2021; Tahun Sulit dan Berdarah bagi Jurnalis
(last modified Thu, 23 Dec 2021 11:49:06 GMT )
Des 23, 2021 18:49 Asia/Jakarta
  • Perlakuan kasar terhadap jurnalis (dok)
    Perlakuan kasar terhadap jurnalis (dok)

Data menunjukkan sekitar 488 wartawan dipenjara dan 46 lainnya terbunuh di tahun 2021. Angka ini termasuk data tertinggi dari jumlah jurnalis dan wartawan yang dipenjara selama 25 tahun terakhir.

Jumlah wartawan yang dipenjara di tahun 2021 karena aksi penumpasan media di Myanmar, Belarusia dan Hong Kong meningkat sekitar 20 persen.

Saat ini tahun 2021 hampir berakhir, dan kita selama satu tahun lalu menyaksikan banyak peristiwa manis dan pahit. Jurnalis dan wartawan di seluruh dunia adalah pewarta berita tersebut, tapi di satu sisi mereka juga menjadi fokus berita penting.

Berita pertama adalah Maria Ressa, jurnalis dan penulis Amerika keturunan Filipina dan Dmitry Muratov, jurnalis 59 tahun dari Rusia mendapat hadiah Nobel Perdamaian tahun 2021 karena upaya mereka membela kebebasan berekspresi.

Hadiah senilai 10 juta krona Swedia diberikan kepada dua jurnalis ini, karena mereka dengan berani berjuang membela kebebasan pers, dan menjadi wakil dari seluruh jurnalis yan berjuang di dunia menegakkan demokrasi dan kebebasan pers. Brit Andresen, ketua Komisi Nobel saat mengumumkan nama kedua jurnalis ini mengatakan, "Di dunia ketika demokrasi dan kebebasan pers berada dalam kondisi yang kurang menguntungkan, Maria Ressa dan Dmitry Muratov, mewakili seluruh jurnalis, membela nilai-nilai ini."

Maria Ressa adalah pendiri dan CEO lama Rappler, situs berita online Filipina. Pada tahun 2020, ia dituduh menerbitkan berita palsu di dunia maya di bawah Undang-Undang Kejahatan Siber Filipina yang kontroversial, tetapi tuduhan ini dikritik oleh kelompok hak asasi manusia dan jurnalis yang menuduh Filipina menyerang kebebasan media.

"Penghargaan ini benar-benar milik semua jurnalis di seluruh dunia," kata Ressa dalam sebuah wawancara. Ia menambahkan, "Kami membutuhkan bantuan di banyak bidang ... Jurnalisme di dunia saat ini jauh lebih sulit dan berbahaya dari sebelumnya."

Dmitry Muratov adalah koresponden untuk surat kabar Rusia Novaya Gazeta, yang menjadi editornya dari 1995 hingga 2017, dan dikenal karena menerbitkan laporan tentang isu-isu seperti korupsi pemerintah dan pelanggaran hak asasi manusia.

Muratov telah terlibat dalam liputan media tentang pembunuhan jurnalis di Rusia selama bertahun-tahun, dan setelah pengumuman Hadiah Nobel Perdamaian, dia mengumumkan bahwa dia akan menyerahkan penghargaannya kepada surat kabar Novaya Gazeta dan jurnalisnya yang terbunuh.

Sangat disayangkan di tahun 2021, dua jurnalis Iran, Mahshad Karimi dan Reyhaneh Yassini meninggal dunia akibat kecelakaan bus yang mereka tumpangi saat menjalankan tugas, dan membuat komunitas jurnalis Iran berduka.

Selain itu, 46 jurnalis dan aktivis media telah kehilangan nyawa mereka dalam satu tahun terakhir, yang sebagian besar terkait dengan teror dan pembunuhan, dengan 65% dari mereka yang terbunuh sengaja dijadikan sasaran dan dihilangkan. Meksiko dan Afghanistan tetap menjadi negara paling berbahaya bagi jurnalis pada tahun 2021, dengan masing-masing 7 dan 6 kematian. Dalam peringkat ini, Yaman dan India, masing-masing dengan empat jurnalis tewas, berada di posisi ketiga bersama-sama.

Statistik menunjukkan bahwa jumlah jurnalis dan aktivis media yang disandera di seluruh dunia pada tahun 2021 adalah 65, dua kali lebih banyak dari tahun lalu. Suriah, Irak dan Yaman adalah tiga negara dengan jumlah penculikan tertinggi, masing-masing dengan 44, 11 dan 9.

Kondisi mengkhawatirkan dari data menunjukkan wartawan yang ditangkap selama tahun 2021 dan mengisyaratkan 488 kasus penangkapan jurnalis di seluruh dunia. sejak perilisan pertama laporan tahunan di tahun 1995 hingga kini, jumlah wartawan yang ditangkap tidak sebanyak ini.

Peningkatan luar biasa ini sebagian besar merupakan hasil dari tindakan yang diambil di Myanmar, Belarusia dan Cina. Pengenalan undang-undang keamanan baru di Hong Kong oleh otoritas Cina telah secara signifikan meningkatkan jumlah penangkapan dan penahanan jurnalis selama setahun terakhir.

Cina memimpin dengan memenjarakan 127 jurnalis. Myanmar atau pemenjaraan 53 jurnalis berada di urutan kedua, disusul Vietnam (43 jurnalis terpenjara), Belarus (32) dan Arab Saudi (31).

