Syahid Soleimani di Mata Para Sahabat
(last modified Tue, 28 Dec 2021 11:43:48 GMT )
Des 28, 2021 18:43 Asia/Jakarta
  • Jenderal Syahid Qasem Soleimani dalam sebuah pawai di Tehran.
    Jenderal Syahid Qasem Soleimani dalam sebuah pawai di Tehran.

"Engkau berjuang selama tahun-tahun, doa yang baik dan tatapan risauku terus mengikutinya agar ia dijauhi dari mara bahaya. Namun, tatapan ia sendiri justru tertuju ke tempat lain dan bagaimanapun, Tuhan akhirnya melebihkan derajat orang-orang yang berjihad atas kami orang-orang yang duduk.

Dalam menulis isi hatiku untuk Hajj Qasem, aku lebih suka berbicara langsung dengannya, karena aku tidak berpikir dia sudah tiada."

Ahmad Yousefzadeh, penulis buku "Mungkin Sebelum Azan Subuh." Di awal bukunya, ia menumpahkan rasa cintanya kepada komandannya, Syahid Qasem Soleimani selama era perang pertahanan suci. Ia menulis, "Salam Haji, aku berniat untuk menerbitkan tulisan-tulisan ini dalam sebuah buku suatu hari nanti, mungkin itu akan tetap ada setelah kematianku, yang mungkin akan menjadi sebuah kematian yang biasa dan hambar, tidak seperti kematianmu, berdarah, menggemparkan, dan melahirkan gerakan.

Lagi pula, ada perbedaan antara orang seperti aku yang duduk di rumah dan seorang mujahid seperti engkau yang tidak pernah melepaskan sepatu selama 40 tahun. Sekarang delapan bulan telah berlalu sejak tengah malam yang aneh itu dan pagi yang mengerikan ketika tangan dan cicinmu mengguncang halaman dunia maya.

 

Sebelum mendengar kabar itu, aku pernah merasakan kesedihan sebesar dan sedalam itu hanya satu kali. Waktu itu, kami sedang duduk di ruang istirahat di kamp Mosul, menghafal al-Quran dengan temanku, Ali Hadi. Farshid Fattahi, seorang tawanan Khuzestan, sambil menangis membawa kabar tentang wafatnya Imam (Imam Khomeini ra) yang ia baca di surat kabar Irak... dan setelah itu, kesyahidanmu...."

Pada 3 Januari 2020, sebuah kejahatan lain dilakukan oleh arogansi global Amerika Serikat terhadap bangsa Iran, sebuah tindakan yang menenggelamkan tidak hanya rakyat Iran tetapi semua pencari kebebasan di dunia ke dalam duka yang besar.

Pada hari itu, Trump, orang pertama dalam pemerintahan AS, dengan pengecut memerintahkan pembunuhan Komandan Perlawanan, Komandan Islam, dan Letnan Jenderal Syahid Qasem Soleimani. Ia dibunuh saat sedang melaksanakan sebuah tugas.

Perjuangan Jenderal Soleimani selama hidupnya yang penuh berkah dapat dibagi menjadi tiga tahap. Fase pertama terkait dengan era perang yang dipaksakan dan pertahanan suci. Fase kedua terkait dengan penugasannya untuk memulihkan situasi di bagian timur Iran dan membersihkan wilayah dari para penjahat. Fase ketiga adalah perang melawan Takfiri, al-Qaeda, dan Daesh di negara-negara Islam. Di semua periode ini, ia mencatat kesuksesan yang besar dan dengan langkah-langkah bijaknya, ia telah menciptakan keamanan di Iran dan bahkan di negara-negara kawasan.

Faktanya, sepak terjang Jenderal Soleimani telah membuka mulut musuh untuk memuji keberanian, kecerdasan, dan kebijaksanaannya, baik selama masa Pertahanan Suci maupun sekarang dalam menghadapi krisis di kawasan.

Selama masa perang, ia merumuskan strategi serangan terbaik di garis pertempuran dan memimpin langsung pelaksanannya. Dia adalah seorang komandan yang tidak mengenal lelah dan dengan kecerdasannya yang tinggi, dia mengatur dan memimpin divisi tempur terkuat, yang merupakan salah satu pelopor dalam operasi-operasi pertahanan suci.

Kunci utama keberhasilan Divisi Sarollah 41 Kerman yang dipimpin oleh Jenderal Soleimani adalah bahwa selama operasi, ia selalu berkata kepada rekan-rekannya, "Kemarilah" dan bukan memerintah, "Pergilah."

"Ruang komandonya adalah garis depan pertempuran," kata salah satu teman seperjuangannya. "Dia selalu menjadi penghalang antara pasukannya sendiri dan musuh, dan nyawa pasukannya sangat mulia dan berharga baginya. Itulah sebabnya, ia menyusun semua perencanaan operasi, mulai dari mengidentifikasi medan perang dan mengarahkan pasukan dengan kepekaan tinggi. Setelah memeriksa informasi medan perang dan posisi musuh secara utuh, dia mengirim pasukannya ke medan perang," tuturnya.

Fase kedua dari sepak terjang Jenderal Soleimani berhubungan dengan hari-hari setelah perang. Hassan Plark, seorang teman seperjuangan Hajj Qasem, menuturkan, "Setelah perang berakhir dan Hajj Qasem kembali ke Kerman, muncul gangguan keamanan di bagian timur negara. Rahbar (Ayatullah Sayid Ali Khamenei) berkata, "Bukankah Qasem Soleimani ada di sana? Serahkan tugas ini kepada dia."

