Iran, 40 Tahun Pasca Revolusi Islam (3)
(last modified Sat, 25 Aug 2018 06:58:20 GMT )
Aug 25, 2018 13:58 Asia/Jakarta

Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Udzma Sayyid Ali Khamenei menyampaikan pidato pada hari pertama Nowruz atau tahun baru kalender Persia di kompleks makam suci Imam Ridho as di Mashhad dan mengatakan, "Amerika sedang berusaha menciptakan kelompok jahat, kejam dan penuh kebencian seperti Daesh (ISIS), agar negara-negara kawasan terlibat dalam perang internal dan agar fokus mereka tidak tertuju pada rezim Zionis, akan tetapi kami berhasil menggagalkan rencana tersebut."

Ditekankan beliau bahwa kehadiran Republik Islam Iran di sejumlah negara di kawasan dilakukan oleh permintaan bangsa dan pemerintahan mereka seraya menegaskan, "Kami tidak memaksa atau mencampuri urusan internal negara lain. Kami diminta bantuan, dan kami membantu, dan melakukannya, dengan tujuan logis dan dengan perhitungan yang sangat rasional, dan bukan perasaan."

Rahbar juga memaparkan fakta bahwa Amerika Serikat tidak dapat mewujudkan keamanan di kawasan, dan contoh yang nyatanya adalah kehadirannya selama 14 tahun di Afghanistan, yang bukan hanya tidak menciptakan keamanan bagi rakyat Afghanistan, malah memperburuk situasi.

Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran

Poin penting yang disebutkan berulang kali dalam pernyataan Rahbar adalah urgensi menjelaskan masalah ini bahwa alasan utama permusuhan Amerika dengan Iran adalah gagalnya makar AS di kawasan. Tujuan AS dalam empat tahun terakhir adalah menciptakan krisis regional dan global serta menebar Iranphobia.

Pidato Rahbar memiliki dua sisi strategis, pertama dengan perspektif realistis terkait transformasi masa lalu, arah acuan masa depan. Kedua, menurut Rahbar adalam penekanan terhadap esensi sejati tujuan AS dan berbagai ancaman yang meningkat saat ini.

Beliau lebih lanjut menjelaskan, "Permusuhan Amerika terhadap bangsa Iran dimulai sejak hari pertama revolusi, dan pada saat itu bukan masalah nuklir, bukan rudal atau pengaruh regional Iran, namun Amerika menyadari bahwa dengan kemenangan Revolusi Islam mereka telah kehilangan Iran sebagai negara "boneka, patuh, dan sangat menguntungkan. Oleh karena itu, kebodohan yang ditunjukkan Presiden Amerika Serikat, jangan sampai mengabaikan kita dari plot musuh dan menganggapnya sepele, tetapi kita semua harus waspada dan siap untuk tampil di panggung."

Salah satu ancaman keamanan meluas di kawasan Asia Barat adalah menjamurnya kelompok teroris Takfiri yang mampu meningkatkan cakupan dan ruang lingkup aktivitas destruktif mereka. Kawasan ini, sebagai titik kelahiran dan pertumbuhan kelompok radikal yang sering dikaitkan dengan Islam, terpapar terhadap faktor  pertama, tindakan instabilitas kelompok Takfiri dan kedua, serangan negara-negara Barat dalam apa yang diklaim pemberantasan kelompok-kelompok tersebut.

Dua faktor tersebut akan menimbulkan berbagai kerentanan dan kerusakan yang tak dapat diperbaiki dan jangka panjang. Pada prosesnya, Arab Saudi telah menciptakan perpecahan di antara negara-negara Islam melalui politik provokasi krisis, yang mengindikasikan bahwa mereka mengejar tujuan ambisius dan interventif di kawasan.

Tren ini meningkat selama beberapa tahun terakhir, khusus di negara-negara seperti Libya, Nigeria, Somalia, Afghanistan, Irak, dan Suriah, yang menyebabkan munculnya kelompok-kelompok ekstremis seperti Boko Haram, al-Qaeda, Daesh dan al-Shabaab.

Arab Saudi, dengan politik destruktifnya, mendorong kehadiran militer Amerika Serikat di kawasan setelah beberapa tahun absen, selain mengandalkan kekuatan militer AS juga mengancam keamanan kawasan. Ini merupakan salah satu poin kunci dalam menganalisa faktor dan motif Amerika Serikat, Arab Saudi dan Israel dalam melawan Iran, karena Republik Islam mengupayakan konvergensi keamanan di kawasan tanpa kehadiran pihak asing dan ini yang tidak dapat diterima oleh kekuatan imperialis.

Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Khamenei pada pertemuan para pejabat tinggi negara menyinggung kebijakan AS di kawasan dan mengatakan, "... jelas bahwa AS tidak suka dengan pengapusan elemenkekuatan Iran seperti IRGC dan Brigade Qods serta menetapkan berbagai persyaratan agar IRIG dihapus dan pasukan relawan Basij tidak mengintervensi, [Iran] harus bersikap ini dan itu dalam urusan regional, tetapi semua pejabat Iran harus bertindak sebaliknya, untuk memperkuat elemen kekuatan Iran, yaitu angkatan bersenjata, IRGC, Basij, dan semua elemen mukmin dan revolusioner."

Penciptaan konflik regional, faktanya adalah strategi umum Amerika Serikat dan Arab Saudi untuk menyusupkan pengaruh mereka di kawasan tersebut. Sementara penentangan mereka terhadap peran Iran dalam menyelesaikan krisis Suriah juga dalam yang sama.

Ayatullah Khamenei pada pertemuan para tamu yang berpartisipasi dalam konferensi "Muhibbin Ahlul Bait dan isu Takfiri," menjelaskan bahaya perpecahan dan berlanjutnya konspirasi musuh-musuh Islam di kawasan dan mengatakan, "Republik Islam akan selalu siap membantu untuk menghadapi kekufuran dan imperialisme di mana pun diperlukan, dan kami tidak akan mempertimbangkan siapa pun dalam masalah ini."

Kebijakan strategis Iran ini secara keseluruhan mencegah perpecahan dan krisis regional, dan tujuan itu diupayakan dengan memonitor secara akurat dan cerdas serta menganalisa transformasi di kawasan dan jika diperlukan melawan setiap ancaman. Kehadiran penasehat militer Iran di Irak dan keterlibatan dalam perang Daesh di Suriah merupakan dua contoh kongkretnya.

Menciptakan kepercayaan kolektif merupakan salah satu strategi Iran di bidang ini, dengan cara mengintensifkan interaksi dengan negara-negara kawasan, juga partisispasi signifikan dalam berbagai organisasi dan lembaga internasional seperti PBB, Gerakan Non-Blok dan Organisasi Kerjasama Islam.

Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Jawad Zarif, dalam pidatonya di konferensi perdamaian di Majelis Umum PBB, menjelaskan bahwa keamanan negara manapun tidak akan terjamin dengan mengorbankan pihak lain di dunia yang saling terhubung dewasa ini. Republik Islam Iran percaya bahwa pendekatan sejumlah negara yang berlandaskan pada zero-sum game saat ini telah menjadi sumber utama dari perang langsung dan tidak langsung yang destruktif dan perilaku tersebut harus diubah.

Guna mewujudkan tujuan tersebut, Republik Islam Iran telah menggelar sebuah forum dialog regional di Teluk Persia guna menyelesaikan tantangan dan membangun perdamaian abadi di kawasan.

Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran

Hassan Rouhani, Presiden Republik Islam Iran, juga berpidato di sidang Majelis Umum PBB tahun lalu, dan menjelaskan nilai-nilai damai dan revolusioner rakyat Iran. Dikatakannya, "AS sebaiknya mengatakan kepada opini publik bangsa-bangsa di dunia soal apa yang telah dilakukannya untuk kawasan Timur Tengah? Apa yang telah berubah sejak Serangan 11 September hingga hari ini di mana Amerika Serikat mengklaim telah memerangi terorisme, kecuali semakin memperluas terorisme? Apakah Afghanistan, Irak, dan negara-negara lain di kawasan lebih aman? Atau apakah mereka menyebabkan kondisi yang lebih buruk bagi masyarakat di kawasan?"

Menyinggung bahwa bangsa Iran adalah korban terorisme dan bahwa 17.000 nyawa warga Iran tidak berdosa menjadi korban terorisme, Rouhani mengatakan, "Kami adalah bangsa yang sejak hari pertama atas permintaan rakyat dan pemerintah Irak dan Suriah, bergegas membantu mereka dan di garis terdepan. Kami akan berada di garis terdepan dalam perang melawan terorisme."