Di bagian lain dari laporan ini, disebutkan jumlah kasus penangkapan dan penahanan jurnalis perempuan yang tinggi dan belum pernah terjadi sebelumnya di dunia dan penyesalan diungkapkan tentang masalah ini. Sekitar 60 jurnalis wanita telah ditangkap dan ditahan di seluruh dunia selama setahun terakhir, lebih dari sepertiga lebih banyak dari tahun 2020.

Belarusia adalah negara dengan 17 lebih banyak jurnalis wanita yang ditahan (17 kasus) daripada rekan-rekan pria mereka (15 kasus).

 Kini dengarkan berita aneh dari dunia jurnalis, supaya kalian menyadari bahwa mereka yang mempublikasikan berita, terkadang menjadi subyek berita. Chris Bryant, seorang anggota Parlemen Inggris, telah mengajukan gugatan terhadap seorang jurnalis Iran bernama Ali Rezvani, yang melanggar prinsip-prinsip internasional kebebasan pers, menyerukan larangan perjalanan dan pembekuan asetnya di negara itu.

Inggris, yang dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi markas untuk meluncurkan dan mendukung jaringan pembangkang berbahasa Persia, telah memboikot koresponden IRIB dan mulai menyiarkan berita dengan banyak kebisingan.

Selain aneh dan agak menggelikan, hal itu semakin mengekspos standar ganda Barat dalam arus informasi yang bebas. Selama bertahun-tahun, banyak saluran Republik Islam Iran telah dihapus dari Hotbird, Arabsat, Nilesat, dan beberapa satelit lainnya sehingga berita dan informasi dari Iran tidak menjangkau pemirsa. Di sisi lain, kita melihat bahwa di satelit-satelit ini, ada jaringan yang mempromosikan tindakan teroris, dan mereka mewawancarai para pembunuh dan teroris, dan mereka tidak ditangani sedikit pun. Untuk ini dapat ditambahkan boikot wartawan, yang tampaknya menjadi rencana baru oleh pemerintah Barat untuk menekan arus informasi.

Pada hari-hari terakhir tahun ini, Organisasi Wartawan Lintas Batas (RSF) telah mengajukan pengaduan terhadap rezim Zionis ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), menyebut pemboman sebuah gedung media di Gaza sebagai kejahatan perang. Rezim Zionis membom Menara Al-Jalaa di Gaza, markas beberapa jaringan berita dan media internasional, dan tentu saja, wartawan media, pada 15 Mei, sambil mengancam wartawan secara serius. Serangan itu tidak hanya menimbulkan kerusakan material yang berat tetapi juga menghambat laporan perang di Jalur Gaza.

Federasi Jurnalis Internasional (IFJ), dalam sebuah pernyataan kepada Dewan Keamanan, menyerukan tindakan segera oleh Dewan Keamanan untuk mengakhiri serangan terhadap jurnalis yang ditempatkan di Jalur Gaza. Menurut federasi, tujuan serangan terhadap wartawan adalah untuk membungkam mereka yang melaporkan peristiwa di Gaza.

Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) di New York menanggapi serangan tersebut menyatakan,"Serangan terhadap sebuah gedung yang telah lama dikenal sebagai markas besar media internasional menunjukkan bahwa Kementerian Peperangan rezim penjajah Quds menargetkan media untuk menutupi penderitaan warga Gaza."

Selain media dan organisasi aktif di bidang ini, Sekjen PBB, Antonio Guterres saat merespon serangan terhadap kantor media asing di Gaza dan ancaman terhadap jurnalis menandaskan, "Insiden seperti ini harus dicegah dengan biaya apapun, karena penargetan struktur sipil dan media jelas melanggar hukum internasional."

Federasi Jurnalis Internasional seraya merilis laporan di bulan September menyatakan bahwa sejak berkuasanya Taliban di Afghanistan, aktivitas 153 media di negara ini dihentikan dan jurnalis perempuan juga dilarang bekerja.

Penutupan sistem informasi dan meningkatnya ancaman dan kekerasan terhadap pekerja media adalah salah satu konsekuensi dari Taliban yang mendapatkan kekuasaan di negara itu, dan laporan tentang wartawan yang ditahan, peralatan mereka disita, dan bahkan disiksa atau dipukuli di Afghanistan, menurut badan tersebut mengalami peningkatan. Federasi Jurnalis mengatakan bahwa kebangkitan Taliban di Afghanistan telah mempengaruhi aktivitas lebih dari 7.000 pekerja media, dan banyak dari mereka menolak untuk melanjutkan, bersembunyi dan mengkhawatirkan kehidupan mereka dan kehidupan keluarga mereka.

Wartawan Afghanistan juga menghadapi ancaman serius untuk diserang dan aksi balas dendam lebih dari seribu penjahat yang dibebaskan oleh pemerintah Taliban, tahanan yang beritanya disampaikan oleh para jurnalis.

Anthony Blanger, jurnalis Federasi Jurnalis Internasional menulis, "Saya percaya bahwa apa yang akan kita lihat hanyalah media resmi, atau media Taliban, di mana tidak akan ada wanita. Semua jurnalis di luar media tersebut dikecualikan. Meskipun jurnalisme tidak mudah di Afghanistan sebelum Taliban berkuasa dan banyak jurnalis kehilangan nyawa, situasi bagi jurnalis sekarang lebih gelap."