Iran, 40 Tahun Pasca Revolusi Islam (12)
Sejak Revolusi Islam menang dan Iran berhasil memotong tangan AS di Iran, para politisi Washington, baik Demokrat maupun Republik, secara berkesinambungan bahasa ancaman terhadap Iran.
Menyusul kemenangan Donald Trump pada tahun 2016, muncul banyak pertanyaan tentang apakah terhadap perubahan dalam rezim kontra-Iran AS-Iran dan apa perbedaan "Trump" dengan menjadi Ronald Reagan, George W. Bush atau Barack Obama? Serta apakah perbedaan tersebut akan menggiring rezim kontra-Iran oleh AS melalui jalur baru?
Marie Cecil, seorang sosiolog Perancis dan analis politik Amerika, terkait perilaku dan kepribadian Trump mengatakan, "Donald Trump, melalui konfrontasi dengan Iran, ingin mengubah perimbangan Timur Tengah (Asia Barat) bukan di sektor geopolitik melainkan untuk tujuan ekonomi, yang sesuai dengan kepribadiannya."
Ditambahkannya, "Faktanya adalah bahwa situasi saat ini di kawasan menyusul munculnya fenomena seperti Trump, semuanya adalah warisan dari politik Amerika. Tidak boleh dilupakan bahwa ada sedikit perbedaan dalam sifat perilaku antara Trump dan para pendahulunya. Kecuali Trump kurang berpengalaman dibanding mereka—dan pada dasarnya dia tidak tahu apa-apa tentang politik dan logika politik—namun sampai Trump dan rekannya benar-benar memahaminya apa yang terjadi di di Amerika dan dunia, mungkin ada banyak kejadian tak terduga yang merugikan Amerika dan seluruh dunia."
Para pejabat AS, baik di masa lalu maupun sekarang, melakukan apa saja yang dapat mereka lakukan untuk memukul Iran, namun mereka harus tahu bahwa siapa pun yang menyerang bangsa Iran, dipastikan akan berakhir dengan merugikan dirinya sendiri.
Sebagaimana dikatakan Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Udzma Sayyid Ali Khamenei, "Semua pihak, termasuk musuh, kawan yang ikhlas dan teman yang terkadang hati mereka terguncang, mengetahui bahwa Republik Islam itu kuat dan kokoh, dan bahwa musuh tidak bisa memukul Iran melainkan bangsa Iran yang akan menampar mereka..."
Amerika Serikat sepenuhnya menyadari kemampuan dan kekuatan Republik Islam dan tahu bahwa Washington tidak dapat berhasil jika bertindak secara unilateral. Oleh karena itu, AS berusaha keras menggalang negara-negara lain di kawasan dan dunia untuk menyertainya dalam melawan Tehran serta menciptakan kemufakatan global dalam melegitimasi langkah-langkah anti-Irannya.
Dalam hal ini, sejumlah rezim regional seperti Arab Saudi dan Bahrain, beranggapan mereka mampu mengubah kondisi dengan cara mereka sendiri, sesuai dengan klaim Amerika anti-Iran. Amerika Serikat juga mengandalkan koalisi dengan sejumlah rezim Arab di kawasan tersebut dan rezim Zionis Israel.

Situs Arab News baru-baru ini menulis bahwa meskipun Washington berusaha untuk menciptakan koalisi global melawan Iran, namun Departemen Luar Negeri AS mengklaim tidak akan mengaktifkan koalisi global tersebut pemerintah Iran, namun akan mencoba untuk menggunakannya bersama dengan Republik Islam. Menurut media Arab, secara perlahan-lahan, tujuan utama Presiden Amerika Serikat pacsa keluarnya Washington dari kesepakatan nuklir dengan Iran, yaitu untuk mencapai kesepakatan baru, akan tercapai.
Tentu saja, sekutu regional Washington melihat kondisi ini sebagai peluang, karena mereka hanya dapat berharap bertahan hidup melalui krisis trans-regional. Yang pasti AS akan fokus pada tujuannya sendiri. Di antara keprihatinan serius Gedung Putih, adalah kritik tajam Perancis, Inggris, Jerman, Rusia dan Cina karena keluarnya Washington dari JCPOA, dan penentangan negara-negara tersebut pada tuntutan Trump.
Kebersamaan rezim-rezim kriminal dan pembunuh anak-anak sangat menguntungkan Amerika Serikat. Washington menilai sikap dan kebijakan tersebut sebagai bagian strategis dari pembentukan koalisi regional yang diupayakan pemerintahan Trump. Jelas bahwa Gedung Putih tidak sendirian dalam proses ini, dan menurut para pejabat rezim Zionis, mereka mengupayakan politik anti-Iran bersama dengan Washington, dari tiga front.
