Iran, 40 Tahun Pasca Revolusi Islam (11)
(last modified Mon, 01 Oct 2018 09:18:47 GMT )
Okt 01, 2018 16:18 Asia/Jakarta
  • Pada Mei 2018, Presiden Donald Trump secara sepihak meninggalkan kesepakatan nuklir yang dicapai antara Iran dan Kelompok 5+1.
    Pada Mei 2018, Presiden Donald Trump secara sepihak meninggalkan kesepakatan nuklir yang dicapai antara Iran dan Kelompok 5+1.

Sejak kemenangan Revolusi Islam, permusuhan Amerika terhadap Iran selalu menjadi salah satu tujuan utama para pejabat pemerintah dan Presiden AS. Sekitar dua tahun lalu, ketika Donald Trump melenggang ke Gedung Putih, kita menyaksikan tahap baru dalam permusuhan AS anti-Iran.

Sejak awal Trump sangat menentang kesepakatan nuklir yang ditandatangani Amerika Serikat dengan Iran. Trump menilainya sebagai kesepakatan tragis bagi Amerika Serikat. Karena menurutnya, pemerintah AS telah memberikan banyak konsesi kepada pemerintah Iran dengan imbalan sedikit keuntungan.

Trump secara berkala mengemukakan penentangan terhadap kesepakatan nuklir dengan Iran, dan mengatakan akan memaksa Iran untuk berunding kembali dengan menggunakan sanksi yang dua hingga tiga kali lebih berat dari saat ini. Pada perdebatan pilpres dengan lawannya dari Demokrat, Trump menunjukkan bahwa keamanan Israel terancam serta menisbatkannya pada dampak dari kinerja mantan menteri luar negeri Hillary Clinton. Karena sejak kesepakatan nuklir Rencana Aksi Bersama Komprehensif (JCPOA) Iran menjadi kekuatan besar.

Dalam perdebatan kedua dengan lawannya, Trump menuding Iran sebagai pendukung terorisme. Dia juga mengkritik kebijakan luar negeri AS terkait transformasi di Timur Tengah dengan mengulangi bahwa pemerintahan Obama dan kebijakan Hillary Clinton telah memperkuat Iran. Dikatakannya, "Satu-satunya pemenang dari transformasi di kawasan adalah Iran, dan sekarang Iran telah menjadi kekuatan regional serta berencana untuk menjadi lebih superior dalam kondisi di Irak."

Dengan demikian, pada 2017, ancaman dan sanksi kembali bergulir sebagai kata sandi bagi kebijakan konfrontatif AS terhadap Iran. Mulai tahun 2018, prosesnya mengalami peningkatan sampai Trump pada 8 Mei 2018 secara resmi mengumumkan keluarnya Washington dari JCPOA.

Ross Letenin, ketua Komite Hubungan Luar Negeri Dewan Perwakilan pada Maret 2017 mengatakan, "... Namun Amerika Serikat akan membuat sanksi yang melumpuhkan terhadap Iran sehingga mereka terpaksa menganulir keputusan pengembangan program rudal balistik."

Berdasarkan pola kebijakan tersebut, Departemen Keuangan AS, beberapa bulan setelah dimulainya jabatan Trump pada 17 Mei, telah memberlakukan sanksi terhadap tujuh perusahaan Iran dan non-Iran dengan alasan terkait dengan program rudal Iran. Amerika Serikat juga pada 18 Juli 2018, mencantumkan nama 18 individu dan entitas dalam daftar sanksi karena dianggap berkaitan dengan program rudal Iran.

Pada 25 Juli 2017, Dewan Perwakilan AS mengeluarkan rencana sanksi komprehensif dengan 419 suara mendukung. Senat AS juga menyetujuinya dengan 98 suara.

Dengan cara ini, Trump mengagendakan kebijakan luar negeri Amerika untuk memaksa Iran berunding kembali, memberlakukan tekanan dan sanksi non-nuklir yang lebih berat, memanfaatkan kapasitas pengawasan JCPOA, serta menekan para sekutu dan negara-negara lain untuk tidak bekerjasama dengan Iran. Klaim dukungan Iran terhadap terorisme di kawasan dan pemutusan dukungan keuangan dan politik Iran terhadap kelompok-kelompok resistensi juga termasuk dalam kebijakan tersebut.

