Para Peraih Mustafa Prize 2019
Upacara penyerahan penghargaan Mustafa Prize ketiga diadakan di Tehran Vahdat Hall pada 11 November 2019. Acara ini dihadiri oleh tamu dari 30 negara dunia dan 100 undangan dari kalangan akademisi dan ilmuwan dunia Islam.
Penyerahan Mustafa Prize 2019 disaksikan oleh Wakil Presiden Iran untuk Sains dan Teknologi, Sorena Sattari dan Ketua Badan Energi Atom Iran, Ali Akbar Salehi.
Mustafa Prize adalah sebuah penghargaan prestisius di bidang sains dan teknologi dunia Islam, yang diberikan dua tahun sekali kepada ilmuwan top di dunia Islam. Nama penghargaan ini diambil dari salah satu gelar Nabi Muhammad Saw – yang selalu menyeru umatnya untuk menuntut ilmu – yaitu Mustafa atau Yang Terpilih.
Mustafa Prize memberikan penghargaan kepada ilmuwan berprestasi serta membuka kerja sama dan pengembangan sains dan teknologi. Pada tahun 2012, Dewan Tinggi Revolusi Budaya Iran menetapkan penghargaan Mustafa Prize sebagai salah satu simbol keunggulan sains dan teknologi di dunia. Hadiah ini diberikan kepada ilmuwan di dunia Islam yang melakukan inovasi dan berkontribusi dalam meningkatkan kualitas hidup umat manusia.
Karena pentingnya ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia, al-Quran dan hadis menaruh perhatian besar pada kegiatan menuntut ilmu dan menganjurkan kaum Muslim untuk menimbanya. Al-Quran bertanya kepada semua orang, "Apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui?"
Di berbagai ayatnya, al-Quran mencela kebodohan dan memperingatkan tentang dampak buruknya. Rasulullah Saw menganjurkan umatnya untuk menuntut ilmu bahkan sampai ke negeri Cina. Perlu dicatat, posisi Cina cukup jauh dari dunia Islam dan ada banyak rintangan untuk menuju ke sana pada masa itu.
Rasulullah juga bersabda, "Tuntutlah ilmu dari buaian (ketika masih kecil) hingga liang lahat (sampai meninggal dunia)." Perhatian luar biasa Islam pada masalah menuntut ilmu membuat peradaban Islam tumbuh pesat dan menduduki puncak peradaban umat manusia selama berabad-abad.
Para ilmuwan seperti, Ibnu Sina, Muhammad bin Zakaria ar-Razi, dan Abu Raihan al-Biruni, semuanya adalah filosof dan ahli agama yang mengukir keberhasilan besar di berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Pemberian Mustafa Prize dilakukan atas dasar sebuah karya atau prestasi di bidang teoritis dan aplikatif, serta keseluruhan kegiatan ilmiah atau karya seorang ilmuwan di bidang sains dan teknologi. Namun, pendaftaran karya tidak bisa dilakukan oleh orang bersangkutan, tetapi karyanya harus didaftarkan oleh lembaga-lembaga ilmiah atau para ilmuwan top dunia ke Sekretariat Mustafa Prize.
Selama setengah abad terakhir, pengetahuan tentang struktur dasar kehidupan di bumi telah banyak berubah, dan berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti genetika, biologi molekuler, ilmu saraf, dan sejenisnya telah meningkatkan pemahaman kita tentang cara kerja sistem kehidupan.
Penghargaan Musfata Prize diberikan dalam empat kategori yaitu: Information and Communication Science and Technology, Life and Medical Science and Technology, Nanoscience and Nanotechnology, dan All Areas of Science and Technology.
Untuk tiga kategori pertama, nominator harus warga negara salah satu dari 57 negara Muslim tanpa batasan agama, jenis kelamin dan/atau usia. Untuk kategori keempat, hanya Muslim yang dapat dinominasikan tanpa batasan kewarganegaraan, jenis kelamin dan/atau usia.
Tahun ini, Profesor Ugur Sahin, asal Turki dan dosen di Universitas Mainz, Jerman, memenangkan penghargaan Mustafa Prize untuk kategori Life and Medical Science and Technology. Ia meraih penghargaan ini dengan karya "Development and Clinical Testing of mRNA-based Cancer Vaccines that are tailored to the Mutation Profile of a Cancer Patient." Ia melakukan kolaborasi dengan Profesor Ali Khademhosseini, pakar bioteknologi, teknik kimia, dan radiologi kelahiran Iran.
