Iran, 40 Tahun Pasca Revolusi Islam (14)
-
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Sayid Ali Khamenei.
Tahun lalu, Republik Islam mampu mengibarkan panji kemuliaan dan kekuatan bangsa Iran di kawasan dengan berpartisipasi memberangus kelompok teroris Takfiri dan mewujudkan keamanan.
Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Udzma Sayyid Ali Khamenei, menekankan bahwa kehadiran Republik Islam Iran di sejumlah negara regional dilakukan atas permintaan pemerintah dan rakyat negara-negara tersebut.
Beliau menambahkan, Iran tidak sewenang-wenang dan tidak mencampuri urusan negara-negara regional. Melainkan mereka meminta bantuan dan Iran pun bergegas memberikan bantuan dengan tujuan logis dan peritungan rasional, serta bukan karena emosi.
Salah satu tujuan Revolusi Islam adalah perluasan budaya muqawama di hadapan sistem imperialis global. Republik Islam Iran sekarang telah memasuki usia ke-40 tahun dan memperjuangkan hak bangsa-bangsa tertindas juga dijelaskan dalam undang-undang dasarnya. Ini telah menjadi sebuah pedoman Revolusi Islam yang telah dilaksanakan dengan baik selama empat dekade terakhir. Memberikan dukungan segera kepada kaum tertindas dan Muslim dunia termasuk prinsip dalam politik luar negeri Republik Islam.
Pasal ketiga UUD Iran butir ke-16 disebutkan bahwa penyusunan politik luar negeri negara berdasarkan parameter Islam, komitmen persaudaraan terhadap seluruh umat Islam dan dukungan segera terhadap kaum tertindas.
Doktor Sayyid Jalaluddin Madani dalam buku UUD dan Lembaga-Lembaga Politik Republik Islam Iran, dalam menjelaskan pasal 154 UUD Iran menulis, "Selama bangsa-bangsa tidak memiliki tekad untuk memperjuangkan hak mereka, maka tidak ada peluang untuk mengubah kondisi mereka, dan ketika mereka sadar dan ingin memperjuangkan hak-hak mereka yang terampas, akan terjadi perubahan dan Republik Islam akan mendukung gerakan tersebut di mana perubahan itu dimulai dari dalam sehingga tidak termasuk dalam kategori intervensi. Karena kekuatan dan stabilitas pemerintah sangat bergantung pada dukungan dan tuntutan rakyatnya. Ketika sebuah bangsa membutuhkan bantuan, bangsa tersebut sedang memanfaatkan haknya bukan bantuan asing.

Rahbar dalam pidatonya menekankan bahwa dukungan dan bantuan tersebut merupakan kebijakan permanen Republik Islam dan mengatakan, "Jika kami mengintervensi, kami akan mengemukakannya dengan tegas, kami mengintervensi dalam hal penentangan terhadap Israel, hasilnya adalah kemenangan Perang 33 Hari dan Perang 22 Hari. Setelah ini, bangsa dan kelompok manapun yang memerangi rezim Zionis, kami akan berada di belakang mereka, membantu mereka dan dalam kami tidak segan mengemukakan hal ini."
Dari sudut pandang Republik Islam Iran, yang bersumber dari keyakinan agama dan nilai-nilai serta komitmen terhadap hak-hak semua bangsa, tanpa memandang ras, agama atau budaya; semua bangsa harus menikmati hak yang sama dalam sistem internasional dan tidak boleh menghadapi diskriminasi dan kesewenang-wenangan dari negara manapun.
Republik Islam menentang agresi dan pendudukan, dan kapan pun mendeteksi sebuah bangsa membutuhkan perlindungan dari agresor, maka Iran akan berdiri dan mengutuk aksi kejahatan tersebut.
