina, di mana Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyebut hal itu sebagai ujian geopolitik terbesar dunia.
Menurut laporan Bloomberg yang diterbitkan Minggu (28/3/2021), integrasi yang lebih dekat antara Iran dengan Cina dapat membantu menopang ekonominya dari dampak sanksi AS, sekaligus mengirimkan sinyal yang jelas kepada pemerintahan Biden tentang pandangan Tehran.
Penandatanganan kesepakatan kemitraan strategis Cina-Iran dilakukan setelah upaya untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir JCPOA telah terhenti.
Pemerintahan Biden telah mengumumkan niatnya untuk kembali ke dalam JCPOA setelah Trump membatalkan perjanjian itu tiga tahun lalu, tetapi kedua belah pihak bahkan belum sepakat untuk bertemu.
Sebelum ini, The Wall Street Journal memandang kesepakatan kemitraan strategis Cina-Iran akan menggagalkan skenario Washington untuk mengucilkan Tehran.
"Cina telah menjadi sebuah mitra penting perdagangan untuk Iran dalam beberapa tahun terakhir," tulisnya.
Dokumen kerja sama komprehensif antara Iran dan Cina ditandatangani oleh menteri luar negeri dari kedua negara di Tehran pada Sabtu kemarin.
Dokumen ini menjelaskan visi kerja sama bilateral antara Tehran dan Beijing di bidang ekonomi, budaya, dan bidang-bidang lain.
Washington Post: Kekang Sanksi Iran Lepas dari Tangan AS
Surat kabar Amerika Serikat, Washington Post mengatakan tanda-tanda yang jelas terkait keruntuhan sanksi mulai tampak. Menurutnya, sekarang Cina terang-terangan mempermainkan sanksi, dan Iran berani mengabaikan tuntutan Joe Biden agar menjadi pihak pertama yang kembali menjalankan komitmen nuklirnya.
Dikutip Fars News (29/3/2021), surat kabar Washington Post menulis, pemerintahan Presiden Joe Biden mengaku mendukung kampanye tekanan terhadap Iran, tapi saat ini terdapat sinyal yang jelas tentang keruntuhan sanksi, pasalnya Cina akan meningkatkan impor minyak dari Iran dalam jumlah yang cukup fantastis.
Semenjak Biden menjabat sebagai Presiden AS, pembelian minyak Cina dari Iran meningkat tiga kali lipat, dan Beijing membuka jalan bagi Tehran untuk menyelamatkan diri, dan memberikan senjata baru kepada negara itu untuk mengatasi tekanan.
Hal ini dianggap semakin mempersulit upaya Biden untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir tahun 2015.
Peneliti senior Timur Tengah di The Heritage Foundation, Amerika Serikat, James Phillips mengatakan, "Salah besar jika kita membiarkan sanksi-sanksi ini, hingga ke tingkat tertentu, dilemahkan oleh Cina, karena mungkin saja pemerintah AS akan kehilangan senjatanya dalam perundingan dengan Iran."
Di sisi lain Brian Katulis, peneliti senior Center for American Progress menuturkan, "Jika Cina berusaha melakukan hal tersebut, maka ketergantungannya terhadap pasokan energi dari Arab Saudi dan negara-negara Teluk Persia lainnya akan terus berkurang."
AS Mengaku Siap Berdiplomasi dengan Iran
Juru bicara Gedung Putih, Jen Psaki mengatakan Amerika Serikat tetap berkomitmen untuk mengejar proses diplomatik dengan Iran, tanpa menyinggung kapan sanksi-sanksi ilegal akan dicabut.
"Kami tetap berkomitmen mengejar proses diplomatik untuk menentukan jalan ke depan. Kadang-kadang itu membutuhkan waktu, dan tentu kami telah menemukannya di masa lalu yang berkaitan dengan negosiasi dengan Iran," kata Psaki dalam konferensi pers, Selasa (30/3/2021) seperti dikutip IRNA.
Hal itu disampaikan jubir Gedung Putih saat menjawab pertanyaan wartawan tentang sikap Iran yang tidak ingin terlibat perundingan apapun sebelum sanksi dicabut.
"Kami tetap siap untuk kembali terlibat dalam diplomasi yang berarti dengan Iran," kata Psaki.
Pemerintahan Joe Biden sedang berusaha untuk mendapatkan konsesi dari Iran dengan tetap mempertahankan kebijakan tekanan maksimum, yang diterapkan oleh Donald Trump.
Pemerintah Iran menegaskan bahwa AS telah melanggar kesepakatan nuklir dan Republik Islam mengurangi komitmen kesepakatan sebagai respons atas pelanggaran itu.
Tehran menyatakan kesiapannya untuk mengambil setiap langkah setelah sanksi dicabut.