Profesor Ali Khademhosseini adalah dosen di University of California-Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat dan lahir di Tehran, Iran pada tahun 1975. Ia berpartisipasi pada upacara penyerahan penghargaan Mustafa Prize di Tehran dengan karya "Nano and Micro Fabricated Hydrogels for Biomedical Applications."
Banyak peneliti dan ilmuwan Muslim di seluruh dunia berkontribusi pada kemajuan sains dan teknologi dengan inovasi dan temuan mereka. Mereka juga berkontribusi untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dengan demikian, membangun kerjasama dengan mereka akan membantu mengembangkan hubungan ilmiah di antara para ilmuwan Muslim dan juga dengan pusat-pusat riset terkemuka di seluruh dinia.
Ajang untuk memperkenalkan para ilmuwan dan memberikan penghargaan kepada mereka, akan menjadi sebuah teladan yang baik bagi semua ilmuwan di seluruh dunia.
Salah satu penerima Mustafa Prize tahun ini adalah seorang ilmuwan Muslim yang bekerja di bidang teknologi. Profesor Umran S. Inan dari Turki memenangkan Mustafa Prize 2019 untuk kategori All Areas of Science and Technology. Ia adalah rektor Universitas Koc di kota Istanbul, Turki. Profesor Inan meraih penghargaan ini dengan karya "Understanding of whistler-mode wave-particle interaction in near-Earth space, and the electrodynamic coupling between lighting discharges and the upper atmosphere."
Dalam sambutannya, Profesor Inan mengatakan, "Menerima penghargaan yang bernilai ini sangat penting bagi para ilmuwan Muslim dan mereka akan bekerja lebih baik ketika Anda memberikan penghargaan dan penghormatan yang lebih besar kepada para ilmuwan."
"Saya telah melakukan perjalanan ke tujuh benua dan pergi ke banyak tempat, dan melakukan riset di Antartika, Greenland, dan Alaska, dan hari ini saya sangat senang berada di sini," tambahnya.
Penghargaan Mustafa Prize 2019 juga dimenangkan oleh Profesor Hossein Baharvand asal Iran. Ilmuwan kelahiran tahun 1972 ini adalah pakar sel punca dan biologi perkembangan di Institut Royan, Iran. Ia menyabet penghargaan ini dengan karya "Parkinson's treatment and Eye AMD with Stem Cell."
Pemenang lain Mustafa Prize 2019 adalah Dr. Mohammad Abdolahad dari Iran. Ilmuwan kelahiran tahun 1982 ini adalah anggota fakultas teknik listrik dan komputer di Universitas Tehran, Iran. Ia meraih penghargaan ini untuk kategori Nanoscience and Nanotechnology dengan karya, "Translating the Behavior of Healthy and Cancerous Cells into the Electronic Field (New Methods in Diagnosis of Cancer)."
Abdolahad menuturkan, "Saya bersyukur kepada Allah Swt karena diberikan karunia ini sehingga bisa mengambil langkah kecil untuk meningkatkan penyembuhan penderita kanker. Baik dari segi agama maupun nurani, saya tidak melihat ada bidang lain yang lebih penting daripada bidang kesehatan umat manusia."
Dalam pandangan Rasulullah Saw, ilmu pengetahuan akan menerangi hati manusia. Beliau menganggap hikmah sebagai barang yang hilang milik orang beriman. Orang yang merasa kehilangan sesuatu, tentu ia akan berusaha maksimal untuk menemukannya. Bagi orang Muslim, ilmu juga merupakan barang yang hilang yang menuntut upaya terus-menerus untuk menemukannya.
Sepertinya satu-satunya cara untuk mengembalikan ilmu ke jalur aslinya – untuk maslahat manusia dan meningkatkan kualitas hidup mereka – adalah menyandingkan ilmu dengan agama dan moral.
Mengenai hubungan ilmu dan iman, filosof kontemporer Iran, Syahid Murtadha Muthahhari mengatakan, "Ilmu memberi kita cahaya dan kemampuan, sementara iman memberi kita cinta, harapan dan kehangatan, ilmu menata dunia materi kita, sementara iman menata dunia spiritual kita. Ilmu memberikan keamanan eksternal, iman memberikan keamanan internal. Ilmu memberikan rasa aman kepada kita dari serangan penyakit, banjir, gempa, dan badai, sementara iman melindungi kita dari kegelisahan, kesendirian, keterasingan, dan kesia-siaan." (RM)