Keuntungan Besar Twitter dari Konten Kebencian
Bagian dari pendapatan Twitter yang mengesankan berasal dari konten kebencian dari beberapa penggunanya yang paling buruk.
Menurut perkiraan penelitian baru, Twitter akan menghasilkan pendapatan iklan tahunan hingga 19 juta dolar hanya dari 10 akun pengguna yang sebelumnya diblokir di platform ini.
Jika kita katakan bahwa Twitter di bawah manajemen Elon Musk menjadi sebuah platform yang kacau balau, maka saya pikir kebenaran dan hak konten tidak diberikan. Beberapa bulan telah berlalu sejak akuisisi Twitter senilai 44 miliar dolar, banyak hal telah terjadi, di antaranya adalah sebagai berikut:
Elon Musk membubarkan sistem otentikasi platform ini dan meluncurkan sistem baru yang menghadapi banyak penundaan dan masalah.
Kontroversi seputar centang biru telah membingungkan pengguna biasa, pengiklan besar, dan selebritas. Di era sebelum Elon Musk, centang biru di Twitter digunakan untuk menunjukkan bahwa akun kepentingan publik itu valid dan aktif, dan Twitter secara independen memverifikasi identitas akun tersebut berdasarkan kriteria tertentu. Namun setelah kedatangan pemilik baru, terlihat jelas bahwa dia berencana untuk membuat proses otentikasi pembayaran baru melalui "Twitter Blue". Dalam bentuk baru, semua pengguna diperbolehkan memiliki tanda centang biru dengan membayar jumlah bulanan.
Hal berikutnya terjadi pada bulan November, dan Twitter memberhentikan sekitar 3.700 karyawan, setengah dari tenaga kerja perusahaan. Anggota tim otentikasi akun politik juga termasuk yang dipecat, dan tindakan semacam itu dilakukan empat hari sebelum pemilihan sela AS. Pada saat yang sama dengan PHK massal, Twitter memblokir ratusan karyawan untuk mengakses alat pemantauan kontennya, hanya menyisakan 15 karyawan yang memiliki akses.
Tapi sepertinya Twitter dan Musk tidak ada habisnya; Pemilik baru Twitter yang menawarkan untuk membeli jejaring sosial dengan slogan "kebebasan berekspresi" ini memecat "Vijaya Gade", yang bertanggung jawab menutup akun Twitter mantan Presiden AS Donald Trump.
Keputusan emosional ini juga menimbulkan kekhawatiran pengiklan Twitter terbesar, dan merek besar seperti General Mills dan General Motors telah berhenti beriklan di Twitter. Sekarang, bahkan Presiden Amerika Serikat menyatakan ketidaksenangannya dengan pembelian Twitter oleh Elon Musk dan mengatakan bahwa Elon Musk telah memutuskan untuk menyebarkan kebohongan ke seluruh dunia melalui Twitter.
Tentu saja, organisasi sipil dan kelompok aktivis telah meminta perusahaan untuk tidak mengirimkan uang ke Twitter sampai arah baru Twitter ditentukan. Mereka khawatir proses saat ini dan penyesuaian kekuatan perusahaan yang ekstensif akan mempengaruhi cara konten dipublikasikan di jejaring sosial ini.
Musk juga mengumumkan pembentukan "dewan moderasi konten" dengan menekankan bahwa tidak ada perubahan yang dilakukan pada kebijakan konten Twitter. Dia mengatakan bahwa dewan baru ini akan terdiri dari orang-orang dengan berbagai pandangan. Tetapi situasi saat ini menunjukkan bahwa janjinya palsu. Berikut ini kami sebutkan beberapa hal.
Menurut penelitian, pendapatan Twitter dari mengunjungi kicauan 10 akun penuh kebencian mencapai 19 juta dolar.
Institute for Countering Digital Hate (CCDH) telah menganalisis tweet dari 10 akun yang sebelumnya diblokir karena menyebarkan konten kebencian dan teori berbahaya. Ini terlepas dari kenyataan bahwa setelah Elon Musk ditempatkan di pos manajer Twitter, akun-akun ini telah dikeluarkan dari status ditangguhkan.
Kini menjadi jelas bahwa sebagian pendapatan besar Twitter didapat dari konten kebencian sejumlah pengguna terburuknya. Berdasarkan perkiraan studi terbaru, Twitter akan menghasilkan pendapatan iklan tahunan hingga 19 juta dolar hanya dari 10 akun pengguna yang sebelumnya diblokir di platform ini.
Untuk mengecek jumlah kunjungan dari 10 akun yang dimaksud, lembaga ini telah memeriksa dengan cermat hampir 10.000 tweet dalam kurun waktu 47 hari. Menurut survei tersebut, tweet akun tersebut telah dilihat sekitar 54 juta kali pada hari biasa, dan kunjungan akun tersebut diperkirakan mencapai 20 miliar kali dalam 365 hari.
Dengan memanfaatkan data yang dirilis Brandwatch, lembaga ini mencatat bahwa total pendapatan Twitter dari akun tersebut sekitar 19 miliar dolar. Dengan demikian, rata-rata setiap 1000 orang yang melihat iklan akan menyumbangkan 6,46 dolar kepada Twitter.
