Parlemen Jerman Menyetujui RUU yang Melarang Jilbab bagi Pegawai Pemerintah
Majelis Tinggi Jerman (Bundesrat) telah mengeluarkan undang-undang yang melarang pemakaian jilbab bagi pegawai pemerintah dan polisi. Menurut peraturan tersebut, dilarang memakai simbol ideologis atau agama di tempat kerja. Meskipun keputusan ini bersifat umum dan tidak merujuk pada pemeluk agama tertentu, dalam praktiknya ketajaman UU itu ditujukan kepada aktivis wanita Muslim di pemerintahan Jerman.
Menurut undang-undang yang mengatur penampilan pegawai pemerintah dan polisi, pejabat pemerintah di kantor dan polisi tidak diperbolehkan memakai jilbab. UU yang diratifikasi parlemen ini telah banyak dikritik oleh organisasi Islam dan bahkan beberapa pejabat negara Jerman.
"Undang-undang tersebut akan bermasalah di masyarakat," kata Immanuel Hoff, seorang pejabat Thuringian.

Ia juga menyinggung bahwa UU ini membatasi wanita Muslim yang bekerja di lembaga pemerintah. Menurutnya, penerapan undang-undang tersebut dapat menyebabkan pengaduan ke Mahkamah Konstitusi. Ini bertentangan dengan konstitusi Jerman, yang mengakui kebebasan beragama dan pekerjaan bagi pegawai pemerintah.
Isu anti-Islam dan konfrontasi dengan nilai-nilai lahiriah Islam, khususnya hijab wanita muslimah, menjadi fenomena yang berkembang di Eropa, termasuk Jerman. Salah satu kepekaan terpenting di negara-negara Eropa, termasuk Jerman, adalah masalah jilbab Islam, dan terutama gerakan dan partai sayap kanan yang sedang naik daun di Jerman dalam beberapa tahun terakhir, telah berulang kali menyatakan penolakan yang kuat terhadap jilbab wanita Muslim di Jerman dan menuntut pelarangannya.
Sementara itu, sejumlah besar Muslim tinggal di Jerman yang menginginkan hukum Islam, termasuk jilbab, ditaati bagi wanita Muslim. Pengesahan undang-undang seperti yang dilakukan Bundesrat baru-baru ini bertujuan untuk membungkam mereka dan memaksa mereka untuk memilih antara mengenakan jilbab atau pekerjaan mereka.
Menurut angka terbaru dari Kantor Federal Jerman untuk Migrasi dan Pengungsi, sekitar 5,3 hingga 5,6 juta Muslim tinggal di Jerman, yaitu sekitar 6,4 hingga 6,7 persen dari total populasi negara itu. Dengan demikian, terdapat populasi wanita Muslim yang cukup besar yang tinggal di negara ini, yang sekarang menghadapi dilema besar karena keinginan banyak dari mereka untuk mengenakan jilbab. Selain itu, kekerasan terhadap wanita Muslim di Jerman juga telah meningkat.
"Wanita berjilbab lebih terkena serangan anti-Islam daripada Muslim lainnya," kata Burhan Kesici, kepala Dewan Islam Jerman.
Patut dicatat bahwa tindakan Majelis Tinggi Jerman (Bundesrat) baru-baru ini dilakukan setelah tindakan Senat Prancis memberlakukan pembatasan baru pada wanita dan gadis Muslim di bidang jilbab dan larangannya serta menunjukkan langkah yang diperhitungkan di tingkat Eropa untuk aksi anti-Islam dan meningkatkan tekanan pada Muslim.
Partai sayap kanan ekstremis dan politisi populis di negara-negara Eropa, termasuk Jerman, seperti partai sayap kanan Alternatif untuk Jerman (AFD), berusaha menarik suara publik menjelang pemilu dengan menyalahkan Muslim atas terorisme, pengangguran, dan ketidakamanan di negara ini. Di saat yang sama, sikap anti-Islam dan penggunaan kekerasan verbal dan fisik, serta diskriminasi dan tekanan intensifikasi terhadap umat Islam, termasuk di bidang hijab, meningkat di Jerman.

Pada 2019 dan 2020, masing-masing 950 dan 901 Muslim dan pusat Islam di Jerman menjadi sasaran. Sikap dan tindakan pemerintah dan lembaga pemerintahan seperti lembaga legislatif di negara-negara Eropa seperti Jerman dan Prancis juga telah mengarah pada anti-Islam dan tekanan yang semakin meningkat terhadap umat Islam. Dengan demikian, tren Islamophobia dan anti-Islam yang berkembang di Eropa telah membuat kehidupan masyarakat Muslim di Eropa semakin sulit.