Esensi dari tindakan AS menciptakan ketegangan dan konflik di kawasan, dan kepatuhan negara-negara regional pada politik tersebut tersebut tidak memiliki makna lain kecuali upaya menciptakan krisis baru yang dibidani oleh Amerika Serikat.
Selama beberapa dekade terakhir, kebijakan AS mendukung rezim Zionis dan rezim opresor di kawasan telah menciptakan konflik berkesinambungan di satu sisi, dan munculnya fenomena terorisme di sisi lain. Mitra dan sekutu Amerika di kawasan merupakan sponsor utama terorisme internasional, yang bahkan tidak berbelas kasihan terhadap warga Amerika di dalam Amerika Serikat. Berlanjutnya kebijakan terseut oleh Amerika Serikat merupakan sebuah kesalahan strategis yang fatal dengan konsekuensi destruktif bagi kawasan dan dunia.
Presiden AS Donald Trump Turkmen telah lebih terbuka menunjukkan pendekatan konfrontatif dengan Iran. Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, dalam pidatonya di perpustakaan Reagan di California menunjukkan kepada dunia bahwa Gedung Putih meupayakan perubahan mendasar pada kebiajkan domestik, regional dan global di Iran di bidang sosial, politik dan militer.
Dalam hal ini South China Morning Post menulis, "Pejabat pemerintah AS secara tidak langsung menyamakan potensi kemufakatan tersebut seperti koalisi melawan Daesh (ISIS) di Irak dan Suriah. Namun, sejumlah ahli menilai koalisi semacam itu merupakan bagian dari program permanen pemerintah AS sejak dulu."
Proyek Iranphobia, merupakan pilar utama politik regional Amerika, yaitu pendekatan yang telah ditempuh sejak era pemerintahan Obama. Jika kita merunut kembali ke masa lalu, kita akan menyaksikan bahwa kebijakan para politisi Amerika, bahkan sebelum Obama, merupakan mata rantai dari kebijakan konfrontatif Amerika anti-Iran.

Amerika Serikat mengacu dua tujuan setelah pasca kegagalan makarnya tekait program nuklir Iran. Tujuan pertama adalah melanjutkan kebijakan Iranphobia di kawasan. Adapun tujuan kedua Amerika Serikat adalah penentangan lunak terhadap peran Iran di tingkat regional dan internasional.
Isu yang menjadi highlight dalam politik Trump anti-Iran adalah gerakan tergesa-gesa Ameriak Serikat untuk mengeksploitasi sescara komersil transformasi dan perubahan kondisi regional dan global. Trump melihat segala sesuatu dari sudut pandang perdagangan dan ekonomi, dan kunjungan luar negeri perdananya ke Arab Saudi, yang berakhir dengan kontrak senilai 100 miliar USD, menunjukkan bahwa perjalanan tersebut merupakan awal yang baik bagi Trump.
Oleh sebab itu, pernyataan Trump bahwa dia menuduh Iran mendukung terorisme bukanlah hal baru. Yang pasti adalah bahwa presiden baru Amerika Serikat sangat haus untuk intervensi di kawasan, tetapi mengingat gelombang kritik internasional dan penentangan terhadap politik tidak bijaksananya, dia tidak akan mampu membentuk konsensus anti-Iran.
Amerika Serikat dalam tiga dekade terakhir menuding Iran berupaya menggapai senjata nuklir, intervensi dalam urusan negara-negara regional, mendukung terorisme dan pelanggaran hak asasi manusia. Sekarang tuduhan yang sama tetap dilontarkan dengan tambahan klaim soal kekhawatiran terhadap kemampuan rudal dan pengaruh regional Iran.
Tekanan Amerika Serikat dan sekutunya di kawasan terhadap Iran telah dimulai sejak era Perang Pertahanan Suci dengan dukungan senjata untuk rezim Saddam bahkan dengan menyuplai senjata kimia, boikot ekonomi dan berbagai upaya untuk mereduksi partisipasi rakyat Iran dalam pemilu. Permusuhan AS terhadap Iran tidak akan pernah berhenti dan Washington akan selalu menilai Republik Islam sebagai ancaman. Namun di sisi lain, selama hampir empat dekade Iran telah menunjukkan kemampuannya menghadapi segala potensi makar dan propaganda Amerika Serikat.