Bukti Baru Hubungan AS dengan Daesh
Amerika Serikat (AS) telah memainkan peran penting dalam kemunculan dan perluasan kelompok teroris takfiri Daesh (ISIS) di Irak dan Suriah. Bukti baru yang terungkap menunjukkan tindakan yang direncanakan Washington dalam hal ini.
The Washington Post melaporkan pada hari Kamis (8/4/2021) bahwa dokumen rahasia yang bocor dari militer AS mengungkapkan bahwa Abu Ibrahim al-Hashemi al-Qurashi, pemimpin Daesh saat ini, sebelumnya pernah menjadi tahanan dan mata-mata pasukan AS di Irak.
Laporan ini menyebutkan bahwa al-Qurashi ditangkap di Irak pada tahun 2008 dan kemudian menjadi informan pasukan AS di Irak. Tahanan yang nama aslinya Amir Mohammad Sa'id Abdul Rahman al-Mawla ini saat itu aktif sebagai pejabat menengah berusia 31 tahun dalam kelompok teroris Daesh.
Dia bekerja sama dengan baik dalam sesi interogasi dan memberikan banyak informasi tentang rekan-rekannya yang menjadi anggota Daesh. Misalnya, selama beberapa hari interogasi pada tahun 2008, dia memberikan informasi rinci tentang markas rahasia departemen media kelompok teroris tersebut.
Dia juga memberikan semua informasi yang diperlukan tentang pemimpin No. 2 Daesh, seorang warga Swedia kelahiran Maroko bernama Abu Qaswarah. Beberapa minggu setelah menerima informasi ini, pasukan AS membunuh Abu Qaswarah dalam serangan di Mosul. Pentagon juga telah merilis beberapa dokumen yang menunjukkan bahwa pemimpin Daesh tersebut adalah informan AS.
Terungkapnya hubungan pemimpin Daesh saat ini dengan AS di Irak menunjukkan bahwa Amerika tidak hanya memperlengkapi dan mempersenjatai kelompok teroris ini sesuai dengan tujuan mereka, tetapi juga menggunakan anggota senior Daesh untuk mencapai tujuannya dan bahkan dengan pembebasan al-Mawla, AS telah menempatkannya sebagai pemimpin kelompok teroris paling berbahaya di dunia ini.
AS tidak bisa menutupi perannya dalam kemunculan Daesh. Daesh pertama kali dibentuk di Irak dengan partisipasi elemen-elemen tersisa dari partai Ba'ath di negara Arab ini dan bekerja sama dengan para Salafi dan takfiri yang telah berkumpul di Irak dari berbagai belahan dunia. Mereka memperluas aktivitasnya dari Irak ke Suriah dengan cepat. AS, sebagai pemimpin negara-negara Barat, bersama mitra-mitra Barat dan Arabnya, memberikan dukungan luas kepada Daesh.
Tujuan Washington adalah untuk menggulingkan pemerintah Suriah yang sah dan melemahkan Poros Perlawanan, dan mereka melihat kelompok-kelompok teroris ini bisa menjadi alat untuk mencapai tujuan tersebut.
Mantan Presiden AS Donald Trump telah membuat pernyataan kontroversial tentang peran langsung Presiden Barack Obama dan mantan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton dalam pembentukan Daes.
Trump dalam kampanye pemilu Januari 2016 mengatakan, "Mereka (Obama dan Clinton) adalah orang yang tidak jujur. Mereka menciptakan Daesh."
Pernyataan Trump merupakan konfirmasi atas tuduhan yang dilontarkan berulang kali oleh para pemimpin dunia, termasuk Presiden Rusia Vladimir Putin, tentang peran langsung Gedung Putih dalam pembentukan dan tindakan Daesh. Dari 2011 hingga 2014, Amerika memiliki dukungan luas untuk Daesh dan memainkan peran utama dalam menyediakan logistik dan pembiayaan kepada kelompok teroris ini.
Setelah Daesh menduduki wilayah yang luas di Irak, AS selama pemerintahan Obama berusaha untuk mengendalikan kelompok teroris ini. Washington kemudian membentuk apa yang disebut sebagai koalisi internasional anti-Daesh pada tahun 2014. Tujuan AS adalah untuk mengendalikan Daesh sehingga dapat menggunakan kelompok teroris ini untuk menekan Suriah dan Irak serta Poros Perlawanan.
Dengan demikian, tidak hanya kejujuran AS dalam perang melawan Daesh yang benar-benar dipertanyakan, tetapi jelas bahwa tanpa dukungan Washington, Daesh tidak akan pernah dapat melakukan kejahatannya dan memperluas aktivitasnya di negara-negara Asia Barat. (RA)