Penelitian telah menunjukkan bahwa Twitter menampilkan iklan penting di samping tweet kebencian yang paling populer dan informasi yang salah (Hoak). Misalnya, iklan American National Football League (NFL) ditampilkan di bawah tweet yang memberikan informasi palsu tentang vaksin corona.
Berita lain yang mengkhawatirkan adalah Twitter dengan membebaskan iklan Marijuana di jejaring ini berencana mengambil keuntungan dari penjualan produk ini di platformnya.
Twitter sebelumnya menampilkan iklan dengan tema Cannabidiol untuk sejumlah pengguna Amerika, tapi dengan perubahan baru tersebut, jumlah iklan ganja dan turunannya di Twitter melampaui platform pesaing lainnya seperti Facebook, Instagram, dan Tik Tok.
Perusahaan periklanan besar sejak lama mempromosikan produk ganja pada platform milik meta seperti Instagram dengan beberapa batasan geografis dan konten, tetapi tidak secara langsung mempromosikan cannabidiol dan tetrahydrocannabinol (THC).
Keengganan raksasa teknologi media sosial untuk secara permanen menghapus konten online konspirasi dan rasis di berbagai platform yang memicu kebencian terhadap Muslim telah menciptakan masalah yang tidak dapat dijelaskan bagi komunitas Muslim di seluruh dunia.
Institute for Countering Digital Hate (CCDH) mengatakan dalam laporannya bahwa ini memiliki "efek yang mengerikan" dan mencegah Muslim menjalankan kebebasan beragama dan berekspresi secara online.
Twitter gagal menghapus sekitar 3,8 juta tweet anti-Muslim dan hanya berhasil menghapus 15 persen dari tweet tersebut.
Berdasarkan studi Dewan Islam Victoria di Australia, lembaga yang mewakili Muslim di negara bagian Victoria dengan anggota sekitar 270.000 muslim, ada alasan lebih banyak bagi peningkatan proses media sosial mencakup perang anti-terorisme, laporan media dan kelompok sayap kanan dan elit politik di seluruh dunia, bukan saja di negara-negara Barat, tapi di tempat-tempat seperti Myanmar dan India yang menyebarkan kata-kata yang tidak tepat dan keliru serta buruk untuk memprovokasi sentimen anti-Muslim.
Kelompok radikal ini mayoritasnya berbentuk jaringan, dan membagikan data dan informasinya secara online sehingga memperkuat pesan-pesannya. Faktanya mayoritas Islamphobia terburuh dan provokasi anti-Muslim terjadi dalam bentuk online.
Menurut laporan CCDH, perusahaan jejaring sosial tidak mengambil tindakan apa pun terkait 89 persen konten yang mengandung kebencian terhadap Muslim dan konten Islamphobia yang dilaporkan kepada mereka.
Laporan CCDH menyatakan bahwa mereka menemukan 530 pesan anti-Islam yang fanatik, tak manusiawi, rasis dan mengandung klaim palsu, tapi langkah yang diambil terkait perilisan konten seperti ini sangat sedikit.
Masih menurut laporan lembaga ini, dari 89 peresn konten kebencian terhadap Muslim, hanya 11,3 persen yang diambil tindakan, dan 4,9 persen konten seperti ini dihapus.
Youtube tidak berhasil mengambil tindakan apa pun terkait seluruh 23 video yang dilaporkan CCHD, dan Twitter terkait 97 persen dari konten anti-Muslim yang telah dilaprokan juga tidak mengambil tindakan.
Setelah Youtube, Facebook juga tidak mengambil langkah apa pun terkait 94 persen konten seperti ini, dan Instagram memilih diam menyaksikan 86 persen konten-konten seperti ini.
Untuk mengkaji konten kebencian terhadap Muslim, CCHD menandai berbagai postingan dan menyadari bahwa jejaring sosial ini tidak mengambil tindakan apa pun terkait konten-konten seperti karikatur rasis anti-Muslim dan postingan yang menuding seorang muslim biasa sebagai teroris.
Selain itu, berdasarkan laporan, hastag anti-Muslim dimanfaatkan untuk lebih mudah mengakses setiap konten dan ketika hastag disalahgunakan, maka akan semakin mudah memproduksi konten kebencian dan berita palsu (Hoak).
Menurut sebuah studi, pengguna di tiga negara, termasuk India, memproduksi 86 persen konten merusak secara online dalam beberapa tahun terakhir, yang menyebabkan serangan fisik terhadap Muslim dan masjid di seluruh dunia.
Di kondisi seperti ini, PBB memperingatkan bahwa kebencian terhadap Muslim mencapai tahap "epidemi", dan dalam hal ini, tanggal 15 Maret ditetapkan sebagai Hari Melawan Islamphobia. Meski demikian, sampai saat ini, harus diambil banyak upaya oleh perusahaan teknologi untuk mencegah gelombang proses ini di tingkat dunia. Raksasa media sosial yang sebelumnya menyatakan berkomitmen untuk mengerahkan segenap upayanya melawan ujaran kebencian dan radikalisme yang memicu kekerasan, tapi hal ini belum juga terwujud.