Perintah Rahbar disetujui oleh Dewan Tinggi Keamanan Nasional Iran dan tugas tersebut diserahkan kepada Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), dan IRGC mendirikan pangkalan Quds di wilayah timur di bawah komando Jenderal Soleimani. Ia selalu berenung, bertawassul, dan kemudian bertindak.

"Suatu pagi dia berkata bahwa ia ingin mengumumkan pengampunan massal di daerah Jiroft dan Kahnooj serta daerah lain yang banyak penjahatnya. Saya ingin mengumumkan bahwa siapa pun yang memegang senjata dan telah berbuat kesalahan, jika dia menyerahkan senjata dan menyerah dalam tiga hari dari sekarang, saya akan mengeluarkan surat pengampunan dan ia akan aman," kenang Hassan Plark.

"Dia memobilisasi media, menyebarkan pengumuman, menggerakkan mobil patroli, dan mengerahkan semua sarana. Dia menentukan titik-titik agar para penjahat bisa menyerahkan diri dan senjatanya serta memperoleh surat pengampunan. Sejumlah rekannya memprotes, tetapi Hajj Qasem berkata, "Saya telah berjanji dan saya akan memenuhinya," ujarnya.

Pada hari pertama pemberian amnesti, sekitar 400 hingga 500 penjahat menyerahkan senjata mereka sampai terjadi antrian panjang. Mereka menyerahkan begitu banyak senjata sehingga kami tidak tahu bagaimana cara membawanya. Dalam dua hari, para penjahat datang dan menyerahkan senjata, tanpa ada darah yang tumpah. Daerah ini menjadi aman dan Provinsi Kerman menikmati rasa aman sampai sekarang.

Fase ketiga dari kehidupan mulia Syahid Soleimani berfokus pada perjuangannya melawan Takfiri, al-Qaeda dan Daesh di negara-negara Islam. "Setelah munculnya gelombang Kebangkitan Islam di Mesir, Libya, Bahrain, dan Tunisia, konflik di Suriah dimulai dengan arahan dan intervensi Amerika Serikat," kata salah satu teman seperjuangan Hajj Qasem tentang bagaimana ia bisa datang ke Suriah.

Konflik itu mulai membara dan menyebar dengan cepat di daerah Daraa, Duma, Rastan, Talbiseh, Homs, dan Abu Kamal, dan berubah menjadi pertempuran bersenjata yang dipimpin oleh Takfiri Wahabi untuk melawan pemerintah sah Suriah. Mereka terus bergerak maju di bawah dukungan AS dan Arab Saudi. Hampir semua perbatasan darat telah runtuh dan hanya perbatasan maritim di Laut Mediterania yang tersisa.

Orang-orang bersenjata telah mencapai Kafr Sousa, sebuah daerah di pusat Damaskus dan senjata sniper mereka telah menargetkan kubah Makam Sayidah Zainab as. Jalan menuju ke Bandara Damaskus telah ditutup... Di sinilah Rahbar berkata kepada Hajj Qasem, "Pergi dan bantu pemerintah Suriah agar tidak jatuh dan pemerintahan Takfiri Wahabi tidak terbentuk, dan ia kemudian pergi ke Suriah…"

Setelah ia datang, semua konspirasi berhasil digagalkan. Ahmad Karimpour, rekan seperjuangan dan penasihat khusus Jenderal Soleimani, mengatakan, "Dia mempertaruhkan nyawanya dengan keberaniannya, tetapi ia sangat berhati-hati dengan keselamatan orang-orang dekat dan pasukannya. Dengan kelihaiannya yang tinggi untuk mendapatkan informasi dari musuh, dia menggagalkan semua rencana musuh dan ia menggagalkan target musuh di semua negara. Ia memanfaatkan semangat anti-Amerika dalam dirinya untuk melawan kekuatan arogan."

Foto Sayid Hassan Nasrallah dan Syahid Qasem Soleimani.

Gerakan yang muncul dengan kesyahidan Hajj Qasem di tengah umat Islam, menunjukkan bahwa setiap tetes darah syahid akan berubah menjadi ratusan dan ribuan tetes, bahkan menjadi lautan darah yang disuntikkan ke tubuh masyarakat. Tetesan darah ini akan menghidupkan kembali masyarakat dan membakar semangat mereka.

Sekjen Hizbullah Lebanon, Sayid Hassan Nasrallah mengatakan, "Saya iri pada Hajj Qasem dan saya bahagia dengan ketetapan (yang digariskan) untuknya, ia berjuang untuk tujuan ini sejak usia muda. Allah memberkati kita dan dia hidup selama 60 tahun, kami tidak sedih dan kami tidak takut. Sebaliknya, darah sucinya adalah kesempatan bagi umat Islam untuk membebaskan diri dari hegemoni dan penjajahan ini, bahkan jika upaya ini sulit, tetapi kemenangan akan segera datang."

"Dalam melawan penindasan dan kebengisan teroris Daesh, kaum Muslim, Kristen, dan Izadi (Yazidi) memanggilnya. Dia mendengar itu dan memenuhinya. Keberaniannya begitu terkenal sehingga lawan-lawannya, dan bahkan musuh-musuhnya di medan perang, memperhitungkan janji, kesetiaan, dan keberaniannya. Ia adalah subjek dari ayat al-Quran yang mengatakan, "Allah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang," tuturnya. (RM)