Imam Khomeini, pendiri Republik Islam Iran, mengatakan, "Kita harus mendukung orang-orang yang tertindas di dunia ... karena Islam adalah pendukung semua orang yang tertindas di dunia," (Sahifeh Noor, hal. 4, hal. 3), dan "Iran akan mengerahkan dukungannya untuk membantu umat Muslim lainnya." (Sahifeh Noor, jilid 11, hal. 262).
Sikap ini berarti penentangan terhadap politik dan perilaku imperialisme. Revolusi Islam didasarkan pada budaya perlawanan, pengorbanan, kesyahidan, kebebasan, kepercayaan diri, keterkaitan antara agama dan politik, perlawanan terhadap imperialisme serta keadilan, dan sejak awal menentang sistem imperialis dunia.
Salah satu hak mendasar manusia adalah "hak untuk hidup". Saat ini ada negara-negara yang didukung AS dengan mudah melakukan kejahatan dan melanjutkan kejahatan mereka tanpa sedikit pun merasa khawatir. Rezim Zionis yang haus darah telah selama 70 tahun terakhir menjadi kanker bagi masyarakat di kawasan, dan pemerintah AS selalu mendukung rezim kriminal tersebut.
Arab Saudi juga menjadi bagian dari agresi tersebut, di mana Riyadh telah menyerang Yaman sejak 25 Maret 2015, namun tidak ada tuntutan dari AS soal pelanggaran hak asasi manusia terhadap rezim Al Saud.

Seorang penulis dan analis Amerika, Rania Khalik, di Twitter-nya, menyinggung fakta bahwa Arab Saudi menyerang rakyat Yaman yang tertindas secara brutal dan menulis, "Di Yaman, setiap jam seorang warga tewas karena kolera dan penyebab penyebaran kolera di Yaman, adalah bombardir dan pengepungan Arab Saudi, yang didukung oleh Amerika Serikat."
Meski selalu ada gerakan dan perjuangan anti-imperialisme di setiap periode di masa lalu, namun dengan munculnya Revolusi Islam Iran, terjadi transformasi besar telah dalam membangkitkan nilai-nilai dan budaya perlawanan. Hari ini, dapat dikatakan bahwa perjuangan nilai-nilai dan cita-cita Republik Islam Iran telah menjadi perspektif bangsa-bangsa yang hak mereka telah terampas, untuk bangkit melawan hegemoni global. Efek dari transformasi ini dapat dilihat dalam kebangkitan negara-negara tertindas untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Negara-negara tertindas, yang diilhami oleh Revolusi Islam Iran, telah yakin bahwa mereka memiliki peluang untuk menang menghadapi kediktatoran dan imperialisme. Jadi, budaya perlawanan dalam bentuk gerakan islami di negara-negara Muslim atau budaya perlawanan terhadap penindasan telah terbentuk dan terus diperkuat.
Menyusul globalisasi nilai-nilai Revolusi Islam, berbagai slogan dan gerakan dalam mengekspresikan penentangan terhadap dominasi Amerika dan kecaman terhadap pendudukan Israel di Hari Quds Sedunia juga berubah menjadi gerakan global. Protes terhadap dominasi dan pelanggaran terhadap kesepakatan dan rendahnya tanggung jawab kekuatan dunia terhadap isu-isu global, seperti lingkungan hidup, perlucutan senjata nuklir, rasisme dan diskriminasi, telah menjadi sebuah tradisi. Di sektor struktur, perlawanan terhadap rezim imperialisme global dan hegemoni di lembaga-lembaga internasional seperti Dewan Keamanan PBB dan lembaga moneter dan keamanan, menjadi prioritas.
Efek dari Revolusi Islam terhadap budaya resistensi jelas dapat dilihat dari perjuangan bangsa-bangsa tertindas menghadapi penindasan oleh rezim penjajah dan sistem imperialisme global.
Menurut banyak analis, kini independensi dari kekuatan hegemoni dan imperialis bagi banyak bangsa yang tertindas telah menjadi sebuah nilai penting, dan perlawanan terhadap sistem dominasi global dan sistem diskriminatif internasional juga semakin meningkat.