Aktivitas pertahanan Iran di sektor rudal merupakan salah satu isu yang sangat ditekankan dalam kebijakan Trump. Menyusul pengumuman resmi keluarnya AS dari JCPOa, Trump menetapkan strategi khusus untuk Iran. Senjata strategis pemerintah AS, seperti di masa lalu, hanya dengan meningkatkan sanksi, memaksa perubahan kebijakan Republik Islam, memaksa Iran merundingkan isu-isu regional, isu-isu pertahanan dan mengubah teks JCPOA dengan tujuan menghancurkan pengaruh regional Iran.

Pemerintah Trump pada awalnya mencoba menangguhkan implementasi JCPOA sehingga membuat investor asing khawatir untuk terjun dalam perekonomian Iran. Dengan berpalingnya investor asing dari perekonomian Iran, diharapkan Iran pada akhirnya akan keluar dari JCPOA.

Tetapi setelah mengemukakan rencana tersebut, Trump menghadapi berbagai reaksi tegas dari empat anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan menegaskan bahwa itu adalah perjanjian internasional yang bahkan telah diakui dengan resolusi Dewan, oleh karena itu AS tidak dapat dengan mudah berbicara tentang perundingan ulang atau kemungkinan pembatalan JCPOA.

Dalam pernyataan Trump, tidak ada yang dikatakannya kecuali tuduhan palsu terhadap bangsa Iran. Kebohongan Amerika Serikat kini telah menjadi lebih jelas bagi seluruh rakyat Iran dan masyarakat dunia. Sekarang, tanda-tanda ketidakpercayaan tersebut menjadi lebih jelas. Ancaman yang dikemukakan sebenarnya merupakan lapisan baru politik konfrontatif guna menguji perlawanan Iran di hadapan tekanan Amerika.

Ketua National Iranian American Council (NIAC), yang berbasis di Washington, ibukota AS, dalam sebuah wawancara dengan al-Monitor menyatakan, "... Literaturnya (Donald Trump) tentang Iran dan kunjungan luar negeri perdananya (sebagai Presiden Amerika Serikat) ke Arab Saudi, semua ini, mengindikasikan jalur konflik dan perang yang jauh jauh lebih besar."

Ayatullah Khamenei, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, dalam sebuah pernyataan pada pertemuan dengan para keluarga syuhada menyinggung ucapan mengancam Trump dan pejabat AS lainnya, dan menilainya sebagai omong kosong. Beliau mengatakan, "... Omong kosong Presiden Amerika Serikat bukanlah hal baru karena sistem Republik Islam telah menghadapi berbagai plot tersebut sejak awal, namun musuh-musuh Iran tidak mampu melakukan apapun."

Strategi yang diumumkan Trump, pada hakikatnya bersifat repetitif dan kelanjutan kebijakan Gedung Putih sebelumnya. Dengan pelaksanaan proyek yang menurutnya akan menghalangi Iran menikmati kepentingan ekonomi JCPOA, Trump berusaha membuat masa depan Iran menjadi buram dan tidak pasti.

Kriteria perspektif Tramp, khususnya dalam permusuhan terhadap Iran, menurut banyak analis, Trump dengan keputusannya yang tergesa-gesa, mungkin dapat mengubah banyak sistem politik dan ekonomi Amerika di dunia, namun itu tidak berarti masyarakat internasional tidak akan melawan Amerika.

Amerika Serikat, pada periode sebelum Trump, telah berusaha keras menaklukkan Iran dengan menggunakan senjata sanksi selama lebih dari tiga dekade. Namun pada satu titik menyadari bahwa sanksi tidak efektif dan Eropa tidak menunjukkan keinginan untuk mengekor kebijakan Amerika Serikat terkait sanksi anti-Iran. Amerika meski menyadari dengan baik bahwa Iran tidak pernah mengancam pihak lain atau memproduksi senjata nuklir, tetap saja berusaha mengemukakan tuduhan infaktual dan ancaman terhadap Iran.

Bagian penting dari kebijakan Trump terhadap Iran adalah melemahkan kekuatan demokrasi agama di Iran dengan tujuan mempengaruhi kondisi internal dan menciptakan konflik dan perpecahan dalam negeri. Dikte soal terjadinya perselisihan antara pemerintah dan rakyat di Iran, merupakan agenda utama di balik politik strategis AS. Ancaman dan agitasi tersebut, sekali lagi adalah lapisan baru dari tindakan konfrontatif AS untuk menguji perlawanan Iran di hadap tekanan AS.