Menlu AS Tolak Sebut MBS Pembunuh karena Ia Calon Raja Saudi
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dalam wawancara dengan CNN menolak menyebut Putra Mahkota Arab Saudi pembunuh meski terbukti terlibat dalam pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi.
Antony Blinken dalam wawancara dengan CNN (29/3/2021) ditanya apakah Mohammed bin Salman pembunuh sesuai informasi intelijen Amerika Serikat yang menyebut keterlibatan langsung Putra Mahkota Saudi itu dalam pembunuhan Jamal Khashoggi.
Menlu AS menolak menyebut MBS pembunuh, namun menyinggung keputusan pemerintah Joe Biden untuk menghukum MBS secara tidak langsung, dan menyanksi sejumlah pelaku pembunuhan Khashoggi.
Blinken menegaskan, "Kami harus terus menjalin kesepakatan dengan seluruh pemimpin negara dunia untuk menjaga kepentingan nasional, dan MBS sepertinya akan menjadi Raja Saudi di masa mendatang, oleh karena itu AS punya kepentingan yang besar dalam hal ini terhadap Saudi."
Dubes AS: Bukan Hanya Nuklir, Kami Lawan Iran di Semua Bidang
Duta Besar Amerika Serikat untuk Lebanon mengklaim pemerintah Presiden Joe Biden akan menghadapi Iran di semua bidang, tidak terbatas hanya pada masalah nuklir.
Dorothy Shea, Kamis (1/4/2021) dalam wawancara dengan surat kabar Neda Al Watan mengatakan, Joe Biden bermaksud melawan Iran di seluruh kawasan Asia Barat termasuk di Lebanon.
Ia menambahkan, "Berdasarkan Pedoman Keamanan Nasional Strategis Interim, INSSG yang diterbitkan Maret 2021, langkah dan kerja sama dengan sekutu AS untuk menyelesaikan masalah nuklir Iran secara diplomatik, merupakan masalah yang penting, dan menurut dokumen ini, cakupan konfrontasi dengan Iran harus diperlebar ke masalah-masalah lain, dan pemerintah Biden tidak hanya memusatkan perhatian pada nuklir semata."
Saat ditanya apakah sikap AS terhadap Hizbullah Lebanon akan berubah jika masalah nuklir Iran selesai, Dorothy Shea mengatakan, "Sikap AS terkait Hizbullah tidak akan berubah."
Bersiap Hadapi Cina dan Rusia, AS akan Gelar Manuver Militer Rahasia
Militer AS berencana mengadakan latihan perang rahasia untuk menghadapi segala kemungkinan ancaman dari Cina dan Rusia.
CNN hari Sabtu (27/3/2021) mengutip sumber pertahanan AS yang tidak bersedia diungkap identitasnya melaporkan, militer AS berencana mengadakan latihan militer rahasia selama musim panas mendatang untuk melawan kemungkinan ancaman dari Cina dan Rusia.
Menurut beberapa pejabat pertahanan AS, fokus utama dari latihan militer rahasia tersebut untuk menanggapi tindakan agresif dan tak terduga dari Rusia dan Cina.
Laporan tersebut juga menyatakan bahwa manuver militer ini akan dipimpin oleh Mark Milley, Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata AS ,dan Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin akan mengawasi pelaksanaan latihan militer tersebut dengan cermat.
Senator AS Tolak Rencana Biden Pulihkan Kesepakatan Nuklir Iran
Anggota Komite Angkatan Bersenjata Senat AS, memperingatkan pemerintah Joe Biden tentang rencananya untuk kembali ke kesepakatan nuklir JCPOA.
Dikuti dari laman Farsnews, Senator Jim Inhofe pada Jumat (2/4/2021), mengeluarkan sebuah pernyataan dalam menanggapi laporan bahwa pejabat AS akan menghadiri pertemuan untuk menghidupkan kembali JCPOA pada Selasa depan.
"Terlepas dari jaminan pemerintahan Biden bahwa mereka akan mengejar pendekatan diplomatik yang berbeda dengan Iran, namun sepertinya pemerintah malah bekerja untuk kembali ke dalam JCPOA yang sangat cacat," ujarnya.
"Sebagai pengingat, anggota Kongres telah menolak JCPOA pada 2015. Jika Anda mengulangi sejarah dengan memulihkan kesepakatan yang gagal itu, kami akan menolaknya sekali lagi," tegas Senator Inhofe.
Sementara itu, Utusan Khusus AS untuk Urusan Iran, Robert Malley mengatakan kepada televisi PBS pada Sabtu (3/4/2021) pagi bahwa Washington siap untuk mencabut sanksi yang "tidak sesuai" dengan kesepakatan nuklir.
Pejabat senior dari negara anggota JCPOA termasuk Iran, Prancis, Jerman, Inggris, Rusia, Cina dan Uni Eropa, serta delegasi pemerintah AS, dijadwalkan akan bertemu Selasa depan untuk membahas masa depan JCPOA di Wina, Austria.